MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

MENGENAL EPISTEMOLOGI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN ILMU HUKUM

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang Masalah

Selama ini ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasan-kebiasan masyarakat. Sementara itu, pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia lain (sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

Untuk lebih dapat mengenal dan mempelejari hukum secara tepat, perlu adanya sebuah pembelajaran tentang hukum secara fisofofis. Dengan cara berpikir secara filsafat kita dapat mengetahui tentang inti atau dasar dari dibentuknya hukum. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis adalah Filsafat hukum.

Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.

Filsafat hukum sangat penting untuk diketahui dan dipelajari karena relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.

Secara konsep Islam menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan dengan Allah swt, maka manusia disamping ia mengadopsi hukum yang langsung dari wahyu Tuhan dalam bentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, yaitu suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, dan hukum tersebut haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif.[1]

Filsafat hukum lebih mengulas tentang tujuan atau akhir hukum dan keadilan dianggap sebagai tujuan tertinggi.[2] Hukum islam atau syari’ah dalam teori klasik adalah perintahTuhan yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. Hukum islam merupakan sistem ketuhanan yang mendahului Negara Islam dan bersifat mengontrol masyarakat.[3] Filsafat hukum islam adalah pola yang lengkap dan yang mencakup semua perintah sosial yang jangkauannya bersifat universal. Ia membahas semua aspek kehidupan dan memberikan arah bagi kehidupan.

Jadi, ini merupakan kesatuan organik yang masing- masing bagiannya tidak dapat dipisahkan. Epistemologi Islam, atau pada mulanya lebih dikenal dengan Filsafat Hukum Islam, pada dasarnya adalah ilmu baru yang lahir jauh sesudah kemapanan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh karenanya perlu dibahas lebih jauh tentang Epistemologi Islam atau Filsafat Hukum Islam untuk memberikan pemahaman lebih banyak kepada umat muslim tentang bagaimana berfilsafat yang Islami. 

 


 

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, penulis akhirnya merumuskan masalah sebagai berikut :

1.        Apa pengertian Epistemologi Islam atau Filsafat Hukum Islam ?

2.        Bagaimana awal mula Epistemologi Islam berkembang ?

3.        Apa saja sumber hukum yang digunakan dalam Epistemologi Islam ?


 

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.           Pengertian Epistemologi Islam

Menurut Harun Nasution, episteme berarti pengetahuan dan epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Selanjutnya, R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai berikut; Epistemologi berarti : ilmu filsafat tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat pengetahuan.[4] Dari pengertian diatas Nampak bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:[5]

a.                      Filsafat yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.

b.                     Metode yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

c.                      Sistem yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

Sedangkan pengertian Islam menurut Maulana Muhammad Ali dapat dipahami dari Firman Allah yang terdapat pada ayat 208 surat Al-Baqarah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan juga dapat dipahami dari ayat 61 surat al- Anfal yang artinya: dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah (islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajawan yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.

Dari dua pengertian tersebut di atas dapat dipahami secara kasar bahwa Epistemologi Islam adalah filsafat hukum yang menganalisis hukum Islam secara metodologis dan sistematis, sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan pendekatan filsafat sebagai alatnya. Oleh karenanya tidak salah pula, bagi sebagian kalangan, Epistemologi Islam seringkali disebut sebagai Filsafat hukum Islam.

 

B.            Perkembangan Epistemologi Islam

Dalam Al-Qur’an maupun dalam as-sunnah, tidak terdapat kata filsafat, tidak berarti bahwa Al- Qur’an dan As-sunnah tidak mengenal apa yang dimaksud dengan falsafah itu. Dalam kedua sumber itu dikenal kata lain yang sama maksudnya dengan itu yaitu kata hikmah.[6] Pemikiran terhadap Hukum Islam telah lahir sejak awal sejarah umat Islam, disebabkan oleh adanya dorongan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul agar manusia menggunakan pikirannya dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebih lebih dalam persoalan yang fundamental, menyangkut akidah atau keyakinan agama. Misalnya QS. Al-Isra/17 : 36 berikut :


Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”[7] (QS. Al-Isra’ : 36)

Ayat Al-Qur’an tersebut dengan jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajarannya hendaknya dipergunakan akal pikiran, karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak Al-Qur’an dapat diyakinkan.

Al-Asy’ari, yang seringkali disebut sebagai Bapak Teologi Umat Islam Indonesia, dapat dikatakan sebagai salah seorang tokoh pemrakarsa berfilsafat dengan hukum Islam. Al-Asy’ari adalah generasi kedua setelah Al-Kindi (185 H/ 801 M – 260 H/ 873 M). Sementara Al-Kindi, yang menguasai dengan baik bahas Yunani dan bahasa Syria, inilah yang dikenal pengulas dan penerjemah buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahsa Arab. Termasuk menerjemahkan buku Plotinus  yang sangat terkenal, yaitu Enneads, yang di dalamnya membahas ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles. Pada waktu itulah filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam mulai menemukan bentuknya.[8]

Begitu pesatnya pengaruh filsafat Yunani kala itu sehingga tidak sedikit umat Islam yang mencu- rigainya. Bahkan ada yang tegas-tegas menentangnya sebagai perbuatan bid’ah dan menyesatkan seperti disinyalir Asy’ari tadi. Alasan mereka cukup “masuk akal”; yaitu bahwa seandainya filsafat (Yunani) merupakan bagian dari petunjuk dari Allah dan di dalamnya ada kebenaran maka pastilah Nabi dan para sahabat membahasnya.

Makanya untuk konteks Indonesia, yang mayoritasnya menganut faham Asy’ariyah, kita sangat heran atas kurangnya bahkan hampir tidak adanya sama sekali sambutan umat Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan moderen. Kebanyakan di antara umat masih mencurigai filsafat sebagai hanya akan menyesatkan, dan karenanya harus dijauhi. Mereka lebih senang berkutat pada kitab-kitab fiqih yang ditulis untuk menjawab tantangan zamannya (sekitar seribu tahun yang lalu). Sehingga sama sekali tidak terasa nilai aktualisasinya sekarang. Mereka lupa bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan modern sekarang tidak akan sampai ke Eropa kalau bukan karena jasa para filosof dan ilmuwan Islam zaman dulu.

Sikap penentangan pada zaman Asy’ari tidak berhasil menghentikan laju perkembangan filsafat. Buktinya filosof-filosof besar tetap saja lahir sesudahnya, bahkan dalam kurun waktu yang sangat rapat. Hanya sembilan tahun (251 H/ 865 M) sebelum wafatnya al-Kindi (yang lahir sekitar satu dasawarsa sebelum meninggalnya Khalifah al-Rasyid) lahir Abu Bakr Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Tujuh tahun kemudian (258 H/ 870 M) lahir filosof besar lainnya, yaitu Abu Nasr al-Farabi. Abad berikutnya, muncul Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih (320 H/ 932 M – 421 H/ 1030 M). Kemudian ada Ibnu Sina (370 H/ 980 M – 428 H/ 1037) yang digelari al-Syaikh al-Rais. Kemudian setelah itu berturut-turut datang Ibnu Bajjah, Ibnu tifail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun. Pada akhirnya Filsafat Islam selalu tumbuh berkembang, diantaranya di Indonesia, dengan dipengaruhi oleh pemikiran filsuf-filsuf besar yang telah disebutkan sebelumnya.[9]

Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.

Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.[10]

 

C.           Sumber Hukum Islam

Pada dasarnya, hukum yang digunakan dalam proses Epistemologi Islam bersumber dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci Al-Quran serta sunah Rosul. Selain itu aliran ini juga mengambil sumber hukum dari pendapat serta pandangan-pandangan ahli agama.[11]

Secara umum beberapa sumber hukum tersebut adalah :[12]

1.         Al Qur’an

Sebagai kitab suci umat Islam, Al Quran menjadi sumber utama dalam pembuatan dan rujukan hukum – hukum yang mengatur tentang tingkah laku manusia. Al Quran yang bersifat ilahiah menjadi tolak ukur utama dalam pembentukan hukum manusia.

2.         As Sunnah

Selain berpedoman pada Al Quran, umat muslim juga berpedoman pada As Sunnah. Kata Sunnah secara bahasa adalah perilaku seorang tertentu, baik perilaku yang baik maupun perilaku yang buruk. Dalam hal ini yang menjadi pedoman adalah perilaku Rasulullah Muhammad S.A.W semasa beliau hidup. Setiap perkara atau hukum yang tidak ditemukan secara tersurat dalam Al Quran akan menggunakan As Sunnah sebagai sumber pembanding.

3.         Ijma

Pengertian Ijma adalah sumber hukum yang telah mendapatkan kesepakatan dari ulama  karena belum ada aturan secara jelas dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul, adapun sifatnya mengikat bagi semua umat Islam. Berdasarkan definisi, ijma menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid muslim memutuskan sesuatu masalah setelah wafatnya Rasulullah Muhammad S.A.W terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa. Apabila terjadi peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua mujtahid di waktu terjadinya. Para mujtahid itu kemudian sepakat memutuskan atau menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu disebut ijma yang merupakan suatu iktibar terhadap suatu hukum. Menurutnya hukum ini adalah adil terhadap suatu masalah.

4.         Qiyas

Pengertian Qiyas menurut tata bahasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui antara persamaan di antara keduanya. Berdasarkan definisi, pengertian qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (illat) dari rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Quran atau Sunnah Rasul. Bila benar ada kesamaan illat-nya, maka keras dugaan bahwa hukumnya juga sama.

 


 

BAB III
KESIMPULAN

 

Dari uraian yang telah disampaikan ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu :

1.                     Epistemologi Islam yang seringkali disebut sebagai Filsafat Hukum Islam adalah cabang dari ilmu filsafat yang mempelajari tentang hukum Islam sebagai obyeknya.

2.                     Sejarah perkembangan Epistemologi Islam sudah dimulai sejak zaman filsuf Yunani yang diawali oleh Al-Asy’ari, dan kemudian terus berkembang meskipun mendapat pertentangan. Hal ini membuktikan bahwa filsafat Islam tidak lebih “muda” dari filsafat yunani yang lebih banyak dikenal.

3.                     Dalam berfilsafat, umat Islam memiliki sumber hukum tersendiri yaitu Al Quran, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al Qur’an Al Karim

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2006, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fudiartanto, R.B.S, 1978. Epistemologi, Warawidyani, Yogyakarta .

Huda, Miftahul. 2006, Filsafat Hukum Islam: Pengertian Filsafat Hukum Islam. Sukses Grafia, Yogyakarta.

Huijbers, Theo, 1993, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Moslehuddin, Mohammad, 1997, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Filsafat Hukum, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta

Mujammil Qomar, 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Erlangga, Jakarta. 

Pound, Roscoe, 1996, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta.

Rasjidi, Lili, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

            , 1991, Filsafat hukum : Apakah hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Saebani, Beni Ahmad. 2007, Filsafat Hukum Islam, Pustaka Setia, Bandung.

Santoso, Agus, 2014, Hukum, Moral, Dan Keadilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Syah, Ismail M., 1992, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta

 



[1] Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 35

[2] Mohammad Moslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Filsafat Hukum, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997, hlm. 35

[3] Ibid, hlm. 45

[4] Fudiartanto, R.B.S, Epistemologi, Yogyakarta : Warawidyani, 1978, hlm. 25

[5] Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 29

[6] Ismail M. Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hal 18-19

[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal 430

[8] Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm 15

[9] Huda, Miftahul. Filsafat Hukum Islam: Pengertian Filsafat Hukum Islam. Sukses Grafia, Yogyakarta, 2006, hlm. 56

[10] Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga 2005, hlm. 10

[11] Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996, hlm 27

[12] Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 33

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.