MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

POLITIK HUKUM KENOTARIATAN PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS BAGI NOTARIS DALAM MENJALANKAN JABATANNYA

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang Masalah

Istilah ilmu politik (science politique) pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada tahun 1576, kemudianThomas Fitzherbet dan Jeremy Bentham pada tahun 1506. Akan tetapi istilah politik yang dimaksud ialah ilmu negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya sarjana Eropa daratan yang bersifat institusional yuridis, sementara yang berkambang di Amerika adalah tentang teori politik. Konsepsi teori politik yang dikembangkan di Amerika telah melepaskan diri dari sifat-sifat yang institusional yuridis dengan memberi skope yang lebih luas daripada ilmu negara.

Dalam pandangan para sarjana Amerika, ilmu politik sebagai ilmu Negara bukan lagi dalam skope institusional yang statis, tetapi lebih maju dengan melihat negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, definisi-definisi belakangan ini lebih banyak memberi tekanan pada negara dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat seperti dibuat oleh Kaspar Bluntschli bahwa” politics is the science which is concerned with the state, which endeavors to understand and comprehend the state in its conditions, in its essential nature, its various forms of manifestation, its development”. Bahkan Harold D. Laswell lebih tegas merupakan politik sebagi ilmu kekuasaan “when we speak of the science of politics, we mean the science of power”.[1]

Dalam kehidupan kita sehari-hari istilah politik sudah tidak begitu tabu lagi, karena segala sesuatu yang dilakukan atas dasar kepentingan kelompok atau kekuasaan sering kali diatasnamakan dengan label politik, masyarakat pun sudah acap kali memamkai suatu hal-hal yang sifatnya negatif, dengan embel-embel perkataan politik. Didalam perkembangan hukum, politik pun tidak bisa dipisahkan, karena politik dan hukum saling tarik menarik satu sama lain. Sehingga muncullah istilah politik hukum, yang diperkenalkan para ahli.

Pengertian politik hukum menurut Mahcfud M.D adalah legal  policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan dengan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.[2] Dengan demikian, politik hukum menurut Mashfud MD merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Satjipto Rahardjo, Pengertian Politik Hukum ialah aktivitas yang menentukan pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Salah satu dari kegiatan itu menyatakan hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan- tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat.[3] Sedangkan Sri Soemantri M, memberikan pengertian politik hukum adalah kebijakan yang berkenaan dengan hukum. Dimana Sri Soemantri memberikan batasan dan pengertian tentang politik hukum dari pandangan Padmo Wahyono, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk. Kemudian Sri Soemantri memberikan pengertian politik hukum berdasarkan pandangan dari Teuku Moh. Radhie, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah pernyataan kehendak Penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.

Dimana Teuku Moh. Radhie menjelaskan bahwa untuk memahami politik hukum harus terlebih dahulu mengerti apa yang dimaksud dengan: 1) pernyataan kehendak Penguasa Negara; 2) Hukum yang berlaku di wilayahnya; 3) mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan.[4]

Notariat sudah dikenal di tanah air kita, semenjak Belanda menjajah Indonesia, karena notariat adalah suatu lembaga yang sudah dikenal dalam kehidupan mereka di tanah airnya sendiri.[5] Keberadaan lembaga notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Mengingat dalam wilayah hukum perdata (privat), negara menempatkan notaris sebagai pejabat umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan pembuktian atau alat bukti.[6]

Pengaturan tentang jabatan notaris telah dimulai diatur dengan Reglement op Het Notarisin Nederlands Indie (stbl.1860:3),[7] pada tahun 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris [8] disempurnakan lagi dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Perubahan UUJN), yang telah disahkan pada tanggal 17 Januari tahun 2014 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Kedudukan seorang notaris di Indonesia lebih sulit dari pada notaris di negeri Belanda. Seorang notaris di Indonesia menghadapi langganan (client)8 bermacam-macam golongan penduduk dan masing-masing mempunyai adat istiadat sendiri dan mempunyai perbedaan yang beraneka ragam. Maka dari pada itu seorang notaris wajib memberikan penyuluhan hukum terlebih dahulu yang mudah dipahami oleh langganan pada saat berhadapan dengan notaris.[9]

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang menjamin kepastian terhadap tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.[10]

Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta notaris, dimana notaris merupakan salah satu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang.[11] Wewenang membuat akta otentik ini hanya dilaksanakan oleh notaris sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.[12]

Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan notaris di dalam masyarakat serta kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan  yang diberikan undang-undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya.

 

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :

1.      Apa yang dimaksud dengan  Jabatan Notaris?

2.      Bagaimana Politik Hukum Kenotariatan Notaris Dalam Perjalanannya Di Indonesia ?

3.      Bagaimana Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris Pasca Perubahan UUJN?

4.      Apa saja Hak, Kewajiban dan Larangan Notaris Pasca Perubahan UUJN ?

 


 

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.           Tinjauan Tentang Jabatan Notaris

Akta-akta yang dibuat oleh notaris merupakan akta autentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.[13] Membuat akta notaris tidakalah sesulit seperti yang dibayangkan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat membuat akta notaris untuk mencegah kerugian.

Berdasarkan ketentuan pasal 1868 KUHPer, agar akta-akta memiliki otensitas, maka akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: a) akta itu harus dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum; b) akta itu harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang; dan c) pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum[14] yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru sita, Pegawai Pencatat Sipil), di tempat akta itu dibuat dan pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG). Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari kata otentik adalah akta notaris, vonis surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.

Menurut pasal 1869 KUHPer suatu akta dibuat bukan oleh atau dihadapan pejabat umum, atau pejabat yang tidak berwenang menurut undang-undang itu, maka akta itu bukan akta otentik tapi dianggap sebagai akta dibawah tangan, jika tanda tangani dan disetujui oleh para pihak. Akta otentik tersebut lahir adalah jika akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum dengan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat dalam wilayah jabatan dari pejabat yang berwenang membuatnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan pejabat umum tersebut adalah notaris.[15] Mengenai wewenang yang dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang notaris hanya boleh melakukan jabatannya di dalam seluruh daerah yang ditentukan baginya dan hanya didalam daerah hukumnya (daerah jabatannya). Wewenang notaris  meliputi  empat  hal, sebagaimana G.H.S Lumbun Tobing menyebutkan wewenang tersebut sebagai berikut:[16] a) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu, dalam hal ini tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta- akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan; b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat, Dalam pasal 52 ayat (1) UUJN misalnya ditentukan bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang menpunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping   sampai   dengan   derajat ketiga, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Tujuannya itu semua adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan ataupun penyelewengan jabatan; c) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, kewenangan notaris tersebut hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya. Jadi akta yang dibuat di luar daerah jabatannya seabagai seoarang notaris adalah tidak sah; dan d) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Berdasarkan kewenangan tersebut ada dua bentuk akta otentik yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum, yaitu “akta relaas dan akta yang berisikan suatu cerita”. Suatu akta yang memuat “relaas”, adalah akta yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan notaris sebagai pembuat akta itu. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh”.

Sedangkan suatu akta yang berisikan suatu “cerita”. Dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang (para pihak) di hadapan notaris. Artinya yang diterangkan atau yang diceritakan oleh orang-orang ataupun para pihak yang menghadap kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak/orang-orang itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu, atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatannya itu dikonstatir (diformulasikan) oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang sedemikian itu dinamakan akta yang dibuat “di hadapan” notaris.

Sedangkan A.W.Voor membagi pekerjaan notaris menjadi dua bagian yaitu:[17] a) Pekerjaan legal yaitu pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang. Pekerjaan ini merupakan tugas sebagai pejabat untuk melaksanakan sebahagian pemerintah diantaranya yaitu: memberi kepastian hukum, membuat grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, memberi suatu keterangan dalam suatu akta yang menggantikan tanda tangan, dan memberikan kepastian mengenai tanda tangan seseorang; b) Pekerjaan ekstra legal yaitu pekerjaan yang dipercayakan kepadanya dalam jabatan itu. Pekerjaan ini merupakan tugas lain yang dipercayakan kepadanya untuk menjamin dan menjaga nya “perlindungan kepastian hukum” dalam arti setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak bisa dikurangi atau ditiadakan begitu saja baik karena masih dibawah umur atau mengidap penyakit ingatan. Kehadiran seseorang notaris dalam hal hal itu diwajibkan oleh undang-undang dan ini adalah bukti kepercayaan pembuat undang-undang kepada diri seorang notaris. Pekerjaan pekerjaan ini dilakukan oleh seorang notaris sebagai suatu organ negara dan oleh karena itu maka tindakannya mempunyai kekuatan undang undang.

 

B.            Politik Hukum Kenotariatan Notaris Dalam Perjalanannya Di Indonesia

Politik hukum kenotariatan dari masa kemasa semakin berkembang, jika ingin menjadi seorang Notaris, sesuai dengan aturan undang-undang jabatan notaris, yang menyatakan bahwa seorang yang ingin menjadi notaris, harus terlebih dahulu harus mendapatkan atau menyandang gelar Magister Kenotariatan. Hal ini merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memilki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam pasal 1 peraturan jabatan notaris dan pasal 1868 KUHPerdata.

Melihat lebih jauh politik hukum kenotariatan, maka kita terlebih dahulu melihat munculnya perkataan notaris berasal dari perkataan notarius, ialah nama yang sering digunakan pada zaman Romawi, istilah notarius diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Nama notarius lambat laun rnempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga kira-kira pada abad ke-dua sesudah masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.[18]

Notaris  di  Indonesia  pada permulaan abad ke-17 (tujuh belas) dengan oost indo comagnie di Indonesia.[19] Pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu beberapa bulan setelah Jakarta dijadikan ibukota (tanggal 4 maret 1621 dinamakan Batavia) Melchior Kerchen, sekretaris dan Collage Van Schepeben di Jakarta diangkat menjadi notariat pertama di Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan waktu itu oleh karena berbeda dengan pengangkatan Melchoir Kerchen sebagai notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya yakni didalam menjalankan tugas jabatannya di kota Jakarta untuk kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekerjaanya itu sesuai dengan sumpah setia yang diucapkannya pada waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw di Kasteel Batavia (yang sekarang dikenal sebagai Gedung Departemen Keuangan Lapangan Benteng) dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akata yang dibuatnya.[20]

Pada tahun 1625 jabatan notaris dipisahkan dari jabatan sekretaris college van schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para notaris pada tanggal 16 Juni tahun 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan bahwa notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.[21]

Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas dan wewenang dari seorang notaris dan juga menegaskan notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan kemudian mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.[22]

Lembaga notariat sendiri berdiri di Indonesia sejak pada tahun 1860, sehingga lembaga notariat bukan lembaga yang baru di kalangan masyarakat Indonesia. Lembaga notariat di Indonesia telah berumur kurang lebih 145 tahun sejak berdiri pada tahun 1860, sehingga lembaga notariat bukan lembaga yang baru dalam kalangan masyarakat. Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman Italia Utara, daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan “latijnse notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula.[23]

Tahun 1860 pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3).[24]

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.” Dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh menteri kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) tahun 1948 nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman.[25]

Tahun 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Nederland, pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat atau provinsi Papua sekarang), adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status notaris yang berkewarganegaraan Belanda yangada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya.[26]

Terjadilah kekosongan jabatan notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat “wakil notaris” untuk menjalankan tugas jabatan notaris dan menerima protocol yang berasal dari notaris yang berkewarganegaraan Belanda.[27]

Tanggal 13 November 1954, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan bahwa, dalam hal notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan- pekerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil notaris (pasal 1 huruf c dan pasal 8 Undang- Undang nomor 33 tahun 1954).

Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil notaris sementara (pasal 1 huruf d Undang- Undang nomor 33 tahun 1954), sedangkan yang disebut notaris adalah mereka yang diangkat   berdasarkan  ketentuan   Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) (pasal 1 huruf a Undang-Undang nomor 33 tahun 1954). Undang-Undang nomor 33 tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk notaris Indonesia.[28]

Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954 merupakan notaris (berkewarganegaraan Belanda) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) berdasarkan pasal

3 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Ketentuan pengangkatan seorang pejabat notaris oleh Gubernur Jenderal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 telah dicabut, yaitu tersebut dalam pasal 2 ayat  (3)  dan  juga mencabut pasal 62, 62a dan 63 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3).[29]

Setelah berjalan cukup lama notaris berdiri di indonesia, dan diakui sebagai pejabat yang berwenang membuat akta sesuai dengan aturannya, maka untuk lebih mengutamakan lagi keberadaan pejabat notaris pada tanggal 6 Oktober 2004, diundangkanlah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Kita bisa melihat politik hukum kenotariatan selama berlakunya UUJN tersebut, paling tidak pernah dilakukan 2 (dua) kali pengujian UUJN terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, Perkara Nomor 009- 014/PUU-III/2005 pengujian atas Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2). Kedua, Perkara Nomor 49/PUU-X/2012 Pengujian Undang-Undang Pasal 66 ayat (1) UUJN. Walaupun Mahkamah Konstitusi menolak kedua permohonan tersebut, paling tidak membuktikan dinamisasi yang terjadi atas UUJN.[30]

Didalam perjalannya, peraturan jabatan notaris ini pun kembali dirubah demi menjamin konsitensi kinerja dari pejabat notaris. Dalam Rapat Koordinasi Majelis Pengawas Notaris (Rakor MPN) yang dilansungkan di Bandung akhir Oktober tahun 2013, menghasilkan rekomendasi yang utamanya menyangkut penguatan kelembagaan MPN ini. Khususnya berkaitan dengan dihilangkannya pasal 66 ayat 1 UUJN oleh putusan Mahkamah Konstitusi.[31] Pasca keputusan MK No. 49/PUU-X/2012, PP INI terus melakukan usaha-usaha dalam penjagaan kerahasian akta yang dibuat oleh notaris, antara lain penandatangan MoU dengan Kepolisian Republik Indonesia, perihal tata cara pemanggilan notaris berkaitan dengan keterangan akta hingga akhirnya melakukan melakukannya dengan stake holder lainnya seperti kemenkunham hingga tim perumus RUUJN mendapat masukan dengan pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dalam rangka mengatur mekanisme pemeriksaan notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnnya.[32]

Dalam revisi UUJN yang telah disetujui untuk disahkan di paripurna ini, ada politik hukum yang keliatan sekali menurut penulis, dimana ada beberapa hal baru yang sangat penting, yaitu pertama, “menjelmanya” kembali ketentuan pasal yang mirip dengan ketentuan yang berbunyi “...dengan ijin Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 ayat 1 UUJN Nomor 30 tahun 2004 yang dianulir MK beberapa waktu lalu, didalam ketentuan revisi, kewenangan ini bertransformasi ke bentuk apa yang dinamakan “Majelis Kehormatan Notaris” yang merupakan pintu masuk izin penegak hukum untuk memanggil dan memeriksa notaris. Jika nanti undang-undang ini disahkan maka penegak hukum, polisi, hakim dan jaksa, kembali harus minta izin organisasi untuk memeriksa atau memanggil notaris untuk diminta keterangan.

Namun sangat disayangkan di dalam pasal 1 UUJN di dalam RUU tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan Majerlis Kehornatan tersebut, seperti pasal 1 menjelaskan lembaga-lembaga lainnya antara lain majelis pengawas. Mungkin hal   ini   merupakan   kealfaan   dari   para perumus RUU, sehingga seolah-olah lembaga baru ini hanya merupakan suatu tempelan belaka. Menurut Alwesius Pasal- pasal tersebut tidak mengatur kewenangan apa yang dimiliki oleh MKN. Karena kewenangan MKN tidak diatur di dalam undang-undang maka sangat sulit bagi MKN untuk menjalankan tugasnya kelak yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri.

Pada 17 Januari 2014 akhirnya Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris diundangkan dengan Undang- Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris. Diundangkannnya UU Perubahan UUJN tersebut maka ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut telah berlaku dan mengikat khususnya bagi para notaris.

Posisi politik hukum kenotariatan bisa kita lihat disini, Dalam Perubahan Undang- Undang Jabatan Notaris, terkhususnya pengaturan terhadap lembaga MKN sendiri masih terjadi pasal-pasal yang tumpang tindih antara Majelis Kehormatan dengan MPN. Jika dilihat dalam pasal-pasalnya ada yang menyebutkan itu kewenangan Majelis Kehormatan tetapi di pasal lain menjadi Kewenangan MPN. Kewenangan ini seharusnya diperjelas agar tidak ada ada tumpang tindih kewenagan.[33] Menurut Jilmly Ashiddiqie, pengaturan baru itu dapat dinilai lebih baik karena mengaitkannya dengan sistem etika profesi yang memang perlu diperkuat. Jika sistem etika profesi berjalan dengan baik, tentu kebutuhan untuk melakukan kriminalisasi terhadap profesi seperti notaris dapat diminimalkan.

Pengaruh politik hukum dalam lembaga kenotariatan sangatlah besar. Ini bisa lihat dari proses-proses pembentukkan pejabat Notaris sejak zaman penjajahan Belanda (atau negara Indonesia dahulunya disebut Hindia Belanda), masa transisisi kemerdekaan Republik Indonesia, sampai diundangkannya Undang-Undang Jabatan Notaris dengan perubahan yang terbarunya. Itu semua untuk menjaga eksistensi Notaris dalam menjalannkan jabatannya, karena notaris adalah pejabat yang turut serta menjamin dari tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

 

C.           Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris Pasca Perubahan UUJN

Notaris adalah orang yang mendapat kuasa dari pemerintah (dalam hal ini adalah kuasa dari Departemen kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai suarat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya. Notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki keilmuan dan keahlian dalam bidang ilmu hukum dan kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan, maka dari pada itu secara pribadi notaris bertanggung jawab atas mutu jasa yang diberikannya. Sebagai pegemban misi pelayanan, profesi notaris terikat dengan etik notaris yang merupakan penghormatan martabat manusia pada umumnya dan martabat notaris khususnya, maka dari itu pengemban profesi notaris mempunyai ciri-ciri mandiri dan tidak memihak, tidak terpacu dengan pamrih, selalu rasionalitas dalam arti mengacu pada kebenaran yang objektif, spesialitas fungsional serta solidaritas antar sesama rekan seprofesi.[34] Jabatan profesi notaris merupakan profesi yang menjalankan tugas sebagian kekuasaan negara khususnya di bidang hukum privat, di samping itu juga mempunyai peranan penting dalam pembuatan akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian paling sempurna. Jabatan profesi notaris merupakan jabatan kepercayaan, maka dari itu seorang notaris harus mempunyai perilaku baik yang dijamin oleh undang-undang, sedangkan undang-undang telah mengamanatkan pada perkumpulan untuk menetapkan kode etik profesi notaris. Perilaku notaris yang baik adalah perilaku yang berlandaskan pada kode etik profesi notaris, dengan demikian kode etik profesi notaris harus mengatur hal-hal yang harus ditaati oleh seorang notaris, dalam menjalankan jabatannya dan juga di luar jabatannya.

Sejak berlakunya UUJN maka notaris berada di bawah kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dari itu yang dapat mengangkat dan memberhentikan notaris adalah kewenangan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk dapat diangkatnya seseorang menjadi seorang notaris harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 perubahan UUJN, yang menyatakan bahwa yang dapat diangkat menjadi notaris adalah: a) warga negara Indonesia; b) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c) berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d) sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e) berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f) telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g) tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang- undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris; dan h) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Setelah persyaratan untuk diangkatnya menjadi notaris telah terpenuhi, maka sebelum menjalankan jabatan wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri hukum dan hak asasi manusia. Pengucapan sumpah atau janji tersebut dilakukan paling lambat 60 hari. Jika tidak terpenuhi maka keputusan pengangkatan sebagai notaris dapat dibatalkan oleh menteri.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 perubahan UUJN dinyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, yang bersangkutan wajib: a) menjalankan jabatannya dengan nyata; b) menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan MPD; dan c) menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap atau stempel jabatan notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat notaris diangkat.

Di dalam pasal 8 ayat (1) perubahan UUJN dinyatakn bahwa notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, karena: a) meninggal dunia; b) telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; c) permintaan sendiri; d) tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; dan e) Merangkap jabatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 huruf g.

Sementara itu dalam kaitannya dengan ketentuan pasal 9 ayat (1) perubahan UUJN diatas, maka notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena: a) dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b) berada di bawah pengampuan; c) melakukan perbuatan tercela; d0 melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik notaris; atau e) sedang menjalani masa penahanan.

Sejalan dengan ketentuan pasal 8 dan pasal 9 diatas maka notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul MPP apabila: a) Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh ketentuan hukum tetap; b) Berada dibaah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; c) Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat notaris, dan d) Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

 

D.           Hak, Kewajiban dan Larangan Notaris Pasca Perubahan UUJN

Otoritas notaris diberikan oleh undang- undang untuk pelayanan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi notaris. Oleh karena itu kewajiban- kewajiban yang diemban notaris adalah kewajiban jabatan (ambtsplicht). Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya itu, sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak memangku jabatan notaris. Batasan seorang notaris dikatakan mengabaikan tugas atau kewajiban jabatan, apabila notaris tidak melakukan perintah imperatif undang-undang yang dibebankan kepadanya.[35]

Di dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pejabat notaris, notaris tidak pernah lepas dari hak, kewajiban serta larangan. Adapun hak, kewajiban serta larangan notaris akan diuraikian dibawah ini. Hak dari seorang Notaris berupa: a) hak untuk cuti (pasal 25); b) hak untuk mendapat honorarium (Pasal 36), dan c) hak ingkar (pasal 4, jo Pasal 16 huruf e jo Pasal 54).

Sedangkan Kewajiban notaris meliputi sebagai berikut:[36] a) mengucapkan sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya (pasal 4 ayat (1); b) wajib menjalankan jabatan secara nyata, menyampaikan berita acara sumpah atau janji jabatan, alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta teraan cap/stempel jabatan notaris (pasal 7); c) bertindak jujur, bijaksana, mandiri, tidak berpihak; dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (pasal 16 ayat (1) huruf a); d) membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris (pasal 16  ayat (1) huruf b); e) melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari pengahadap pada minuta akta (pasal 16 ayat (1) huruf c); f) mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan. akta, berdasarkan minuta akta (pasal 16 ayat (1) huruf d); g) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (pasal 16 ayat (1) huruf e); h) merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (pasal 16 ayat (1) huruf f); i) menjilid akta (pasal 16 ayat (1) huruf g); j) membuat daftar   dari   akta   protes   terhadap  tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga (pasal 16 ayat (1) huruf h); k) membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta tiap bulan (pasal 16 ayat (1) huruf i); l) mengirimkan daftar akta ke daftar pusat wasiat departemen dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama tiap bulan berikutnya (pasal 16 ayat (1) huruf j); m) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan (pasal 16 ayat (1) huruf k); n) mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara republik indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan (pasal 16 ayat (1) huruf l); o) membacakan akta di  hadapan penghadap (pasal 16  ayat (1) huruf m); p) menerima magang calon notaris (pasal 16 ayat (1) huruf n); q) berkantor di tempat kedudukannya (pasal 19 ayat (1), dan r) wajib memberikan jasa hukum kepada orang yang tidak mampu (pasal 37).

Larangan yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar oleh notaris menurut pasal 17 perubahan UUJN, yaitu: a) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c) merangkap sebagai pegawai negeri; d) merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e) merangkap jabatan sebagai Advokat; f) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta; g) merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau; h) Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan notaris; i) menjadi Notaris Pengganti; atau j) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.

 

BAB III
KESIMPULAN

 

Notaris adalah pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang jabatan notaris atau berdasarkan undang- undang lain yang mengaturnya. Artinya bahwa akta notaris itu berkaitan secara langsung dengan nilai martabat para pihak yang berjanji. Janji-janji yang telah dinyatakan dalam akta merupakan cerminan dari kehendak niat tulus yang disampaikan oleh para pihak. Notaris lahir akibat dari kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta notaris.

Politik Hukum sangat mempengaruhi eksistensi dari jabatan Notaris. Hal ini bisa kita lihat dari regulasi-regulasi yang selama ini keluar untuk mengatur jabatan Notaris dalam menjalankan jabatannya. Dengan semakin dikuatkannya eksistensi jabatan Notaris, maka akan membawa dampak yang lebih baik dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Perjalanan panjang politik hukum kenotariatan di mulai semenjak Belanda datang ke Indonesia di zaman sebelum kemerdekaan sampai dengan tahun 2014, dengan disahkannya Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris, banyak dinamika dan lika-liku di dalam perjalanan jabatan notaris, dan itu berdampak pada tata cara pengangkatan dan pemberhentian notaris, serta hak, kewajiban dan larangan notaris. Banyak perubahan yang terjadi akibat Perubahan UUJN, terhadap Notaris dalam menjalankan jabatannya dalam bidang kenotariatan.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.           Buku

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta: UII Press, 2009.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1996.

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang- Undang Jabatan Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Bandung: Refika Aditama, 2009.

               , Aspek Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Bandung: Mandar Maju, 2011.

Hafied Cangara, Komunikasi Politik (Konsep, Teori dan Strategi), Jakarta: Raja Grafindo Pers, 2009.

Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Jakarta: Dunia Cerdas, 2013.

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.

I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum- Inggris Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Laurensius Arliman S, Notaris dan Penegakan Hukum Oleh Hakim, Yogjakarta: Budi Utama, 2015.

Moh. Machfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Muchlis Fatahna, et.al, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, Jakarta: Watampone Pers, 2003.

M. Agus Santoso, Hukum Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.

R. Soegono Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta: Rajawali Press 1993.

R. Soesanto, Tugas Kewajiban dan Hak- Hak Notaris Wakil Notaris (sementara), Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab    Undang-          Undang           Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.

Santia Dewi dan R.M Fauwas Diradja, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2011.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Sri Soementri M, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung: Remaja Rosdakarya Ofsett, 2014.

Tan Thong Kie, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007.

Victor M. Situmorang dan Cormentyana Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

 

B.            Jurnal

Nur Ichwan, “Direkomendasikan Perlu Ada Pengganti Pasal 66”, Majalah Renvoi, November, 2013.

Syafran Sofyan, “PP INI Lakukan Sosialisasi Menyeluruh-Empat Pasal Krusial UUJN Perubahan Harus Dipahami”, Majalah Renvoi, Februari, 2014.

Zukkifli Harahap, “Majelis Kehormatan Idealnya Berjenjang”, Majalah Renvoi, Februari, 2014.

 



[1] Hafied Cangara, Komunikasi Politik (Konsep, Teori dan Strategi), Jakarta: Raja Grafindo Pers, 2009, hlm. 26-27.

[2] Moh. Machfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 1.

[3] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm.352.

[4] Sri Soementri M, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung: Remaja Rosdakarya Ofsett, 2014, 123-127.

[5] R. Soegono Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta: Rajawali Press 1993, hlm. 1.

[6] Laurensius Arliman S, Notaris dan Penegakan Hukum Oleh Hakim, Yogjakarta: Budi Utama, 2015, hlm. 1.

[7] Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie (stbl.1860:3)

[8] I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum-Inggris Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 134.

[9] R. Soesanto, Tugas Kewajiban dan Hak-Hak Notaris Wakil Notaris (sementara), Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 28.

[10] Muchlis Fatahna, et.al, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, Jakarta: Watampone Pers, 2003, hlm. 253.

[11] Santia Dewi dan R.M Fauwas Diradja, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2011, hlm. 9.

[12] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang Jabatan Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm. 40.

[13] Santia Dewi, Op.cit, hlm. 36.

[14] Herlien Budiono, op.cit, hlm. 5.

[15] Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifani, Prinsip- Prinsip Dasar Profesi Notaris, Jakarta: Dunia Cerdas, 2013, hlm.5.

[16] G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm. 4.

[17] Tan Thong Kie, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007, hlm. 226-227.

[18] R. Soegono Notodisoerjo, Op.cit, hlm. 13.

[19] G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit, hlm. 14.

[20] Muchlis Fatahna, Op.cit, hlm. 258.

[21] R. Soegono Notodisoerjo, Op.cit, hlm. 23.

[22] Ibid, hlm. 24-25.

[23] G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit, hlm. 3-4.

[24] Habib Adjie, Op.cit, Hukum…, hlm. 27.

[25] Ibid, hlm. 2.

[26] Ibid.

[27] Ibid, hlm. 3.

[28] Ibid, hlm. 4.

[29] Muchlis Fatahna dan Joko Purwanto, Op.cit, hlm. 258-256.

[31] Nur Ichwan, “Direkomendasikan Perlu Ada Pengganti Pasal 66”, Majalah Renvoi, November, 2013, hlm. 39.

[32] Syafran Sofyan, “PP INI Lakukan Sosialisasi Menyeluruh-Empat Pasal Krusial UUJN Perubahan Harus Dipahami”, Majalah Renvoi, Februari, 2014, hlm. 27.

[33] Zukkifli Harahap, “Majelis Kehormatan Idealnya Berjenjang”, Majalah Renvoi, Februari, 2014, hlm. 7

[34] M. Agus Santoso, Hukum Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm 113.

[35] Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta: UII Press, 2009, hlm. 177.

[36] Habib Adjie, Aspek Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Bandung: Mandar Maju, 2011, hlm. 91-92.

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.