POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Saat
ini, kebutuhan akan pelayanan dari notaris semakin meningkat seiring dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat ditambah dengan meningkatnya sektor teknologi dan informasi, sektor industri, sektor
ekonomi serta sektor perdagangan yang juga telah melintasi batas negara.
Sektor-sektor tersebut merupakan sektor dimana notaris sangat diperlukan
perannya dalam rangka pembuatan akta atau kontrak untuk mengokomodir
kepentingan masyarakat selaku para pihak yang membutuhkan jasa dari notaris.
Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 pasal 1 ayat (1) setelah dilakukannya perubahan Undang-undang baru yaitu Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Landasan filosofis dibentuknya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan melalui akta yang
dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
pengguna jasa Notaris.[1]
Pengertian
pejabat umum dijelaskan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
adalah Notaris sebagai satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tersebut tidak dikhususkan bagi
pejabat umum lainnya dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang. Pembuatan akta autentik ada yang diharuskan peraturan
perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan
perlindungan umum. Pengertian berwenang meliputi: berwenang terhadap orangnya,
yaitu untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh orang yang
berkepentingan. Berwenang terhadap aktanya, yaitu yang berwenang membuat akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
Undang-undang atau yang dikehendaki yang bersangkutan. Berwenang terhadap
waktunya dan berwenang terhadap tempatnya, yaitu sesuai dengan kedudukan dan
wilayah jabatan Notaris dan Notaris menjamin kepastian waktu para penghadap yang tercantum dalam akta.[2] Selain
memenuhi syarat yang telah ditentukan Undang-undang agar suatu akta menjadi
autentik, seorang Notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib yaitu
melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas
moralnya tidak boleh diragukan.[3]
Profesi
Notaris sangatlah penting, karena sifat dan hakikat dari pekerjaan Notaris yang
sangat berorientasi pada legalisasi, sehingga dapat menjadi fundamen hukum
utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban para pihak yang terlibat.
Dalam pembuatan akta Notaris harus memuat keinginan atau kehendak para pihak
yang dituangkan kedalam isi perjanjian (akta) tersebut. Hal ini diatur dalam
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014: “Notaris berwenang membuat
akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
Undang-undang“.
Akta
tersebut mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu:[4]
1.
Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu;
2.
Sebagai
bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi
tujuan dan keinginan para pihak;
3.
Sebagai
bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali jika ditentukan
sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian
adalah sesuai dengan kehendak para pihak. Berdasarkan hal tersebut maka apabila
terjadi sengketa dimana salah satu pihak mengajukan akta autentik sebagai
bukti di Pengadilan,[5] maka Pengadilan harus menghormati dan mengakui
isi akta autentik, kecuali jika pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa
bagian tertentu dari akta telah diganti ataubahwa hal tersebut bukanlah yang
disetujui oleh para pihak.
Akta
autentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli
warisnya atau atau orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya. Dengan kata
lain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidak benarannya tidak dapat
dibuktikan. Akta autentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yaitu:[6]
1.
Kekuatan
pembuktian formil Membuktikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan
oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak
yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang
ditentukan dalam pembuatan akta.
2.
Kekuatan
pembuktian materil membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa
yang tersebut dalam akta telah terjadi.
3.
Kekuatan mengikat
membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga,
bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Berdasar
Pasal 1868 KUH Perdata: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan Undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu di tempat
akta dibuat”. Senada
dengan bunyi pasal 1868 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menurut Habib Adjie, bahwa
pasal 1868 KUHperdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik
yaitu:
1.
Akta itu harus dibuat
oleh (door) atau di hadapan
(ten overstaan) seorang
Pejabat Umum.
2.
Akta itu
harus dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
3.
Pegawai
Umum (Pejabat Umum) oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta tersebut.
Notaris
sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas, kewajiban dan kewenangannya
memperoleh perlindungan hukum penuh dari Pasal 66 ayat (1) UUJN No.30 Tahun
2004, dimana pengambilan dokumen-dokumen yang berada dalam penyimpanan notaris
tidak bisa dilakukan
secara sewenang-wenang oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim dalam suatu
proses pemeriksaan untuk kepentingan hukum.[7]
Disamping itu pemanggilan notaris untuk diperiksa maupun dihadirkan sebagai
saksi juga tidak dapat
dilakukan secara langsung
oleh Penyidik Polri,
Penuntut Umum maupun
Hakim dalam suatu proses pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan,
penyidikan oleh kepolisian, maupun di tingkat
penuntutan dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Pemanggilan notaris
untuk kepentingan pemeriksaan demi hukum harus terlebih dahulu memperoleh
ijin/persetujuan dari MPD. Pasal 66 ayat (2) UUJN No.30 Tahun 2004 lebih jauh
memberikan perlindungan hukum terhadap notaris dengan menyebutkan bahwa,
“Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada
Pasal 66 ayat (1) huruf a, dibuat berita acara
penyerahan”.[8]
Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa notaris sebagai pejabat umum memiliki
eksistensi, dan kedudukan hukum yang diakui dan terhormat di mata hukum serta memiliki kewenangan yang dijamin dan
dilindungi oleh hukum melalui Pasal 66 ayat (1) dan (2) UUJN No.30 Tahun 2004.
Mahkamah
Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013,
telah mengejutkan para notaris di Indonesia karena dengan putusan tersebut di atas
telah mencabut Pasal 66 ayat (1) UUJN No.30 tahun
2004, yang merupakan pasal yang selama ini menjadi benteng
perlindungan hukum bagi para notaris
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Dengan keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.49/PUU- X/2012 tanggal 23 Maret 2013, maka
sejak tanggal tersebut Pasal 66 ayat (1) UUJN No.30 Tahun 2004 dinyatakan sudah tidak memiliki
kekuatan hukum lagi atau sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan yang selama ini
berlaku dalam hal pengambilan dokumen yang disimpan oleh notaris dalam
protokolnya, dan pemanggilan notaris untuk dihadirkan dalam suatu proses
pemeriksaan berkaitan dengan akta yang dibuatnya, yang berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN tersebut di atas harus memperoleh persetujuan dari MPD, sejak tanggal
23 Maret 2013 sudah tidak
lagi membutuhkan persetujuan MPD.[9]
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam mengambil dokumen-dokumen yang berada
dalam penyimpanan protokol Notaris dan juga dalam hal pemanggilan notaris
untuk diperiksa baik sebagai saksi,
maupun tersangka oleh pihak Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim dapat
melaksanakannya secara langsung tanpa harus memperoleh persetujuan MPD. Dengan
demikian dapat dikatakan sejak keluarnya Putusan MK No.49PUU/X/2012 tersebut,
maka fungsi dan kewenangan MPD dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap
notaris dalam hal pengambilan dokumen
maupun pemanggilan dalam suatu proses
pemeriksaan sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.[10]
Tiga
bulan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.49-PUU/X/2012 yang
mencabut Pasal 66 UUJN No.30 Tahun 2004, Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang No.2 tahun 2014 tersebut
disyahkan dan diundangkan di Jakarta, Pada tanggal 15 Januari 2014, dan kembali
memuat perlindungan hukum terhadap notaris pada pasal 66 Undang-Undang tersebut
dengan mengadakan perubahan yang memunculkan Majelis Kehormatan Notaris.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang menjadi politik hukum pembentukan
Majelis Kehormatan Notaris dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014?
2.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Politik Hukum
Pembentukan Majelis Kehormatan Notaris
1.
Pembentukan
Hukum
Pembentukan
hukum, dalam arti undang-undang, merupakan aktivitas penting dalam negara
hukum. Undang-Undang menjadi dasar legalitas bagi seluruh elemen negara,
khususnya bagi penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola
negara. Tak boleh ada tindakan pemerinthan dilakukan tanpa landasan
undang-undang., kecuali pemerintah mau dikatakan lalim atau sewenang-wenang. Di
negara demokrasi, undang- undang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di
lembaga legislatif atas dasar aspirasi dan kehendak rakyat.
Melalui lembaga legislatif inilah kepentingan rakyat diagregasi untuk kemudian dituangkan dalam
undang-undang. Kemudian undang-undang berlaku mengikat dan harus dipatuhi.
Untuk itu, idealnya undang-undang merupakan formalisasi atau kristalisasi norma
dan kaidah yang dikehendaki atau sesuai aspirasi masyarakat.[11]
Idealnya
suatu peraturan perundang-undangan adalah dalam rangka perwujudan keadilan
sosial bagi seluruh masyarakat, sebab keadilan sosial adalah sesuatu yang harus
dimaknai sebagai sesuatu yang universal.
Politik
hukum dalam taraf instrumental dibidang kenotariatan dapat dilihat pada bagian
konsiderans UUJN sebagai berikut :
“Bahwa
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan,
bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis
yang bersifat otentik
mengenai keadaan, peristiwa
atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu,
bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat,
perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum,
bahwa jasa notaris dalam proses pembangunan makin meningkat sebagai salah satu
kebutuhan hukum masyarakat.”
Menurut
Prof. Mahfud MD “Politik Hukum” adalah legal
policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan
baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam
rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan
tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan divabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945.[12]
Pembentukan
Undang-Undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting
artinya, dan mempunyai pengaruh yang luas, karena itu (undang-undang) akan memberi
bentuk dan mengatur
atau mengendalikan masyarakat. Undang-Undang oleh
penguasa digunakan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan
yang dicita-citakan. Dikatakan bahwa Undang-undang mempunyai dua fungsi, yaitu :
1.
Fungsi
untuk mengekspresikan nilai, dan
2.
Fungsi instrumenter
Berpijak
pada kedua fungsi hukum diatas, maka dapat dikatakan bahwa hukum bukan
merupakan tujuan, tetapi sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang
dicita-citakan. Ini berarti, apabila kita mau membicarakan politik hukum
indonesia, maka mau tidak mau kita harus memahami
terlebih dahulu apa yang menjadi
cita-cita bangsa indonesia
merdeka. Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui saran
undang-undang (hukum). Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang
dicita-citakan oleh bangsa indonesia, maka dapat ditentukan sistem hukum yang
bagaimana yang dapat mendorong terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi
sarana untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesa.
UUJN No.
30 Tahun 2004, telah mengatur bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan
kepada notaris, yaitu :[13]
1. Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 yang menetapkan
bahwa untuk proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang mengambil fotocopi minuta akta
dan atau suratsurat yang diletakkan pada minuta akta atau protokol notaris
dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan
yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya untuk protokol notaris yang berada
dalam penyimpanannya.
2. Pengawasan dan pembinaan terhadap perilaku
notaris yang diatur dalam Kode Etik Profesi
dan Pelaksanaan Jabatan
Notaris yang diatur
dalam UUJN dilakukan oleh Majelis Pengawas
Notaris secara berjenjang dari mulai Majelis Pengawas Notaris Majelis Pengawas
Wilayah Notaris, Majelis Pengawas Pusat Notaris. Bentuk perlindungan hukum bagi
notaris sebagai profesi notaris difokuskan dalam perspektif Peran Majelis
Pengawas Notaris dalam tindakantindakan pro justitia yang dilakukan oleh
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana yang dari sudut entitasnya mencakup
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dalam suatu perkara perdata yang
melibatkan akta-akta notaris, dimana notaris ditarik sebagai saksi atau
tergugat dan penjatuhan sanksi bagi notaris sebagai profesi yang dilakukan oleh
dan atau Majelis Pengawas Notaris.
Perlindungan
hukum terhadap notaris yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN
No. 30 Tahun 2004 merupakan perlindungan hukum terhadap notaris sebagai pejabat
publik yang melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan kewibawaan
pemerintah menyimpan dokumen negara dalam bentuk akta otentik. Perlindungan
hukum tersebut tidak diberikan kepada notaris sebagai pribadi. Di dalam naskah
rancangan UndangUndang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004 disebutkan bahwa
notaris adalah pejabat
publik yang jabatannya dikehendaki oleh negara
dan oleh masyarakat yang membutuhkan jasanya dibidang
pembuatan akta otentik.[14] Sebagai pejabat publik yang
juga melaksanakan sebagian tugas dan kewibawaanya dalam membuat akta otentik
yang juga merupakan dokumen negara, maka sudah selayaknya bila notaris
memperoleh perlindungan hukum secara khusus berkaitan dengan tugas dan kewajibannya
tersebut. Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 bertujuan untuk melindungi
notaris sebagai pejabat publik dari tindakan sewenang-wenang penegak hukum
(Polisi, Jaksa atau Hakim) dalam proses pemeriksaan perkara pidana yang
berkaitan dengan pembuatan akta otentik oleh
notaris tersebut. Penegak
hukum seperti Polisi,
Jaksa Penuntut Umum dan Hakim
tidak dibenarkan secara sewenang-wenang untuk mengambil fotocopi minuta
akta notaris karena merupakan
dokumen negara yang bersifat rahasia.[15] Oleh
karena itu, tata cara pengambilan fotocopi minuta akta notaris harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini dengan
memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) menurut UUJN No. 30
Tahun 2004. Disamping tata cara pengambilan fotocopi minuta akta notaris, menurut
pertimbangan yang terdapat
rancangan undang-undang jabatan notaris No. 30 Tahun 2004
tersebut, juga perlu diatur tentang tata cara pemanggilan notaris oleh Penyidik Polri, Jaksa
Penuntut Umum maupun Hakim untuk menghadirkan notaris demi kepentingan proses
pemeriksaan dalam perkara pidana yang berkaitan dengan akta otentik yang
dibuatnya.[16]
Mahkamah Konstitusi lahir melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011) Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226, yang pada prinsipnya memiliki 5 (lima) kewenangan sebagaimana tertulis
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d yaitu :
1.
Menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945.
2.
Memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3.
Memutus pembubaran
partai politik.
4.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilu.
5.
Peradilan
atas pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang- Undang Dasar.
Kehadiran Mahkamah
Konstitusi melalui perubahan
ketiga UUD 1945 dalam sidang MPR (2001) memiliki dasar
konstitusional yang kuat. Artinya eksistensi, kedudukan, kewenangan, kewajiban,
dan komposisi para Hakim konstitusi diatur dalam tegas dalam UUD 1945.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi setingkat atau sederajat dengan Mahkamah
Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman merdeka.[17]
Permohonan uji materil terhadap UUJN No.30 Tahun
2004 yang diajukan
oleh Kant Kamal ke Mahkamah
Konstitusi melalui
pengacaranya dengan surat
kuasa khusus tertanggal 14 Mei 2012,
menggunakan dalil bahwa Pasal 66 ayat (1) UUJN No.30 Tahun
2004 sepanjang frasa “Dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”bertentangan dengan
pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena Penyidik kepolisian RI
mengalami kendala dalam melakukan proses penyidikan laporan polisi terhadap notaris
sehubungan dengan tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 KUHP. Oleh karena yang dipanggil adalah notaris maka
Penyidik kepolisian harus terlebih dahulu meminta ijin kepada Majelis Pengawas
Daerah (MPD) untuk memeriksa notaris dalam perkara pidana. Menurut dalil
permohonan uji materil pemohon ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip
“persamaan kedudukan di dalam hukum” bagi setiap warga negara Indonesia, tidak
terkecuali notaris, sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) berbunyi “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”.
Dalam
pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa notaris
adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh UndangUndang;
(Pasal 15 UUJN No.30 Tahun
2004). Menurut pasal
1870 KUH Perdata,
akta notaris berlaku sebagai pembuktian yang kuat
kepada pihak-pihak yang membuatnya. Artinya kedudukan notaris sangat penting
karena oleh Undang-Undang diberi wewenang untuk menciptakan alat pembuktian
yang mutlak, dalam pengertian bahwa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar untuk
kepastian hukum dari para subjek hukum yang tertuang dalam akta sampai
dibuktikan sebaliknya dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Oleh
karena pemohon mendasarkan permohonannya pada pelanggaran prinsip persamaan
kedudukan dihadapan hukum dalam pemerintahan dan perlakuan yang adil, Mahkamah
perlu merujuk pendapat Mahkamah dalam Putusan No.024/PUU-III/2005, tanggal 29
Maret 2006, bahwa ada tidaknya persoalan diskriminasi dalam suatu Undang-
Undang juga dapat dilihat dari segi perspektif bagaimana konstitusi merumuskan
perlindungan terhadap suatu hak konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut
oleh konstitusi perlindungannya ditempatkan dalam rangka due process ataukah
dalam rangka perlindungan yang sama (equal
protection). Pembedaan demikian penting dikemukakan sebab seandainya suatu
Undang-Undang mengingkari hak dari semua orang, maka pengingkaran demikian
lebih tepat untuk dinilai dalam rangka due
process, namun apabila suatu Undang-Undang ternyata meniadakan suatu hak
bagi beberapa orang, tetapi memberikan hak demikian kepada orang-orang lainnya,
maka keadaan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip equal protection.[18]
Persamaan
kedududukan di depan hukum terkait perlunya pemanggilan dan kehadiran notaris
dalam pemeriksaan perkara pidana, baik sebagai Ahli, Saksi maupun
Tersangka/Terdakwa, dengan alasan sebagai berikut:
a.
Sebagai
Ahli, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara
pidana sebagai ahli hukum yang berwenang membuat
akta autentik sehingga
diperlukan pertimbangan hukum yang khusus sesuai keahliannya berkaitan dengan
kewenangan dan tanggungjawab notaris serta hal yang dapat memberikan penjelasan
kepada Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, maupun pihak pencari keadilan;
b.
Sebagai
Saksi, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan
perkara pidana, dalam kapasitas sebagai pejabat umum yang membuat akta autentik, diperlukan kesaksiannya terhadap
apa yang dilihat, didengar dan bukti-bukti pendukung dalam pembuatan akta
autentik tersebut, apakah dalam prosesnya terindikasi
adanya perbuatan pidana atau tidak;
c.
Sebagai Tersangka,
dalam hal ini
notaris dipanggil dan
perlu kehadirannya dalam
pemeriksaan perkara pidana sebagai tersangka berdasarkan bukti awal sehingga
patut diduga adanya tindak pidana yang dilakukan notaris sebagai pembuat akta
autentik, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama, yang ditemukan oleh
penyidik, sehingga notaris harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di
muka hukum; Selain hal diatas ada juga ketentuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana .
Dengan
demikian, ”persamaan kedudukan dalam hukum” dan ”perlindungan dan kepastian
hukum yang adil” adalah merupakan hak konstitusional setiap warga negara
Indonesia sekaligus pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan atau situasi apapun;
MPD
masih memiliki kewenangan lain selain yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN
No. 30 Tahun 2004 yaitu antara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UUJN No.
30 Tahun 2004 yang menyebutkan :
(1) Pengawasan atas notaris dilakukan oleh menteri
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas menteri
membentuk Majelis pengawas
(3) Majelis pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri dari unsur pemerintah sebanyak 3
(tiga) orang, organisasi notaris sebanyak 3 (tiga) orang dan ahli / akademisi
sebanyak 3 (tiga) orang
(4) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat 3 (tiga) huruf a, keanggotaan dalam majelis pengawas diisi dari unsur
lain yang ditunjuk oleh menteri.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris.
(6) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi notaris pengganti, notaris pengganti khusus
dan pejabat sementara notaris.
Dengan
demikian dapat dikatakan meskipun kewenangan MPD sebagaimana terdapat di dalam
Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 sudah tidak berlaku lagi karena telah
dicabut pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.
49/PUU-X/2012, namun secara organisasi MPD tetap masih eksis sebagai lembaga
pengawas notaris di daerah kabupaten/kota. Kewenangan MPD tidak hanya
memberikan persetujuan tertulis dalam pemanggilan dan pemeriksaan notaris oleh
Penyidik dalam kapasitasnya sebagai saksi maupun tersangka namun lebih dari itu
MPD memiliki kewenangan-kewenangan lainnya yang juga diatur di dalam UUJN No.
30 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia No. M. 02.PR.08.10 Tahun 2004 sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya. Oleh karena itu, eksistensi / keberadaan MPD sebagai suatu lembaga pengawas
notaris di daerah
kabupaten / kota masih
tetap ada dan masih tetap memiliki kewenangan, tugas, dan tanggung jawab dalam
melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap notaris di daerah.
Setelah
hampir 2 tahun setelah kehadiran UU No. 2 Tahun 2014, pada tanggal 5 Februari
2016 Menteri Hukum dan HAM RI kemudian menerbitkan aturan teknis dengan
Permenkumham No. 7/2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris (“Permenkumham”).
Pada prinsipnya Permenkumham ini merupakan satu langkah yang baik, namun sepertinya
masih perlu penjelasan dan pengaturan teknis yang lebih detail.
2.
Majelis
Kehormatan Notaris
Berdasarkan
Pasal 66 A (3) UU NO. 30/2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 2/2014 tentang
Jabatan Notaris, maka kemudian Menteri
Hukum dan HAM RI menerbitkan Peraturan No. 7/2016 tentang
Majelis Kehormatan Notaris. Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris
dapat dilihat dalam ketentuan pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebagai berikut :
(1)
Untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan
yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
Majelis
Kehormatan Notaris terdiri dari 7 orang yang terdiri dari 1 Ketua, 1 Wakil
Ketua, dan 5 anggota. Majelis
Kehormatan Notaris dipilih
untuk masa jabatan
3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali. Unsur
Majelis Kehormatan Notaris terdiri dari pemerintah, Notaris, dan
ahli/akademisi. Majelis Kehormatan Notaris terdiri dari:
(a) Majelis Kehormatan Notaris Pusat (dibentuk oleh
Menteri, berkedudukan di ibukota Negara, DKI
Jakarta);
(b) Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (dibentuk
oleh Dirjen atas nama Menteri, berkedudukan di ibukota Provinsi). Majelis
Kehormatan Notaris Pusat mempunyai tugas melaksanakan pembinaan terhadap
Majelis Kehormatan Wilayah yang berkaitan dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas pembinaan tersebut,
Majelis Kehormatan Notaris Pusat mempunyai fungsi
melakukan pengawasan terhadap
Majelis Kehormatan Notaris Wilayah.
Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah dibentuk untuk menjalankan fungsi melakukan
pembinaan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam
menjalankan profesi jabatannya dan memberikan perlindungan kepada Notaris
terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta. Untuk itu Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas :
1.
Melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, dan
hakim; dan
2.
Memberikan
persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pemanggilan Notaris
untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan.
Kewenangan
Majelis Kehormatan Notaris Wilayah berdasarkan Keputusan Rapat Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah meliputi:
1.
Pemeriksaan
terhadap Notaris yang dimintakan persetujuan kepada Majelis Kehormatan Notaris Wilayah oleh
penyidik, penuntut umum, atau hakim;
2.
Pemberian
persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pengambilan fotokopi minuta akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan
Notaris; dan
3.
Pemberian
persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pemanggilan Notaris
untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan yang berkaitan
dengan akta atau protocol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan
bahwa kewenangan yang dimiliki
oleh majelis kehormatan notaris adalah apa yang menjadi kewenangan majelis
pengawas daerah sehingga penulis berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki
oleh majelis kehormatan notaris yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris terdapat sikap berlawanan dengan apa yang telah diputuskan oleh
mahkamah konstitusi dalam putusannya nomor 49/PUU-X/2012 yang mana telah
menghapuskan kewenangan majelis pengawas daerah dalam hal memberikan
persetujuan tindakan kepolisian terhadap notaris. Kewenangan pemberian
persetujuan pemeriksaan Notaris untuk kepentingan proses peradilan muncul
kembali dan dibebankan kepada Majelis Kehormatan Notaris.
B.
Perlindungan
Hukum terhadap Notaris dalam UU No 2 tahun 2014
Selanjutnya
mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap notaris melalui Majelis Pengawas Daerah yang dalam hal
ini telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 menurut penulis adalah sudah tepat,
karena Profesi jabatan
Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris,
dibenarkan mendapat perlakuan yang berbeda sepanjang perlakuan itu berkaitan
dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu yang berkaitan dengan sikap,
tingkah laku, dan perbuatan notaris dalam melaksanakan tugas yang berhubungan
dengan moralitas. yang telah diatur dan diberikan perlindungan dalam Kode Etik Notaris.
Mengenai
tanggung jawab materiil terhadap akta yang dibuat dihadapan notaris perlu
ditegaskan bahwa dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta notaris bukan
berarti notaris dapat secara bebas sesuai kehendaknya untuk membuat akta
otentik tanpa adanya para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta. Akta notaris
dengan demikian sesungguhnya adalah aktanya
pihak-pihak yang berkepentingan, bukan aktanya notaris
yang bersangkutan. Karena itulah dalam terjadinya sengketa dari
perjanjian yang termuat dalam akta notaris yang dibuat bagi mereka dan dihadapan notaris
maka yang terikat
adalah mereka yang mengadakan
perjanjian itu sendiri, Sedangkan notaris tidak terikat untuk memenuhi janji
ataupun kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta notaris yang dibuat
di hadapannya dan notaris sama sekali berada di luar mereka yang menjadi pihak-pihak.
Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan akan adanya akta notaris yang tendensius. Maksudnya
adalah dalam pembuatan akta keterlibatan notaris tidak sekedar legalisasi suatu
akta namun menyangkut substansi akta.[19] Hal ini
bisa terjadi ketika notaris sebagai pihak yang semestinya netral melakukan
hal-hal tertentu yang menyebabkan salah satu pihak diuntungkan dan di satu sisi
merugikan pihak lainnya dengan akta notariil tersebut. Ketidaknetralan notaris
dalam membuat suatu akta ini dapat menjadikan notaris dikenai tanggung jawab
atas materi akta yang dibuatnya. Perbuatan notaris yang demikian melanggar
Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa notaris dalam menjalankan
jabatannya berkewajiban untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Hubungan profesi
notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur dalam Undang-
Undang Jabatan Notaris berikut peraturan perundang-undangan lainnya.[20]
Sementara hubungan profesi notaris dengan organisasi profesi notaris diatur
melalui kode etik notaris yang ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi
notaris. Keberadaan kode etik notaris merupakan konsekuensi logis dari dan
untuk suatu pekerjaan yang disebut sebagai profesi. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa
notaris sebagai pejabat
umum yang diberikan kepercayaan harus berpegang
teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata, namun juga pada
kode etik profesinya, karena tanpa kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.
Menurut penulis
dengan dikeluarkannya permenkumham Nomor 7 tahun 2016 maka jelas pengaturan tentang struktur
organisasi, tugas, tanggung jawab dan kewajiban Majelis Kehormatan Notaris, dan
dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap Notaris yang dulu dilakukan oleh Majelis Pengawas
Daerah khususnya tentang
pengambilan minuta akta
(peminjaman) dan pemanggilan Notaris oleh pihak kepolisian sekarang menjadi
kewenangan Majelis Kehormatan Notaris.
Dengan keluarnya permenkumham Nomor 7 Tahun 2016 ini diharapkan kevakuman landasan perlindungan hukum untuk profesi Notaris
selama 2 (dua) tahun ini dapat teratasi.
BAB III
PENUTUP
Penghapusan
kewenangan pemberian persetujuan tindakan kepolisian terhadap Notaris oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUUX/2012 tertanggal 28 Mei 2013, yang menghapus frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”
pada Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris tidak banyak berarti dan berpengaruh terhadap
pengawasan notaris karena kemudian di dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris bahwa ternyata oleh pembuat Undang-Undang dicantumkan kembali dalam
pasal 66, dimana kewenangan yang dahulu di miliki oleh Majelis Pengawas Daerah dialihkan kepada Majelis
Kehormatan Notaris yang bunyinya sebagai berikut :
(1)
Untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan Majelis kehormatan Notaris berwenang:
a.
mengambil
fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dan
b.
memanggil
Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris.
Dasar pertimbangan hukum munculnya Pasal 66 ayat (1) dalam
UUJN No. 30 Tahun
2004 adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada notaris sebagai pejabat
publik yang diangkat dan diberhentikan oleh negara melalui Menteri Hukum dan
HAM yang memiliki kewenangan khusus dalam melaksanakan jabatannya yang
berkaitan dengan pembuatan dan penyimpanan akta otentik. Perlindungan hukum
tersebut dikhususkan terhadap tata cara pengambilan fotokopi minuta akta yang
berada dalam penyimpanan notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk
kepentingan penyidikan penuntutan dan pemaksaan perkara pidana berkaitan dengan
akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut, yang harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dari MPD sebelum pengambilan fotokopi minuta akta
notaris dan pemanggilan notaris tersebut oleh Penyidik dilakukan.
Politik Hukum
Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi mencabut Pasal 66 ayat (1)
UUJN No. 30 Tahun 2004 melalui Putusan No. 49/PUU-X/2012 adalah berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dirasa
kurang tepat. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan,
dan wajib menjunjung tinggi hukum
dan pemerintahan tersebut. Dengan demikian
pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenyampingkan notaris sebagai pejabat umum
yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Mahkamah
Konstitusi lebih cenderung memandang notaris sebagai perorangan / pribadi atau sebagai warga
negara pada umumnya. Dengan
dikeluarkannya Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016
tentang Majelis Kehormatan Notaris, maka Notaris mendapat
perlindungan hukum kembali setelah 2 (dua) tahun mengalami kekosongan yaitu
khususnya tentang penyerahan akta (peminjaman)
dan pemanggilan Notaris dalam proses penyelidikan kepolisian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan
Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta, UII Press, 2009.
Anke
Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia
Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka.
Bambang
Sutiyoso, Pembentukan Mahkamah Konstitusi
sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jakarta, Pustaka Ilmu,
2009.
Ellise
T Sulastini dan Wahyu Aditya, Pertanggungjawaban
Notaris Terhadap Akta yang Berindikasi Pidana, Bandung, Refika Aditama, 2010.
Habieb
Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan
PPAT Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2009.
-----------------,
Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap
Notaris sebagai Pejabat Publik, Bandung, Rafika Aditama, 2008.
-----------------,
Hukum Notaris Indonesia, Bandung, PT.
Refika Aditama, 2008.
Herlina
Effendy Bachtiar, Perlindungan Hukum
Terhadap Notaris Dalam UUJN No. 30 Tahun 2004, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2008.
Kata
Pengantar Ketua Mahkamah Konstitusi RI Oleh Prof. Dr.Mahfud MD, SH pada buku
Pataniari Siahaan, Politik Hukum
Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi Press,
Jakarta, Oktober 2012.
Ketentuan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2
tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, Cetakan ke-6, 2014.
Rahman
Sutanto, Prinsip Persamaan Hak dan
Kewajiban Setiap Warganegara di Mata Hukum, Jakarta, Pustaka Ilmu, 2010.
R.
Soesanto, Tugas, Kewajiban, dan Hak-Hak
Notaris, Wakil Notaris, Jakarta, Pradnya Paramita, 1982.
Salim
HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik
Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2006
Soegondo
R. Notodisorjo, Hukum Notariat di
Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.
[1] Habieb
Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan
PPAT Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 14.
[2] Ibid.
[3] Liliana Tedjosaputra, Etika op.cit, hlm.166
[4]
Salim HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik
Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 43.
[5] Ibid.
[6] Habieb Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap
Notaris sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm. 72
[7]
Ellise T Sulastini dan Wahyu Aditya, Pertanggungjawaban
Notaris Terhadap Akta yang Berindikasi Pidana, (Bandung : Refika Aditama,
2010), hlm. 7
[8] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung : PT.
Refika Aditama, 2008), hlm. 10.
[9]
Affandi, Muhammad, Kewajiban Dan Wewenang
Majelis Pengawas Notaris, (Jakarta : Rajawali Press, 2009), hlm. 47.
[10] Mardianto Hasbi,
Mahkamah Konstitusi, Sebagai
Peradilan Perundang-undangan, (Bandung : Media Ilmu, 2012), hlm.14.
[11]
Kata Pengantar Ketua Mahkamah Konstitusi RI Oleh Prof. Dr.Mahfud MD, SH pada buku Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca
Amandemen UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, Oktober 2012.
[12] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-6, 2014, hlm.1.
[13]
Herlina Effendy Bachtiar, Perlindungan
Hukum Terhadap Notaris Dalam UUJN No. 30 Tahun 2004, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2008), hlm.4
[14] Soegondo R.
Notodisorjo, Hukum Notariat di Indonesia
(Suatu Penjelasan), Jakarta : Raja Grafindo Persad, 1993), hlm. 36.
[15] R.
Soesanto, Tugas, Kewajiban, dan Hak-Hak
Notaris, Wakil Notaris, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hlm. 28.
[16] Anke Dwi
Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia
Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka), hlm.
83
[17]
Bambang Sutiyoso, Pembentukan Mahkamah
Konstitusi sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Jakarta :
Pustaka Ilmu, 2009), hlm. 47
[18]
Rahman Sutanto, Prinsip Persamaan Hak dan
Kewajiban Setiap Warganegara di Mata Hukum, (Jakarta : Pustaka Ilmu, 2010),
hlm.16.
[19] Abdul Ghofur
Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia
Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm 37.
[20] Ibid, hlm. 49.
Komentar
Posting Komentar