MENGENAL EPISTEMOLOGI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN ILMU HUKUM
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Selama ini ilmu hukum hanya melihat
gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasan-kebiasan masyarakat.
Sementara itu, pertimbangan
nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak
termasuk dunia
kenyataan (sein), tetapi
berada pada dunia lain (sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Untuk lebih dapat mengenal dan mempelejari hukum secara tepat, perlu adanya sebuah pembelajaran tentang hukum
secara fisofofis.
Dengan cara berpikir secara filsafat kita dapat mengetahui tentang inti atau dasar dari dibentuknya hukum. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis adalah Filsafat hukum.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia
yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek
hukum maupun subjek filsafat,
sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk
mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil,
benar, dan sah.
Filsafat hukum sangat penting untuk diketahui
dan dipelajari karena relevan untuk
membangun kondisi hukum yang
sebenarnya, sebab
tugas filsafat
hukum adalah menjelaskan nilai dasar
hukum secara filosofis
yang mampu
memformulasikan cita-cita keadilan,
ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.
Secara konsep Islam menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran,
atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan
dengan manusia secara langsung, juga berhubungan dengan Allah swt, maka manusia
disamping ia mengadopsi hukum yang langsung dari wahyu Tuhan dalam
bentuk kitab
suci, manusia dituntut untuk selalu
mencari formula kebenaran
yang berserakan dalam
kehidupan masyarakat, yaitu
suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, dan hukum tersebut
haruslah digali tentang filsafat
hukum secara lebih komprehensif.[1]
Filsafat hukum lebih mengulas tentang tujuan atau akhir hukum dan keadilan dianggap sebagai tujuan
tertinggi.[2] Hukum
islam atau syari’ah dalam teori klasik adalah perintahTuhan yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw.
Hukum islam merupakan sistem ketuhanan yang
mendahului Negara Islam dan bersifat mengontrol masyarakat.[3] Filsafat hukum islam adalah pola yang lengkap dan yang mencakup semua perintah sosial yang jangkauannya bersifat universal. Ia
membahas semua aspek kehidupan dan memberikan arah bagi kehidupan.
Jadi, ini merupakan kesatuan organik yang masing- masing bagiannya tidak dapat dipisahkan. Epistemologi Islam, atau pada mulanya lebih dikenal
dengan Filsafat
Hukum Islam, pada dasarnya adalah ilmu baru yang lahir jauh sesudah kemapanan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh karenanya perlu dibahas lebih jauh tentang Epistemologi Islam atau Filsafat Hukum Islam untuk memberikan pemahaman lebih banyak kepada umat muslim tentang bagaimana
berfilsafat yang Islami.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah tersebut, penulis akhirnya merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian Epistemologi Islam atau Filsafat Hukum Islam ?
2.
Bagaimana awal mula Epistemologi Islam berkembang ?
3.
Apa saja sumber hukum yang digunakan dalam Epistemologi Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi Islam
Menurut Harun Nasution, episteme berarti pengetahuan dan
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa
pengetahuan dan bagaimana
memperoleh pengetahuan. Selanjutnya, R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai berikut; Epistemologi
berarti : ilmu filsafat
tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat pengetahuan.[4] Dari pengertian diatas Nampak bahwa epistemologi
bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:[5]
a.
Filsafat
yaitu sebagai
ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b.
Metode
yaitu
sebagai
metode bertujuan mengantarkan manusia
untuk memperoleh realitas kebenaran
pengetahuan.
c.
Sistem
yaitu sebagai
suatu sistem bertujuan memperoleh
realitas kebenaran pengetahuan.
Sedangkan pengertian Islam
menurut
Maulana Muhammad Ali dapat
dipahami dari Firman Allah yang
terdapat pada ayat 208 surat
Al-Baqarah yang artinya: Hai orang-orang
yang
beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan
juga dapat dipahami dari ayat 61 surat
al- Anfal yang artinya: dan jika mereka condong kepada perdamaian,
maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.
Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah (islam sebagai
agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia
melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajawan
yang bukan hanya
mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Dari dua pengertian tersebut di atas dapat dipahami secara kasar
bahwa Epistemologi
Islam adalah
filsafat hukum yang menganalisis hukum Islam secara metodologis dan sistematis, sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan pendekatan filsafat sebagai alatnya. Oleh karenanya tidak salah pula, bagi sebagian kalangan, Epistemologi Islam seringkali disebut sebagai Filsafat hukum Islam.
B.
Perkembangan Epistemologi Islam
Dalam Al-Qur’an maupun dalam as-sunnah, tidak terdapat kata filsafat, tidak
berarti bahwa
Al- Qur’an
dan As-sunnah tidak mengenal apa yang dimaksud dengan falsafah itu. Dalam kedua sumber itu dikenal kata lain yang sama maksudnya dengan itu yaitu kata hikmah.[6]
Pemikiran terhadap Hukum Islam telah lahir
sejak awal sejarah umat Islam, disebabkan
oleh adanya dorongan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul agar manusia
menggunakan pikirannya dalam menghadapi
persoalan-persoalan hidup, lebih lebih dalam persoalan yang fundamental, menyangkut akidah atau keyakinan
agama. Misalnya
QS. Al-Isra/17 : 36 berikut :
Artinya
: “Dan
janganlah kamu mengikuti
apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.”[7] (QS. Al-Isra’ : 36)
Ayat Al-Qur’an tersebut dengan jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajarannya hendaknya dipergunakan akal pikiran, karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak Al-Qur’an dapat diyakinkan.
Al-Asy’ari, yang seringkali disebut sebagai Bapak Teologi Umat Islam Indonesia, dapat dikatakan sebagai salah seorang tokoh pemrakarsa berfilsafat dengan hukum Islam. Al-Asy’ari
adalah generasi kedua setelah
Al-Kindi (185 H/ 801 M – 260
H/ 873 M). Sementara Al-Kindi, yang menguasai
dengan baik bahas Yunani dan bahasa Syria, inilah yang dikenal
pengulas dan penerjemah buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahsa Arab. Termasuk menerjemahkan buku Plotinus
yang sangat terkenal, yaitu Enneads, yang di dalamnya membahas ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles.
Pada waktu itulah filsafat
dan ilmu pengetahuan di dunia
Islam mulai menemukan bentuknya.[8]
Begitu pesatnya pengaruh filsafat Yunani kala itu sehingga tidak sedikit umat Islam yang mencu- rigainya. Bahkan ada yang tegas-tegas menentangnya sebagai perbuatan bid’ah dan menyesatkan seperti disinyalir Asy’ari tadi. Alasan mereka cukup
“masuk akal”; yaitu
bahwa seandainya filsafat (Yunani) merupakan bagian dari petunjuk dari Allah dan di dalamnya ada kebenaran maka pastilah Nabi dan para sahabat membahasnya.
Makanya untuk konteks Indonesia, yang mayoritasnya menganut faham Asy’ariyah, kita sangat heran atas kurangnya bahkan
hampir tidak adanya
sama sekali sambutan umat Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan moderen.
Kebanyakan di antara umat masih mencurigai filsafat sebagai hanya akan menyesatkan, dan karenanya harus dijauhi. Mereka lebih senang berkutat pada kitab-kitab
fiqih yang ditulis untuk menjawab tantangan zamannya (sekitar seribu tahun yang
lalu). Sehingga sama sekali tidak terasa nilai aktualisasinya sekarang. Mereka lupa bahwa filsafat
dan ilmu pengetahuan modern sekarang tidak
akan sampai ke Eropa kalau bukan karena jasa para filosof dan ilmuwan
Islam zaman dulu.
Sikap penentangan pada zaman Asy’ari tidak berhasil menghentikan laju perkembangan filsafat. Buktinya
filosof-filosof besar
tetap saja
lahir sesudahnya,
bahkan dalam kurun waktu yang
sangat rapat. Hanya sembilan tahun
(251 H/
865 M) sebelum wafatnya al-Kindi (yang lahir sekitar satu dasawarsa sebelum
meninggalnya Khalifah al-Rasyid) lahir
Abu Bakr Muhammad ibn Zakaria
ibn Yahya al-Razi. Tujuh tahun kemudian (258 H/ 870 M) lahir filosof besar lainnya, yaitu Abu
Nasr al-Farabi. Abad berikutnya, muncul Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih (320 H/ 932 M – 421 H/ 1030 M). Kemudian
ada Ibnu Sina (370 H/ 980
M – 428 H/ 1037) yang
digelari al-Syaikh al-Rais. Kemudian setelah itu berturut-turut datang Ibnu Bajjah, Ibnu
tifail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun. Pada akhirnya Filsafat Islam
selalu tumbuh berkembang, diantaranya di Indonesia, dengan dipengaruhi
oleh pemikiran filsuf-filsuf besar
yang telah disebutkan sebelumnya.[9]
Landasan epistemologi ilmu disebut
metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang
benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan
lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut
ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran
transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya
pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada metode ilmiah.
Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu
rasio dan fakta secara integratif.
Rasio atau akal merupakan instrumen
utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia
untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan
ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan.
Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional
denagn pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn
silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.[10]
C.
Sumber Hukum Islam
Pada dasarnya, hukum yang digunakan
dalam proses Epistemologi
Islam bersumber dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci Al-Quran
serta sunah Rosul. Selain itu aliran ini juga mengambil sumber hukum dari pendapat serta pandangan-pandangan ahli agama.[11]
Secara umum beberapa sumber hukum tersebut adalah :[12]
1.
Al Qur’an
Sebagai kitab suci umat Islam, Al Quran menjadi sumber
utama dalam pembuatan dan rujukan hukum – hukum yang mengatur tentang tingkah
laku manusia. Al Quran yang bersifat ilahiah menjadi tolak ukur utama dalam
pembentukan hukum manusia.
2.
As Sunnah
Selain berpedoman pada Al Quran, umat muslim juga berpedoman pada As Sunnah. Kata Sunnah secara bahasa
adalah perilaku seorang tertentu, baik perilaku
yang baik
maupun perilaku yang
buruk. Dalam hal ini yang menjadi pedoman adalah perilaku
Rasulullah Muhammad S.A.W semasa beliau hidup. Setiap perkara atau
hukum yang tidak ditemukan secara tersurat dalam Al Quran akan menggunakan As
Sunnah sebagai sumber pembanding.
3.
Ijma
Pengertian Ijma adalah sumber hukum yang telah mendapatkan kesepakatan dari ulama karena
belum ada aturan secara jelas dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul, adapun sifatnya mengikat bagi semua umat Islam. Berdasarkan definisi, ijma menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid muslim memutuskan sesuatu masalah setelah
wafatnya Rasulullah Muhammad
S.A.W terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa. Apabila terjadi
peristiwa, maka
peristiwa itu dikemukakan kepada semua mujtahid di waktu terjadinya. Para mujtahid
itu kemudian sepakat memutuskan atau
menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu disebut ijma yang merupakan suatu iktibar terhadap suatu hukum. Menurutnya hukum ini adalah adil terhadap suatu masalah.
4.
Qiyas
Pengertian Qiyas menurut tata bahasa berarti
mengukur sesuatu dengan sesuatu yang
lain untuk diketahui antara persamaan di antara keduanya. Berdasarkan definisi, pengertian qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan
meneliti alasan logis (illat) dari rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Quran atau
Sunnah Rasul. Bila benar ada kesamaan illat-nya, maka keras dugaan bahwa hukumnya juga sama.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah disampaikan ada beberapa
kesimpulan yang dapat diambil, yaitu :
1.
Epistemologi
Islam yang seringkali disebut sebagai Filsafat
Hukum
Islam
adalah
cabang dari ilmu filsafat yang mempelajari tentang
hukum Islam sebagai obyeknya.
2.
Sejarah
perkembangan
Epistemologi Islam sudah dimulai sejak zaman filsuf Yunani
yang diawali
oleh Al-Asy’ari,
dan kemudian
terus berkembang meskipun mendapat pertentangan. Hal ini membuktikan
bahwa
filsafat
Islam
tidak lebih
“muda”
dari filsafat
yunani yang lebih banyak dikenal.
3.
Dalam
berfilsafat,
umat Islam
memiliki sumber hukum tersendiri yaitu
Al Quran,
As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2006, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fudiartanto, R.B.S, 1978. Epistemologi,
Warawidyani, Yogyakarta .
Huda, Miftahul. 2006, Filsafat
Hukum Islam: Pengertian Filsafat Hukum Islam. Sukses Grafia, Yogyakarta.
Huijbers, Theo, 1993, Filsafat
Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Moslehuddin, Mohammad, 1997, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Filsafat Hukum,
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta
Mujammil Qomar, 2005. Epistemologi Pendidikan
Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Erlangga, Jakarta.
Pound, Roscoe, 1996, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.)
Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta.
Rasjidi, Lili, 1990,
Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra
Aditya
Bakti, Bandung.
, 1991, Filsafat hukum : Apakah
hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Saebani,
Beni
Ahmad. 2007, Filsafat Hukum Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Santoso, Agus, 2014, Hukum, Moral, Dan Keadilan, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Syah, Ismail M., 1992, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta
[1] Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993, hlm. 35
[2] Mohammad Moslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Filsafat Hukum,
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997, hlm. 35
[3] Ibid, hlm. 45
[4] Fudiartanto,
R.B.S, Epistemologi, Yogyakarta : Warawidyani, 1978, hlm. 25
[5] Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 29
[6] Ismail
M. Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi
Aksara, Jakarta, 1992, hal 18-19
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal 430
[8] Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm 15
[9] Huda, Miftahul. Filsafat Hukum Islam: Pengertian Filsafat Hukum Islam. Sukses
Grafia, Yogyakarta, 2006, hlm. 56
[10] Mujammil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta:
Erlangga 2005, hlm. 10
[11] Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.)
Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996, hlm 27
[12] Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 33
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar