PENGERTIAN DAN KEKHUSUSAN FIQH MUAMALAH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam memberikan aturan-aturan yang longgar dalam bidang
muamalah, karena bidang tersebut amat dinamis mengalami perkembangan.Meskipun
demikian, Islam memberikan ketentuan agar perkembangan di bidang muamalah
tersebut tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak. Bidang muamalah
berkaitan dengan kehidupan duniawi, namun dalam prakteknya tidak dapat
dipisahkan dengan ukhrawi, sehingga dalam ketentuannya mengadung aspek halal,
haram, sah, rusak dan batal.
Sebagian besar kehidupan manusia diisi dengan aktivitas
muamalah (ibadah dalam arti luas), dan selebihnya sebagian kecil waktunya diisi
dengan aktivitas ibadah (ibadah dalam arti sempit yaitu ibadah ritual, seperti
: shalat, puasa, zakat, haji). Tidaklah mungkin Allah SWT Yang Maha Tahu
melepaskan kendali aspek muamalah begitu saja tanpa ada aturan dari-Nya. Dengan
demikian ajaran Islam yang lengkap dan menyeluruh ini sebagian besar mengatur
tentang muamalah. Para Sahabat dan para Ulama menegaskan pentingnya memahami
muamalah atau mempelajari fiqh muamalah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
di atas, rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian dari fiqh muamalah, serta bagaimana
kekhususannya?
2.
Bagaimana ruang lingkup yang dipelajari dalam fiqh
muamalah tersebut?
3.
Apakah tujuan dari mempelajari fiqh muamalah tersebut?
4.
Bagaimana pendapat ahli madzab mengenai fiqh muamalah
tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Kekhususan Fiqih
Menurut etimologi (bahasa), fiqih adalah al-fahm (pemahaman),
seperti pernyataan:فقهت ا
لدر س) (saya paham
pelajaran itu). Arti ini, antara lain, sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
من ير د ا لله به خير ا يفقهه في ا لد ين
Artinya : “barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di
sisi-Nya, niscaya diberikan kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam
pengetahuan agama.”
Menurut terminologi, fiqih
pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama,
baik berupa akidah, akhlak, maupun ibadah, yakni sama dengan artin Syari’ah Islamiyah. Namun, pada perkembangan
selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari Syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang
hukum Syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.[1]
Adapun menurut terminologi syari’ah yang didefinisikan
oleh imam Abu Hanifah r.a. fiqh adalah
“mengetahui hak dan kewajiban diri”. Yang dimaksud dengan mengetahui adalah memahami
permasalahan-permasalahan parsial dengan memahami dalilnya (terlrbih dahulu).
Dengan kata lain, kata mengetahui di
sini, maksudnya adalah kemampuan pada diri seseorang yang muncul setelah
melakukan penelitian-penelitian atas beberapa kaidah.[2]
Fiqh muamalat terdiri atas dua kata, yaitu fiqh dan
muamalat. Pengertian fiqh menurut bahasa berasal dari kata faqiha, yafqahu,
fiqhan yang berarti mengerti, atau memahami..sedangkan menurut istilah,
sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut :
عِلْمُالفِقْهِهُوالْعِلْمُبِالاءحْكا َمِالشّرْعِيَّةِالْعَمَلِيَّةِالْمُكْتَسَبِمِنْﺃدِلَّتِهاَالتَفْصِيْلِيَةِﺃوْهُوَمَجْمُوْعَةُالاءَحكاَمِالثّرْعِيَّةِالْعَمَلِيَّةِالمُسْتَفادَةِمِنْﺃدِلّتِهاَالتَفْصِيلِيَّةِ
Artinya : Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fiqh adalah
himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil
terperinci.
Adapun lafal muamalat berasal dari kata amala, yu’amilu,
mu’amalatan, yang artinya Melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual beli
dan semacaamnya.
Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat dirumuskan
pengertian menurut istilah bahwa fiqh muamalat adalah ilmu tentang hukum-hukum
syara’ yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia yang
lain dalam bidang kegiatan ekonomi. Dalam arti umum, muamalah mencakup semua
jenis hubungan antara manusia dengan manusia dalam segala bidang.[3]
Fiqih islam
mempunyai kekhususan diantaranya adalah:
1.
Fiqih berasaskan kepada wahyu Allah
Berbeda dengan hukum positif yang ada materi-materi fiqih
bersumber dari wahyu Allah yang berada dalam Al-quran dan As-sunnah. Dalam
menyimpulkan hukum syara’ (beristimbat), setiap mujtahid harus mengacu kepada
nash-nash yang berada dalam kedua sumber tersebut, menjadikan semangat syari’at
sebagai petunjuk, memperhatikan tujuan-tujuan umum syari’at islamiah dan juga
berpegang kepada kaidah serta dasar-dasar umum hukum islam.
2.
Fiqih sangat kental dengan karakter keagamaan (hukum halal dan
haram)
Hukum-hukum muamalah dapat dikategorikan kedalam dua
kelompok, yaitu :
1)
Hukum duniawi. Yaitu keputusan hukum yang didasarkan atas
tindakan atau perilaku lahiriah. Inilah yang dinamakan hukum pengadilan (al-haukm al-qadhaai) karena seorang hakim
memutuskan hukum berdasarkan pengamatan yang ia mampui saja.
2)
Hukum ukhrawi. Yaitu keputusan hukum yang didasarkan
kepada kondisi yang sebenarnya. Hukum ini digunakan untuk mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah S.W.T. perkara yang menyebabkan lahirnya dua jenis
hukum syara’ ini adalah karena syari’ah adalah wahyu Allah swt yang mengandung
pahala dan siksaan didunia dan diakhirat.
B.
Ruang Lingkup
Secara garis besar ruang lingkup fiqih muamalah adalah
seluruh kegiatan manusia berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa
peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib, sunah,
haram, makruh dan mubah. Secara terperinci ruang lingkup dan pembagian fiqih
muamalah meliputi dua hal:
1.
Muamalah adabiyah
Yaitu muamalah yang ditinjau dari subjek atau pelakunya
ialah ijab dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu
pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan,
dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
2.
Muamalah madiyah
Yaitu muamalah yang ditinjau dari objek ialah masalah
jual beli (al-bai’al-tijarah),gadai (al-rhn), jaminan dan
tanggungan (kafalan dan dlaman), pemindahan
utang (hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), batasan
bertindak (al-hajru), persoalan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa-menyewa (al-ijrah), pemberian hak guna pakai (al-ariyah), barang titipan (al-adli’ah),
barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-mujara’ah), sewa-menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrat al’amal),
gugatan (al-syuf’ah), sayembara (al-ji’alah),
pembagian kekayaan bersama (al-qismah),
pemberian (al-ibra), pembebasan, damai (al-shulhu)
dan ditambah dengan beberapa masalah muashirah, seperti
masalah bunga bank, asuransi, kredit dan masalah- masalah baru lainnya.[4]
C.
Tujuan Mempelajari Fiqh
Muamalah
Muamalah adalah inti terdalam dari tujuan agama islam
(maqhasid syariah) untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu
para rasul terdahulu mengajak umat islam berdakwah mengamalkan muamalah, karena
memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan. Islam adalah jalan hidup yang lengkap dan menyeluruh. Islam
is the comprehensive way of live.
Ajaran Islam menyediakan pedoman dan aturan hidup bagi
seluruh manusia tanpa kecuali. Pedoman dan aturan Islam mencakup seluruh
dimensi waktu kehidupan manusia, dari mulai bangun tidur hingga akan tidur
kembali. Ia juga mencakup seluruh dimensi jaman, dari jaman dahulu, jaman
sekarang, dan jaman yang akan datang. Ia juga mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia, yaitu aspek ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, pertahanan, hukum,
dan lain sebagainya. Singkat kata, tiada waktu, jaman, aspek kehidupan manusia,
dan ruang sekecil apapun dari kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam.[5]
Tujuan mempelajari fiqh ialah untuk memberikan
kemanfaatan yang sempurna baik pada tataran individu atau tataran resmi, dengan
cara merealisasikan undang-undang di setiap negara islam berdasarkan fiqh,
karena, tujuan akhir dari fiqh ialah untuk kebaikan manusia dan kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan undang-undang ciptaan manusia ialah,
semata-mata untuk mewujudkan kestabilan masyarakat di dunia.[6]
D.
Madzaib fi al fiqh
Kata madzab menurut arti bahasa ialah tempat untuk pergi
ataupun jalan. Dari segi istilah, madzab berarti hukum-hukum yang terdiri atas
kumpulan permasalahan. Dengan pengertian ini, maka terdapat persamaan makna
antara makna bahasa dan istilah.
1.
Abu Hanifah, An nu’man bin Tsabit (80-150 H), Pendiri
Madzab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah imam ahlur ra’yu dan ahli fiqh
iraq, juga pendiri madzab hanafi. Abu Hanifah
menuntut ilmu hadis dan fiqh dari ulama-ulama yang terkenal. Dia belajar ilmu
fiqh selama 18 tahun kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang mendapat didikan
(murid) dari ibrahim an nakha i. Abu Hanifah
sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Dia menggunakan qiyas dan istihsan
secara meluas. Dasar madzabnya adalah ialah Al kitab, As sunnah, ijma’, qiyas,
dan istihsan. Dia telah menghasilkan sebuah kitab dalam bidang ilmu kalam,
yaitu al fiqh al akbar. Dan dia juga mempunyai al musnad dalam bidang hadis.
Tidak ada penulisan dia dalam bidang ilmu fiqh.
2.
Imam Malik bin Anas (93-179)
Imam Malik bin Abu Amir al-Asbahi ialah tokoh dalam fiqh
dan hadits di Darul Hijrah (Madi’in) setelah zaman tabi’in. Imam malik adalah
imam dalam ilmu hadis dan fiqh. Kitab dia al-Muwaththa’ adalah sebuah kitab
besar dalam hadis dan fiqh. Imam Malik menuntut ilmu kepada ulama-ulama
Madinah. Diantara mereka ialah Abdul rahman. Sedangkan gurunnya dalam bidang
fiqh ialah Rabi’ah bin Abdul Rahman.
3.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H) Pencetus
Madzab Syafi’i
Imam asy Syafi’i belajar di Mekah kepada muftinya, yaitu
Muslim bin Khalid al Zanji hingga Imam asy Syafi’i mendapat izin untuk
memberikan fatwa. Imam asy syafii adalah seorang mujtahid mutlak. Dia adalah
imam di bidang fiqh, hadis, dan ushul. Dia telah berhasil menggabungkan ilmu
fiqh ulama hijaz dengan ulama’ Iraq. Sumber Madzab Imam Asy syafi’i ialah Al
qur’an dan As sunnah. Kemudian ijma’ dan qiyas. Dia tidak mengambil pendapat
sahabat sebagai sumber madzabnya, karena ia merupakan ijtihad yang ada
kemungkinan salah. Dia juga tidak beramal dengan istihsan yang diterima oleh
golongan Hanafi dan Maliki. Seperti imam madzab lainnya, Imam Syafii
menentukan thuruq al istinbat al ahkam tersendiri.
Apabila tidak ada dalam Al qur’an dan As sunnah, ia melakukan qiyas terhadap
keduannya. Apabila hadis telah muttashil dan
sanadnya sahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadis yang di
utamakan adalah makna zhahir; ia menolak hadis muqhatiq kecuali yang di
riwayatkan oleh Ibn al Musayyab. pokok (al asl) tidak boleh di analogikan
kepada pokok, pokok tidak perlu di pertanyakan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ (lima wa aifa) ; ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ hanya
dipertanyakan kepada cabang (furu’) .[7]
Adapun yang meriwayatkan madzab baru Imam asy syafi’i
dalam al-Umm juga empat orang muridnya dari kalangan
penduduk Mesir. Mereka ialah al-Muzani, al-Buwaiti, ar-Rabi’ al jizi dan
ar-Rabi’ bin Sulaiman al Muradi, dan lain-lain. Fatwa yang terpakai dalam
Madzab Syafi’i ialah qaul jadidnya dan
bukan qaul qadimnya, karena Imam asy-syafi’i telah
menariknya kembali dengan berkata, “Aku tidak membenarkan orang meriwayatkannya
dariku.”
4.
Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani (164-241) Pencetus Madzab
hambali
Imam Ahmad belajar fiqh kepada Imam asy-syafii semasa dia
berada di baghdad. Akhirnya Imam Ahmad menjadi seorang mujtahid mustaqil.
Ahmad bin hambal adalah tokoh dari bidang hadis, sunnah,
dan fiqh.dasar madzab dalam ijtihadnya adalah hampir sama
dengan prinsip madzab syafii. Ini karena dia di didik oleh imam syafii. Dia
menerima al qur’an , as sunnah,
fatwa sahabat, ijma, qiyas, istishab, marsalih
mursalah dan dzarai. Imam Ahmad tidak mengarang kitab fiqh, sehingga sahabatnya
mengumpulkan pendapat madzabnya berdasarkan perkataan, perbuatan, jawaban imam
ahmad.
5.
Abu Sualaiman Daud bin Ali Al- Asfihani Az-zahiri
Imam Dawud adalah diantara hufazd hadist (golongan yang
sampai kepada martabt al-hafizh dalam hadist), ahli fiqih yang mujtahid dan
mempunyai madzhab yang tersendiri setelah dia mengikut madzhab syafi’i di
Baghdad.
Asas madzhab zahiri ialah beramal dengan zahir al-qur’an
dan as-sunnah selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki
darinya adalah bukan makna yang dzahir. Jika tidak ada nash maka berpindah pada
ijma’ dengan syarat hendaklah ia merupakan ijma’ seluruh ulama’. Mereka juga
menerima ijma’ sahabat. Jika tidak didapati nash atau ijma’ menggunakan
istishab, yaitu al-ibhah al-hasliyyah atau kemubahan yan natural/asal.
6.
Zaid bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain (Wafat 122 H)
Dia adalah imam pada zamannya dan merupakan ahli ilmu
dalam berbagai bidang. karena ketinggian ilmunnya di bidang ulumul qur’an.,
qira’at dan fiqh, maka dia digelari sebagai halif al qur’an. Dia telah menulis
kitab fiqh betjudul al majmu’ yang merupakan kitab fiqh yang tertua di cetak di
Itali
Fiqh madzab ini lebih cenderung kepada fiqh ahli iraq
pada zaman permulaan kelahiran syiah dan para imam mereka. Ia tidak mempunyai
perbedaan yang banyak dengan fiqh ahli sunnah. Walaupun demikian, terdapat
beberapa perbedaan dalam masalah-masalah yang masyhur. Di antarannya adalah
tidak boleh menyapu khuf, dan haram
sembelihan orang islam , dan haram kawin dengan kitabiyah , karena Allah
SWT berfirman, “dan janganlah kamu (wahai umat islam) tetap
berpegang kepada akad perkawinan kamu dengan perempuan-perempuan yang (kekal
dalam keadaan) kafir…”
7.
Al Imam Abu Abdullah Ja’far Ash Shadiq Bin Muhammad Al
Baqir Bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain (80-148 H / 699-765 M) pencetus madzab
imamiyah.
Fiqh imamiyyah dekat dengan madzab syafii, dan ia tidak
berbeda dalam perkara- perkara yang masyhur yang terdapat dalam fiqh Ahli
sunnah kecuali dalam lebih kurang 17 masalah. Diantara yang utama ialah tentang
bolehnya nikah Mut’ah. Perbedaan mereka lebih kurang sama saja dengan perbedaan
pendapat di kalangan madzab-madzab fiqh seperti hanafi dan syafii. Madzab syiah
imamiyyah ini tersebar hingga sekarang di Iran dan Iraq. Pada hakikatnya,
perbedaan antara mereka dengan ahli sunnah tidaklah berasaskan kepada soal
pemerintahan dan imam.
8.
Abusy Sya’tsa At-Tabi’i, Jabir bin Zaid (meninggal 193 H)
pencetus madzab ibadiyah
Pendapat yang utama menurut muktamad menurut mereka ialah
ilham yang diperoleh oleh orang selain nabi Muhammad Saw. Tidak dapat menjadi
hujjah dalam hukum syara’ bagi orang selain yang mendapat ilham tersebut.
Madzab ini masih diikuti di daerah Oman, Afrika Timur (Tanzania), Aljazair,
Libya, dan Tunisia.
Dalam Akidah, mereka menyatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika mereka tidak bertobat.
Mereka mengatakan bahwa muwalat (loyal) kepada orang yang taat dan bara’ah
(melepaskan hubungan) dengan orang yang maksiat adalah wajib. Mereka mengatakan
boleh mengatakan taqiyyah dalam perkataan, tetapi tidak boleh dalam perbuatan.
Mereka mengatakan sifat Allah ialah zat itu sendiri,. Artinya ialah, sifat nya
ada pada zatNya dan bukan yang lain dari Nya. Dengan konsep ini, mereka
bermaksud bahwa bahwa Allah swt tidak dapat dilihat di akhirat.
BAB III
KESIMPULAN
Fiqih Mumalah adalah pengetahuan tentang
kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat, mengenai perilaku
manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil islam secara rinci.
Ruang lingkup fiqih muamalah adalh seluruh kegiatan muamalah manusia
berdasarkan hukum-hukum islam yang berupaperaturan-peraturan yang berisi
perintah atau larangan seperti wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
hukum-hukum fiqih terdiri dari hokum hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam
kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Az zuhaili, Wahbah. 2001. Fiqih islam Wa adilatuhu.Damaskus :Gema Insani
Jaih Mubarok. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam., Bandung : Remaja Rosdakarya.
Muslich, Ahmad Wardi.2010. Fiqh Muamalah.Jakarta :
AMZAH
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Depok:PT. Rajagrafindo Persada.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah.Bandung:Pustaka Pelajar.
[1] H. Rachmat
Syafei. Fiqih muamalah.(Bandung: Pustaka Setia)., 2001, hlm:13-14
[2] Wahbah
Az-Zuhaili. Fiqih islam wa adillatuhu. (Damaskus: gema
insani)., 2001, hlm: 27
[3] Ahmad Wardi
Muslih. Fiqh Muamalah.(Jakarta : AMZAH)., 2010, hlm.1-2.
[4] H. Hendi
Suhendi. fiqh muamalah.( Jakarta: rajawali Pers)., 2002, hlm:5
[5] Ibid, hlm. 7
[6] Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhali.Fiqh Islam Wa adilatuhu.2001, hlm.,36.
[7] Jaih Mubarok.Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam”.,
Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003, hlm.113
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar