POLITIK HUKUM KENOTARIATAN PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS BAGI NOTARIS DALAM MENJALANKAN JABATANNYA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Istilah ilmu politik (science politique) pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa
pada tahun 1576, kemudianThomas Fitzherbet dan Jeremy
Bentham pada tahun 1506. Akan tetapi istilah politik
yang dimaksud ialah ilmu negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya sarjana
Eropa daratan yang bersifat institusional yuridis, sementara yang berkambang di
Amerika adalah tentang teori politik. Konsepsi teori politik yang dikembangkan
di Amerika telah melepaskan diri dari sifat-sifat yang institusional yuridis
dengan memberi skope yang lebih luas daripada ilmu negara.
Dalam pandangan para sarjana Amerika, ilmu
politik sebagai ilmu Negara bukan lagi dalam skope institusional yang statis,
tetapi lebih maju dengan melihat negara sebagai lembaga politik yang
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, definisi-definisi
belakangan ini lebih banyak memberi tekanan pada negara dalam hubungannya
dengan dinamika masyarakat seperti dibuat
oleh Kaspar Bluntschli bahwa” politics is
the science which is concerned with the state, which endeavors to understand
and comprehend the state
in its conditions, in its essential nature, its various forms of
manifestation, its development”. Bahkan Harold D. Laswell lebih tegas
merupakan politik sebagi ilmu kekuasaan “when
we speak of the science of politics, we mean the
science of power”.[1]
Dalam kehidupan kita sehari-hari istilah
politik sudah tidak begitu tabu lagi, karena segala sesuatu yang dilakukan atas
dasar kepentingan kelompok atau kekuasaan sering kali diatasnamakan dengan
label politik, masyarakat pun sudah
acap kali memamkai suatu hal-hal yang sifatnya negatif, dengan embel-embel
perkataan politik. Didalam perkembangan hukum, politik pun tidak bisa
dipisahkan, karena politik dan hukum saling tarik menarik satu sama lain.
Sehingga muncullah istilah politik hukum, yang diperkenalkan para ahli.
Pengertian politik hukum menurut Mahcfud M.D
adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan dengan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.[2]
Dengan demikian, politik hukum menurut Mashfud MD merupakan pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang
akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau
tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara
seperti yang tercantum di dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut
Satjipto Rahardjo, Pengertian Politik Hukum ialah aktivitas yang menentukan pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai
tujuan hukum dalam masyarakat. Salah
satu dari kegiatan itu menyatakan hukum
harus senantiasa melakukan
penyesuaian terhadap tujuan- tujuan yang ingin dicapai
oleh masyarakat.[3] Sedangkan Sri Soemantri M, memberikan pengertian
politik hukum adalah kebijakan yang berkenaan
dengan hukum. Dimana Sri Soemantri memberikan batasan dan pengertian tentang
politik hukum dari pandangan Padmo Wahyono, yang menyatakan bahwa politik
hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan
dibentuk. Kemudian Sri Soemantri memberikan pengertian politik hukum berdasarkan pandangan dari Teuku Moh.
Radhie, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah pernyataan kehendak Penguasa Negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.
Dimana Teuku Moh. Radhie menjelaskan bahwa
untuk memahami politik hukum harus terlebih dahulu mengerti apa yang dimaksud
dengan: 1) pernyataan kehendak Penguasa Negara; 2) Hukum yang berlaku di
wilayahnya; 3) mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan.[4]
Notariat sudah dikenal di tanah air kita, semenjak Belanda menjajah
Indonesia, karena notariat adalah suatu lembaga yang sudah dikenal dalam
kehidupan mereka di tanah airnya
sendiri.[5]
Keberadaan lembaga notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk mewujudkan
kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota
masyarakat. Mengingat dalam wilayah hukum perdata (privat), negara menempatkan notaris sebagai pejabat umum yang berwenangan
dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan
pembuktian atau alat bukti.[6]
Pengaturan tentang jabatan notaris
telah dimulai diatur dengan Reglement op
Het Notarisin Nederlands Indie (stbl.1860:3),[7]
pada tahun 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris [8]
disempurnakan lagi dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (Perubahan UUJN), yang telah disahkan pada tanggal 17 Januari tahun 2014 oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI).
Kedudukan seorang notaris di Indonesia lebih
sulit dari pada notaris di negeri Belanda. Seorang notaris di Indonesia menghadapi
langganan (client)8 bermacam-macam
golongan penduduk dan masing-masing mempunyai adat istiadat sendiri dan
mempunyai perbedaan yang beraneka ragam. Maka dari pada itu seorang notaris
wajib memberikan penyuluhan hukum terlebih dahulu yang mudah dipahami oleh
langganan pada saat berhadapan dengan notaris.[9]
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya
berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki
untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Kumpulan
Tulisan Hukum Perdata di Bidang menjamin
kepastian terhadap tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua
sepanjang akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.[10]
Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat
dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta
notaris, dimana notaris merupakan salah satu pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang.[11] Wewenang membuat
akta otentik ini hanya
dilaksanakan oleh notaris sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.[12]
Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan
notaris di dalam masyarakat serta kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan
bahwa jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan yang diberikan undang-undang dan masyarakat
ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai notaris bertanggung jawab
untuk melaksanakan kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung
tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat
ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan Jabatan Notaris?
2.
Bagaimana Politik Hukum Kenotariatan Notaris
Dalam Perjalanannya Di Indonesia ?
3.
Bagaimana Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Notaris Pasca Perubahan UUJN?
4.
Apa saja Hak, Kewajiban dan Larangan Notaris
Pasca Perubahan UUJN ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Tentang Jabatan Notaris
Akta-akta yang dibuat oleh notaris merupakan
akta autentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna.[13]
Membuat akta notaris tidakalah sesulit seperti yang dibayangkan. Akan tetapi,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat membuat akta notaris untuk
mencegah kerugian.
Berdasarkan ketentuan pasal 1868 KUHPer, agar
akta-akta memiliki otensitas, maka akta yang bersangkutan harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut: a) akta itu harus dibuat oleh dan
dihadapan pejabat umum; b) akta itu harus dibuat dalam bentuk yang telah
ditentukan oleh undang-undang; dan c) pejabat umum oleh atau dihadapan siapa
akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta
di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang
oleh atau dihadapan pejabat umum[14]
yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru sita, Pegawai Pencatat Sipil), di tempat akta itu dibuat dan pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG).
Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan
atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang
berkepentingan saja. Contoh dari kata otentik adalah akta notaris, vonis surat
berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran,
kematian dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat
perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.
Menurut pasal 1869 KUHPer suatu akta
dibuat bukan oleh atau dihadapan pejabat umum, atau pejabat yang tidak
berwenang menurut undang-undang itu, maka akta itu bukan akta otentik tapi
dianggap sebagai akta dibawah tangan,
jika tanda tangani
dan disetujui oleh para pihak. Akta otentik tersebut lahir adalah jika
akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum dengan bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang yang dibuat dalam wilayah jabatan dari pejabat yang berwenang membuatnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud
dengan pejabat umum tersebut adalah notaris.[15] Mengenai
wewenang yang dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik,
seorang notaris hanya boleh melakukan jabatannya di dalam seluruh daerah yang
ditentukan baginya dan hanya didalam daerah hukumnya (daerah jabatannya). Wewenang notaris meliputi
empat hal, sebagaimana G.H.S Lumbun Tobing menyebutkan wewenang tersebut
sebagai berikut:[16]
a) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat
itu, dalam hal ini tidak setiap pejabat umum dapat
membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-
akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan
peraturan perundang-undangan; b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai
orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat, Dalam pasal 52 ayat (1)
UUJN misalnya ditentukan bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk
diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang menpunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris baik karena perkawinan
maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas
tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke
samping sampai dengan
derajat ketiga, serta dalam
garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri
sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
Tujuannya itu semua adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan ataupun
penyelewengan jabatan; c) Notaris
harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, kewenangan notaris
tersebut hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya. Jadi akta yang dibuat
di luar daerah jabatannya seabagai seoarang notaris adalah tidak sah; dan d)
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Berdasarkan kewenangan tersebut ada dua bentuk
akta otentik yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum, yaitu “akta relaas dan akta yang berisikan suatu
cerita”. Suatu akta yang memuat “relaas”,
adalah akta yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan notaris sebagai pembuat akta
itu. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat
dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh”.
Sedangkan suatu akta yang berisikan suatu
“cerita”. Dari apa yang terjadi karena
perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang (para
pihak) di hadapan notaris. Artinya yang diterangkan atau yang diceritakan oleh
orang-orang ataupun para pihak yang menghadap kepada notaris dalam menjalankan
jabatannya dan untuk keperluan mana pihak/orang-orang itu sengaja datang di
hadapan notaris dan memberikan
keterangan itu, atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar
keterangan atau perbuatannya itu dikonstatir (diformulasikan) oleh notaris di
dalam suatu akta otentik. Akta yang sedemikian itu dinamakan akta yang dibuat
“di hadapan” notaris.
Sedangkan A.W.Voor membagi pekerjaan notaris
menjadi dua bagian yaitu:[17]
a) Pekerjaan legal yaitu pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang.
Pekerjaan ini merupakan tugas sebagai pejabat untuk melaksanakan sebahagian
pemerintah diantaranya yaitu: memberi kepastian hukum, membuat grosse yang
mempunyai kekuatan eksekutorial, memberi suatu keterangan dalam suatu akta yang menggantikan tanda tangan, dan
memberikan kepastian mengenai tanda tangan seseorang; b) Pekerjaan ekstra legal
yaitu pekerjaan yang dipercayakan kepadanya dalam jabatan itu. Pekerjaan ini
merupakan tugas lain yang dipercayakan kepadanya untuk menjamin dan menjaga nya
“perlindungan kepastian hukum” dalam arti setiap
orang mempunyai hak dan
kewajiban yang tidak bisa dikurangi atau ditiadakan begitu saja baik karena
masih dibawah umur atau mengidap penyakit ingatan. Kehadiran seseorang notaris
dalam hal hal itu diwajibkan oleh undang-undang dan ini adalah bukti
kepercayaan pembuat undang-undang kepada diri seorang notaris. Pekerjaan
pekerjaan ini dilakukan oleh seorang notaris sebagai suatu organ negara dan
oleh karena itu maka tindakannya mempunyai kekuatan undang undang.
B.
Politik Hukum
Kenotariatan Notaris Dalam Perjalanannya Di Indonesia
Politik hukum kenotariatan dari masa kemasa
semakin berkembang, jika ingin menjadi seorang Notaris, sesuai dengan aturan undang-undang
jabatan notaris, yang menyatakan bahwa seorang yang ingin menjadi
notaris, harus terlebih
dahulu harus mendapatkan atau menyandang gelar Magister Kenotariatan. Hal ini merupakan syarat mutlak
yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memilki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang- undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan
dari istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam pasal 1 peraturan jabatan
notaris dan pasal 1868 KUHPerdata.
Melihat lebih jauh politik hukum kenotariatan,
maka kita terlebih dahulu melihat munculnya perkataan notaris berasal dari
perkataan notarius, ialah nama yang
sering digunakan pada zaman Romawi, istilah notarius
diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Nama notarius lambat laun rnempunyai arti
berbeda dengan semula, sehingga kira-kira pada abad ke-dua sesudah masehi yang
disebut dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan
cepat.[18]
Notaris di
Indonesia pada permulaan abad ke-17 (tujuh belas) dengan oost indo comagnie di Indonesia.[19]
Pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu beberapa bulan setelah Jakarta dijadikan
ibukota (tanggal 4 maret 1621 dinamakan Batavia) Melchior Kerchen, sekretaris
dan Collage Van Schepeben di Jakarta diangkat menjadi notariat pertama di
Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan waktu itu oleh
karena berbeda dengan pengangkatan Melchoir Kerchen sebagai notaris sekaligus
secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan
wewenangnya yakni didalam menjalankan tugas jabatannya di kota Jakarta untuk
kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan
untuk menjalankan pekerjaanya itu sesuai dengan sumpah setia yang diucapkannya
pada waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw
di Kasteel Batavia (yang
sekarang dikenal sebagai Gedung Departemen Keuangan Lapangan Benteng) dengan
kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akata yang dibuatnya.[20]
Pada tahun 1625 jabatan notaris dipisahkan dari
jabatan sekretaris college van schepenen,
yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para notaris pada tanggal 16 Juni
tahun 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain
menetapkan bahwa notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan
kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta akta kepada orang-orang yang tidak
berkepentingan.[21]
Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in
Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum
batas-batas dan wewenang dari seorang notaris dan juga menegaskan notaris
bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk
memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan
tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan kemudian mengeluarkan grossenya,
demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.[22]
Lembaga notariat sendiri berdiri di Indonesia
sejak pada tahun 1860, sehingga lembaga notariat bukan lembaga yang baru di kalangan masyarakat Indonesia.
Lembaga notariat di Indonesia telah berumur kurang lebih 145 tahun sejak
berdiri pada tahun 1860, sehingga lembaga notariat bukan lembaga yang baru
dalam kalangan masyarakat. Sejarah dari lembaga
notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa
pada zaman Italia Utara, daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat
yang dinamakan “latijnse notariaat”
dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh
penguasa umum untuk kepentingan
masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium)
dari masyarakat umum pula.[23]
Tahun 1860 pemerintah Hindia Belanda memandang
perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan
dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris yang berlaku di Belanda.
Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in
Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands
Indie (Stbl. 1860: 3).[24]
Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang- Undang Dasar
(UUD) 1945, yaitu: “Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut undang-undang dasar ini.” Dengan dasar Pasal II Aturan
Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement
op
Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Sejak tahun
1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh menteri kehakiman,
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) tahun 1948 nomor 60, tanggal 30 Oktober
1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban
Kementerian Kehakiman.[25]
Tahun 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB)
yang dilaksanakan di Den Haag, Nederland, pada tanggal 23 Agustus sampai dengan
22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi penyerahan kedaulatan dari
pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk seluruh
wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat atau provinsi Papua sekarang), adanya
penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status notaris yang
berkewarganegaraan Belanda yangada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya.[26]
Terjadilah kekosongan jabatan notaris di
Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan kewenangan yang ada
pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan
tahun 1954 menetapkan dan mengangkat “wakil notaris” untuk menjalankan tugas
jabatan notaris dan menerima protocol yang berasal dari notaris yang
berkewarganegaraan Belanda.[27]
Tanggal 13 November 1954, Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris
dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan
bahwa, dalam hal notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang
yang diwajibkan menjalankan pekerjaan- pekerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk
dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil notaris
(pasal 1 huruf c dan pasal 8 Undang- Undang nomor 33 tahun 1954).
Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan,
sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan
Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti
tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil notaris sementara (pasal 1 huruf
d Undang- Undang nomor 33 tahun
1954), sedangkan yang disebut notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands
Indie (Stbl. 1860: 3) (pasal 1 huruf a Undang-Undang nomor 33 tahun 1954).
Undang-Undang nomor 33 tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris
Ambt in Nederlands Indie (Stbl.
1860: 3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di
Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk notaris Indonesia.[28]
Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954 merupakan
notaris (berkewarganegaraan Belanda) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) berdasarkan pasal
3 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands
Indie (Stbl. 1860: 3). Ketentuan pengangkatan seorang pejabat notaris oleh
Gubernur Jenderal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 telah dicabut,
yaitu tersebut dalam pasal 2 ayat
(3) dan juga mencabut pasal 62, 62a dan 63 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands
Indie (Stbl. 1860:3).[29]
Setelah berjalan cukup lama notaris berdiri di
indonesia, dan diakui sebagai pejabat yang berwenang membuat akta sesuai dengan
aturannya, maka untuk lebih mengutamakan lagi keberadaan pejabat notaris pada
tanggal 6 Oktober 2004, diundangkanlah Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Kita bisa melihat politik hukum
kenotariatan selama berlakunya UUJN tersebut, paling tidak pernah dilakukan 2
(dua) kali pengujian UUJN terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, Perkara
Nomor 009- 014/PUU-III/2005 pengujian atas Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2). Kedua, Perkara Nomor 49/PUU-X/2012 Pengujian Undang-Undang Pasal 66 ayat (1)
UUJN. Walaupun Mahkamah Konstitusi menolak kedua permohonan tersebut, paling
tidak membuktikan dinamisasi yang terjadi atas UUJN.[30]
Didalam perjalannya, peraturan jabatan notaris ini pun kembali dirubah
demi menjamin konsitensi kinerja dari pejabat notaris. Dalam Rapat Koordinasi
Majelis Pengawas Notaris (Rakor MPN) yang dilansungkan di Bandung akhir Oktober
tahun 2013, menghasilkan rekomendasi yang utamanya menyangkut penguatan
kelembagaan MPN ini. Khususnya berkaitan dengan dihilangkannya pasal 66 ayat 1
UUJN oleh putusan Mahkamah Konstitusi.[31]
Pasca keputusan MK No. 49/PUU-X/2012, PP INI terus melakukan usaha-usaha dalam
penjagaan kerahasian akta yang dibuat oleh notaris, antara lain penandatangan
MoU dengan Kepolisian Republik Indonesia, perihal tata cara pemanggilan notaris
berkaitan dengan keterangan akta hingga akhirnya melakukan melakukannya dengan stake holder lainnya seperti kemenkunham
hingga tim perumus RUUJN mendapat masukan dengan pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dalam
rangka mengatur mekanisme pemeriksaan notaris berkaitan dengan akta otentik
yang dibuatnnya.[32]
Dalam revisi UUJN yang telah disetujui
untuk disahkan di paripurna ini, ada
politik hukum yang keliatan sekali menurut penulis, dimana ada beberapa
hal baru yang sangat penting, yaitu pertama,
“menjelmanya” kembali ketentuan pasal yang mirip dengan ketentuan yang berbunyi
“...dengan ijin Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 ayat
1 UUJN Nomor 30 tahun 2004 yang dianulir MK beberapa waktu lalu, didalam ketentuan
revisi, kewenangan ini bertransformasi ke bentuk
apa yang dinamakan “Majelis Kehormatan Notaris” yang merupakan pintu masuk izin
penegak hukum untuk memanggil dan memeriksa notaris. Jika nanti undang-undang
ini disahkan maka penegak hukum, polisi, hakim dan jaksa, kembali harus minta
izin organisasi untuk memeriksa atau memanggil notaris untuk diminta
keterangan.
Namun sangat disayangkan di dalam pasal 1 UUJN
di dalam RUU tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan Majerlis Kehornatan
tersebut, seperti pasal 1 menjelaskan
lembaga-lembaga lainnya antara lain majelis pengawas. Mungkin hal ini merupakan
kealfaan dari para perumus RUU, sehingga seolah-olah
lembaga baru ini hanya merupakan suatu tempelan belaka. Menurut Alwesius Pasal-
pasal tersebut tidak mengatur kewenangan apa yang dimiliki oleh MKN. Karena
kewenangan MKN tidak diatur di dalam undang-undang maka sangat sulit bagi MKN
untuk menjalankan tugasnya kelak yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri.
Pada 17 Januari 2014 akhirnya Perubahan
Undang-Undang Jabatan Notaris diundangkan dengan Undang- Undang Nomor 2 tahun
2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang
Jabatan Notaris. Diundangkannnya UU Perubahan UUJN tersebut maka ketentuan yang
diatur di dalam UU tersebut telah berlaku dan mengikat khususnya bagi para
notaris.
Posisi politik hukum kenotariatan bisa kita lihat disini, Dalam Perubahan Undang- Undang Jabatan Notaris,
terkhususnya pengaturan terhadap lembaga MKN sendiri masih terjadi pasal-pasal yang
tumpang tindih antara Majelis Kehormatan dengan MPN. Jika dilihat dalam
pasal-pasalnya ada yang menyebutkan itu kewenangan Majelis Kehormatan tetapi di
pasal lain menjadi Kewenangan MPN. Kewenangan ini seharusnya diperjelas agar tidak ada ada
tumpang tindih kewenagan.[33]
Menurut Jilmly Ashiddiqie, pengaturan baru itu dapat dinilai lebih baik karena
mengaitkannya dengan sistem etika profesi
yang memang perlu diperkuat. Jika sistem etika profesi berjalan dengan baik,
tentu kebutuhan untuk melakukan kriminalisasi terhadap profesi seperti notaris
dapat diminimalkan.
Pengaruh politik hukum dalam lembaga
kenotariatan sangatlah besar. Ini bisa lihat dari proses-proses pembentukkan pejabat Notaris sejak zaman
penjajahan Belanda (atau negara Indonesia dahulunya disebut Hindia Belanda),
masa transisisi kemerdekaan Republik Indonesia, sampai diundangkannya
Undang-Undang Jabatan Notaris dengan perubahan yang terbarunya.
Itu semua untuk menjaga eksistensi Notaris dalam menjalannkan jabatannya, karena notaris adalah
pejabat yang turut serta menjamin dari tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan
dan kemanfaatan.
C.
Tata Cara
Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris Pasca Perubahan UUJN
Notaris adalah orang yang mendapat kuasa dari pemerintah (dalam hal ini adalah kuasa dari Departemen kehakiman) untuk
mengesahkan dan menyaksikan berbagai suarat perjanjian, surat wasiat, akta dan
sebagainya. Notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki
keilmuan dan keahlian dalam bidang ilmu hukum dan kenotariatan, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan, maka dari pada itu
secara pribadi notaris bertanggung jawab atas mutu jasa yang diberikannya. Sebagai pegemban misi pelayanan, profesi
notaris terikat dengan etik notaris yang merupakan
penghormatan martabat manusia pada umumnya dan martabat notaris khususnya, maka
dari itu pengemban profesi notaris mempunyai ciri-ciri mandiri dan tidak
memihak, tidak terpacu dengan pamrih, selalu
rasionalitas dalam arti mengacu pada kebenaran yang objektif, spesialitas
fungsional serta solidaritas antar sesama rekan seprofesi.[34]
Jabatan profesi notaris merupakan profesi yang menjalankan tugas sebagian kekuasaan negara khususnya
di bidang hukum privat, di samping
itu juga mempunyai peranan penting dalam pembuatan akta autentik yang mempunyai
kekuatan pembuktian paling sempurna. Jabatan profesi notaris merupakan jabatan
kepercayaan, maka dari itu seorang notaris harus mempunyai perilaku baik yang
dijamin oleh undang-undang, sedangkan undang-undang telah mengamanatkan pada perkumpulan untuk menetapkan kode
etik profesi notaris. Perilaku notaris yang baik adalah perilaku yang
berlandaskan pada kode etik profesi notaris, dengan demikian kode etik profesi
notaris harus mengatur hal-hal yang harus ditaati oleh seorang notaris, dalam
menjalankan jabatannya dan juga di
luar jabatannya.
Sejak berlakunya UUJN maka notaris berada di
bawah kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dari itu yang dapat mengangkat dan
memberhentikan notaris adalah kewenangan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Untuk dapat diangkatnya seseorang menjadi seorang notaris harus
memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 perubahan UUJN, yang menyatakan bahwa yang dapat diangkat menjadi
notaris adalah: a) warga negara Indonesia; b)
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c) berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh)
tahun; d) sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan
sehat dari dokter dan psikiater; e) berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang
strata dua kenotariatan; f) telah menjalani magang atau nyata-nyata telah
bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh
empat) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas
rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g) tidak berstatus sebagai pegawai negeri,
pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh
undang- undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris; dan h) tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.
Setelah persyaratan untuk diangkatnya menjadi
notaris telah terpenuhi, maka sebelum menjalankan jabatan wajib mengucapkan
sumpah/janji menurut agamanya di hadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk
oleh menteri hukum dan hak asasi manusia. Pengucapan sumpah atau janji tersebut
dilakukan paling lambat 60 hari. Jika tidak terpenuhi maka keputusan
pengangkatan sebagai notaris dapat dibatalkan oleh menteri.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 perubahan UUJN dinyatakan bahwa dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, yang bersangkutan wajib: a)
menjalankan jabatannya dengan nyata; b) menyampaikan berita acara sumpah/janji
jabatan notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan MPD; dan c)
menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap
atau stempel jabatan notaris berwarna merah kepada menteri
dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang pertanahan, Organisasi
Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat notaris diangkat.
Di dalam pasal 8 ayat (1) perubahan UUJN
dinyatakn bahwa notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, karena: a) meninggal dunia; b) telah
berumur 65 (enam puluh lima) tahun; c) permintaan sendiri; d) tidak mampu
secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan notaris secara
terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; dan e) Merangkap jabatan sebagaimana
yang diatur dalam pasal 3 huruf g.
Sementara itu dalam kaitannya dengan
ketentuan pasal 9 ayat (1) perubahan UUJN diatas, maka notaris dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya karena: a) dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b) berada di bawah pengampuan; c) melakukan perbuatan tercela; d0 melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik notaris;
atau e) sedang menjalani masa penahanan.
Sejalan dengan ketentuan pasal 8 dan pasal 9
diatas maka notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya
oleh menteri atas usul MPP apabila:
a) Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh ketentuan hukum tetap; b)
Berada dibaah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
c) Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat notaris, dan d) Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan
larangan jabatan.
D.
Hak, Kewajiban
dan Larangan Notaris Pasca Perubahan UUJN
Otoritas notaris diberikan oleh undang- undang
untuk pelayanan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi
notaris. Oleh karena itu kewajiban- kewajiban yang diemban notaris adalah
kewajiban jabatan (ambtsplicht).
Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya
itu, sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak memangku jabatan notaris. Batasan seorang notaris dikatakan
mengabaikan tugas atau kewajiban jabatan, apabila notaris tidak melakukan
perintah imperatif undang-undang yang dibebankan kepadanya.[35]
Di dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang
pejabat notaris, notaris tidak pernah lepas dari hak, kewajiban serta larangan. Adapun hak, kewajiban
serta larangan notaris akan diuraikian dibawah ini. Hak dari seorang
Notaris berupa: a) hak
untuk cuti (pasal 25); b) hak untuk mendapat honorarium (Pasal 36), dan c) hak
ingkar (pasal 4, jo Pasal 16 huruf e jo Pasal
54).
Sedangkan Kewajiban notaris meliputi sebagai
berikut:[36]
a) mengucapkan sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya (pasal 4 ayat (1);
b) wajib menjalankan jabatan secara nyata, menyampaikan berita acara sumpah
atau janji jabatan, alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta teraan
cap/stempel jabatan notaris (pasal 7); c) bertindak jujur, bijaksana, mandiri, tidak berpihak; dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (pasal 16 ayat (1) huruf
a); d) membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari protokol notaris (pasal 16 ayat (1) huruf b); e) melekatkan surat
dan dokumen serta sidik jari pengahadap pada minuta akta (pasal 16 ayat (1)
huruf c); f) mengeluarkan grosse akta,
salinan akta, atau kutipan. akta,
berdasarkan minuta akta (pasal 16 ayat (1) huruf d); g) memberikan pelayanan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan (pasal 16 ayat (1) huruf e); h) merahasiakan
segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan
akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain
(pasal 16 ayat (1) huruf f); i) menjilid akta (pasal 16 ayat (1) huruf g); j)
membuat daftar dari akta
protes terhadap tidak
dibayar atau tidak diterimanya surat berharga (pasal 16 ayat (1) huruf h); k)
membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta tiap bulan (pasal 16 ayat
(1) huruf i); l) mengirimkan daftar akta ke
daftar pusat wasiat departemen dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama tiap bulan berikutnya
(pasal 16 ayat (1) huruf j); m) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman
daftar wasiat pada setiap akhir bulan (pasal 16 ayat (1) huruf k); n) mempunyai
cap/stempel yang memuat lambang negara republik indonesia dan pada ruang yang
melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan
(pasal 16 ayat (1) huruf l); o) membacakan akta di hadapan penghadap
(pasal 16 ayat (1) huruf m); p) menerima magang
calon notaris (pasal 16 ayat (1) huruf n); q) berkantor di tempat kedudukannya
(pasal 19 ayat (1), dan r) wajib memberikan jasa hukum kepada orang yang tidak
mampu (pasal 37).
Larangan yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar oleh notaris
menurut pasal 17 perubahan UUJN, yaitu: a)
menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b) meninggalkan wilayah
jabatannya lebih dari 7 (tujuh)
hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c) merangkap sebagai pegawai negeri; d)
merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e) merangkap jabatan sebagai Advokat;
f) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta; g) merangkap jabatan
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
dan/atau; h) Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan notaris; i)
menjadi Notaris Pengganti; atau j)
melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau
kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.
BAB III
KESIMPULAN
Notaris
adalah pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang jabatan notaris atau
berdasarkan undang- undang lain yang mengaturnya. Artinya bahwa akta notaris
itu berkaitan secara langsung dengan nilai martabat para pihak yang berjanji.
Janji-janji yang telah dinyatakan dalam akta merupakan cerminan dari kehendak
niat tulus yang disampaikan oleh para pihak. Notaris lahir akibat dari
kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk
perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta
notaris.
Politik
Hukum sangat mempengaruhi eksistensi dari jabatan Notaris. Hal ini bisa kita lihat dari regulasi-regulasi yang selama ini
keluar untuk mengatur jabatan Notaris dalam menjalankan jabatannya. Dengan
semakin dikuatkannya eksistensi jabatan Notaris, maka akan membawa dampak yang
lebih baik dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Perjalanan panjang politik
hukum kenotariatan di mulai semenjak Belanda datang ke Indonesia di zaman sebelum
kemerdekaan sampai dengan tahun 2014, dengan disahkannya Perubahan
Undang-Undang Jabatan Notaris, banyak dinamika dan lika-liku di dalam perjalanan jabatan notaris, dan itu berdampak pada tata cara pengangkatan
dan pemberhentian notaris, serta hak, kewajiban dan larangan notaris. Banyak
perubahan yang terjadi akibat Perubahan UUJN, terhadap Notaris dalam
menjalankan jabatannya dalam bidang kenotariatan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga
Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta: UII Press,
2009.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan
Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1996.
Habib Adjie, Hukum Notaris
Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang- Undang Jabatan Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Bandung: Refika Aditama, 2009.
, Aspek Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Bandung:
Mandar Maju, 2011.
Hafied Cangara, Komunikasi
Politik (Konsep, Teori dan Strategi), Jakarta: Raja Grafindo Pers, 2009.
Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifani,
Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Jakarta: Dunia Cerdas, 2013.
Herlien Budiono, Kumpulan
Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2008.
I.P.M Ranuhandoko, Terminologi
Hukum- Inggris Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Laurensius Arliman S, Notaris
dan Penegakan Hukum Oleh Hakim, Yogjakarta: Budi Utama, 2015.
Moh. Machfud MD, Politik
Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Muchlis Fatahna, et.al, Notaris
Bicara Soal Kenegaraan, Jakarta:
Watampone Pers, 2003.
M. Agus Santoso, Hukum Moral
dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012.
R. Soegono Notodisoerjo, Hukum
Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta: Rajawali Press 1993.
R. Soesanto, Tugas Kewajiban
dan Hak- Hak Notaris Wakil Notaris (sementara), Jakarta: Pradnya Paramita,
1978.
R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.
Santia Dewi dan R.M Fauwas Diradja, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2011.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000.
Sri Soementri M, Hukum Tata
Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung: Remaja Rosdakarya
Ofsett, 2014.
Tan Thong Kie, Studi Notariat
Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2007.
Victor M. Situmorang dan Cormentyana Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.
B.
Jurnal
Nur
Ichwan, “Direkomendasikan Perlu Ada Pengganti Pasal 66”, Majalah Renvoi, November, 2013.
Syafran
Sofyan, “PP INI Lakukan Sosialisasi Menyeluruh-Empat Pasal Krusial UUJN
Perubahan Harus Dipahami”, Majalah Renvoi,
Februari, 2014.
Zukkifli
Harahap, “Majelis Kehormatan Idealnya Berjenjang”, Majalah Renvoi, Februari, 2014.
[1] Hafied
Cangara, Komunikasi Politik (Konsep,
Teori dan Strategi), Jakarta: Raja Grafindo Pers, 2009, hlm. 26-27.
[2] Moh. Machfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
2012, hlm. 1.
[3] Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000, hlm.352.
[4] Sri Soementri
M, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran
dan Pandangan, Bandung: Remaja Rosdakarya Ofsett, 2014, 123-127.
[5] R. Soegono
Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta: Rajawali Press 1993, hlm. 1.
[6] Laurensius
Arliman S, Notaris dan Penegakan Hukum
Oleh Hakim, Yogjakarta: Budi Utama, 2015, hlm. 1.
[7] Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie
(stbl.1860:3)
[8] I.P.M
Ranuhandoko, Terminologi Hukum-Inggris
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 134.
[9] R. Soesanto, Tugas Kewajiban dan Hak-Hak Notaris Wakil
Notaris (sementara), Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 28.
[10] Muchlis
Fatahna, et.al, Notaris Bicara Soal
Kenegaraan, Jakarta: Watampone Pers, 2003, hlm. 253.
[11] Santia Dewi
dan R.M Fauwas Diradja, Panduan Teori dan
Praktik Notaris, Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2011, hlm. 9.
[12] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap
Undang-Undang Jabatan Nomor 30
Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris), Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm. 40.
[13] Santia Dewi, Op.cit, hlm. 36.
[14] Herlien
Budiono, op.cit, hlm. 5.
[15] Hartanti
Sulihandri dan Nisya Rifani, Prinsip-
Prinsip Dasar Profesi Notaris, Jakarta: Dunia Cerdas, 2013, hlm.5.
[16] G.H.S. Lumban
Tobing, Peraturan Jabatan Notaris,
Jakarta: Erlangga, 1996, hlm. 4.
[17] Tan Thong Kie,
Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris,
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007, hlm. 226-227.
[18] R. Soegono
Notodisoerjo, Op.cit, hlm. 13.
[19] G.H.S. Lumban
Tobing, Op.cit, hlm. 14.
[20] Muchlis
Fatahna, Op.cit, hlm. 258.
[21] R. Soegono
Notodisoerjo, Op.cit, hlm. 23.
[22] Ibid, hlm. 24-25.
[23] G.H.S. Lumban
Tobing, Op.cit, hlm. 3-4.
[24] Habib Adjie, Op.cit, Hukum…, hlm. 27.
[25] Ibid, hlm. 2.
[26] Ibid.
[27] Ibid, hlm. 3.
[28] Ibid, hlm. 4.
[29] Muchlis
Fatahna dan Joko Purwanto, Op.cit, hlm.
258-256.
[31] Nur Ichwan,
“Direkomendasikan Perlu Ada Pengganti Pasal 66”, Majalah Renvoi, November, 2013, hlm. 39.
[32] Syafran
Sofyan, “PP INI Lakukan Sosialisasi Menyeluruh-Empat Pasal Krusial UUJN
Perubahan Harus Dipahami”, Majalah Renvoi,
Februari, 2014, hlm. 27.
[33] Zukkifli
Harahap, “Majelis Kehormatan Idealnya Berjenjang”, Majalah Renvoi, Februari, 2014, hlm. 7
[34] M. Agus
Santoso, Hukum Moral dan Keadilan Sebuah
Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm 113.
[35]
Abdul
Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan
Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta: UII Press, 2009, hlm. 177.
[36]
Habib
Adjie, Aspek Pertanggung Jawaban Notaris
Dalam Pembuatan Akta, Bandung: Mandar Maju, 2011, hlm. 91-92.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar