MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

PENGERTIAN DAN KEKHUSUSAN FIQH MUAMALAH

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang

Islam memberikan aturan-aturan yang longgar dalam bidang muamalah, karena bidang tersebut amat dinamis mengalami perkembangan.Meskipun demikian, Islam memberikan ketentuan agar perkembangan di bidang muamalah tersebut tidak menimbulkan  kerugian salah satu pihak. Bidang muamalah berkaitan dengan kehidupan duniawi, namun dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan dengan ukhrawi, sehingga dalam ketentuannya mengadung aspek halal, haram, sah, rusak dan batal.

Sebagian besar kehidupan manusia diisi dengan aktivitas muamalah (ibadah dalam arti luas), dan selebihnya sebagian kecil waktunya diisi dengan aktivitas ibadah (ibadah dalam arti sempit yaitu ibadah ritual, seperti : shalat, puasa, zakat, haji). Tidaklah mungkin Allah SWT Yang Maha Tahu melepaskan kendali aspek muamalah begitu saja tanpa ada aturan dari-Nya. Dengan demikian ajaran Islam yang lengkap dan menyeluruh ini sebagian besar mengatur tentang muamalah. Para Sahabat dan para Ulama menegaskan pentingnya memahami muamalah atau mempelajari fiqh muamalah.

 

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah sebagai berikut :

1.        Apakah pengertian dari fiqh muamalah, serta bagaimana kekhususannya?

2.        Bagaimana ruang lingkup yang dipelajari dalam fiqh muamalah tersebut?

3.        Apakah tujuan dari mempelajari fiqh muamalah tersebut?

4.        Bagaimana pendapat ahli madzab mengenai fiqh muamalah tersebut?


 

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.           Pengertian dan Kekhususan Fiqih

Menurut etimologi (bahasa), fiqih adalah al-fahm (pemahaman), seperti pernyataan:فقهت ا  لدر س) (saya paham pelajaran itu). Arti ini, antara lain, sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

من ير د ا لله به خير ا يفقهه في ا لد ين

Artinya : “barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya diberikan kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”

Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun ibadah, yakni sama dengan artin Syari’ah Islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari Syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum Syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[1]

Adapun menurut terminologi syari’ah yang didefinisikan oleh imam Abu Hanifah r.a. fiqh adalah “mengetahui hak dan kewajiban diri”. Yang dimaksud dengan mengetahui adalah memahami permasalahan-permasalahan parsial dengan memahami dalilnya (terlrbih dahulu). Dengan kata lain, kata mengetahui di sini, maksudnya adalah kemampuan pada diri seseorang yang muncul setelah melakukan penelitian-penelitian atas beberapa kaidah.[2]

Fiqh muamalat terdiri atas dua kata, yaitu fiqh dan muamalat. Pengertian fiqh menurut bahasa berasal dari kata faqiha, yafqahu, fiqhan yang berarti mengerti, atau memahami..sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut :

عِلْمُالفِقْهِهُوالْعِلْمُبِالاءحْكا َمِالشّرْعِيَّةِالْعَمَلِيَّةِالْمُكْتَسَبِمِنْﺃدِلَّتِهاَالتَفْصِيْلِيَةِﺃوْهُوَمَجْمُوْعَةُالاءَحكاَمِالثّرْعِيَّةِالْعَمَلِيَّةِالمُسْتَفادَةِمِنْﺃدِلّتِهاَالتَفْصِيلِيَّةِ

Artinya : Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil terperinci.

Adapun lafal muamalat berasal dari kata amala, yu’amilu, mu’amalatan, yang artinya Melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual beli dan semacaamnya.

Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat dirumuskan pengertian menurut istilah bahwa fiqh muamalat adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia yang lain dalam bidang kegiatan ekonomi. Dalam arti umum, muamalah mencakup semua jenis hubungan antara manusia dengan manusia dalam segala bidang.[3]

Fiqih islam mempunyai kekhususan diantaranya adalah:

1.        Fiqih berasaskan kepada wahyu Allah

Berbeda dengan hukum positif yang ada materi-materi fiqih bersumber dari wahyu Allah yang berada dalam Al-quran dan As-sunnah. Dalam menyimpulkan hukum syara’ (beristimbat), setiap mujtahid harus mengacu kepada nash-nash yang berada dalam kedua sumber tersebut, menjadikan semangat syari’at sebagai petunjuk, memperhatikan tujuan-tujuan umum syari’at islamiah dan juga berpegang kepada kaidah serta dasar-dasar umum hukum islam.

2.        Fiqih sangat kental dengan karakter keagamaan (hukum halal dan haram)

Hukum-hukum muamalah dapat dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu :

1)        Hukum duniawi. Yaitu keputusan hukum yang didasarkan atas tindakan atau perilaku lahiriah. Inilah yang dinamakan hukum pengadilan (al-haukm al-qadhaai) karena seorang hakim memutuskan hukum berdasarkan pengamatan yang ia mampui saja.

2)        Hukum ukhrawi. Yaitu keputusan hukum yang didasarkan kepada kondisi yang sebenarnya. Hukum ini digunakan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah S.W.T. perkara yang menyebabkan lahirnya dua jenis hukum syara’ ini adalah karena syari’ah adalah wahyu Allah swt yang mengandung pahala dan siksaan didunia dan diakhirat.

 

B.            Ruang Lingkup

Secara garis besar ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan manusia berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Secara terperinci ruang lingkup dan pembagian fiqih muamalah meliputi dua hal:

1.        Muamalah adabiyah

Yaitu muamalah yang ditinjau dari subjek atau pelakunya ialah ijab dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

2.        Muamalah madiyah

Yaitu muamalah yang ditinjau dari objek ialah masalah jual beli (al-bai’al-tijarah),gadai (al-rhn), jaminan dan tanggungan (kafalan dan dlaman), pemindahan utang (hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), batasan bertindak (al-hajru), persoalan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa-menyewa (al-ijrah), pemberian hak guna pakai (al-ariyah), barang titipan (al-adli’ah), barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-mujara’ah), sewa-menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrat al’amal), gugatan (al-syuf’ah), sayembara (al-ji’alah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al-ibra), pembebasan, damai (al-shulhu) dan ditambah dengan beberapa masalah muashirah, seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit dan masalah- masalah baru lainnya.[4]

 

C.           Tujuan Mempelajari Fiqh Muamalah

Muamalah adalah inti terdalam dari tujuan agama islam (maqhasid syariah) untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para rasul terdahulu mengajak umat islam berdakwah mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan. Islam adalah jalan hidup yang lengkap dan menyeluruh. Islam is the comprehensive  way of live.

Ajaran Islam menyediakan pedoman dan aturan hidup bagi seluruh manusia tanpa kecuali. Pedoman dan aturan Islam mencakup seluruh dimensi waktu kehidupan manusia, dari mulai bangun tidur hingga akan tidur kembali. Ia juga mencakup seluruh dimensi jaman, dari jaman dahulu, jaman sekarang, dan jaman yang akan datang. Ia juga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu aspek ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, pertahanan, hukum, dan lain sebagainya. Singkat kata, tiada waktu, jaman, aspek kehidupan manusia, dan ruang sekecil apapun dari kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam.[5]

Tujuan mempelajari fiqh ialah untuk memberikan kemanfaatan yang sempurna baik pada tataran individu atau tataran resmi, dengan cara merealisasikan undang-undang di setiap negara islam berdasarkan fiqh, karena, tujuan akhir dari fiqh ialah untuk kebaikan manusia dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan undang-undang ciptaan manusia ialah, semata-mata untuk mewujudkan kestabilan masyarakat di dunia.[6]

D.           Madzaib fi al fiqh

Kata madzab menurut arti bahasa ialah tempat untuk pergi ataupun jalan. Dari segi istilah, madzab berarti hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan pengertian ini, maka terdapat persamaan makna antara makna bahasa dan istilah.

1.        Abu Hanifah, An nu’man bin Tsabit (80-150 H), Pendiri Madzab Hanafi

Imam Abu Hanifah adalah imam ahlur ra’yu dan ahli fiqh iraq, juga pendiri madzab hanafi. Abu Hanifah menuntut ilmu hadis dan fiqh dari ulama-ulama yang terkenal. Dia belajar ilmu fiqh selama 18 tahun kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang mendapat didikan (murid) dari ibrahim an nakha i. Abu Hanifah sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Dia menggunakan qiyas dan istihsan secara meluas. Dasar madzabnya adalah ialah Al kitab, As sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Dia telah menghasilkan sebuah kitab dalam bidang ilmu kalam, yaitu al fiqh al akbar. Dan dia juga mempunyai al musnad dalam bidang hadis. Tidak ada penulisan dia dalam bidang ilmu fiqh.

2.        Imam Malik bin Anas (93-179)

Imam Malik bin Abu Amir al-Asbahi ialah tokoh dalam fiqh dan hadits di Darul Hijrah (Madi’in) setelah zaman tabi’in. Imam malik adalah imam dalam ilmu hadis dan fiqh. Kitab dia al-Muwaththa’ adalah sebuah kitab besar dalam hadis dan fiqh. Imam Malik menuntut ilmu kepada ulama-ulama Madinah. Diantara mereka ialah Abdul rahman. Sedangkan gurunnya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdul Rahman.

3.        Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H) Pencetus Madzab Syafi’i

Imam asy Syafi’i belajar di Mekah kepada muftinya, yaitu Muslim bin Khalid al Zanji hingga Imam asy Syafi’i mendapat izin untuk memberikan fatwa. Imam asy syafii adalah seorang mujtahid mutlak. Dia adalah imam di bidang fiqh, hadis, dan ushul. Dia telah berhasil menggabungkan ilmu fiqh ulama hijaz dengan ulama’ Iraq. Sumber Madzab Imam Asy syafi’i ialah Al qur’an dan As sunnah. Kemudian ijma’ dan qiyas. Dia tidak mengambil pendapat sahabat sebagai sumber madzabnya, karena ia merupakan ijtihad yang ada kemungkinan salah. Dia juga tidak beramal dengan istihsan yang diterima oleh golongan Hanafi dan Maliki. Seperti imam madzab lainnya, Imam Syafii menentukan thuruq al istinbat al ahkam tersendiri. Apabila tidak ada dalam Al qur’an dan As sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduannya. Apabila hadis telah muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadis yang di utamakan adalah makna zhahir; ia menolak hadis muqhatiq kecuali yang di riwayatkan oleh Ibn al Musayyab. pokok (al asl) tidak boleh di analogikan kepada pokok, pokok tidak perlu di pertanyakan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ (lima wa aifa) ; ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ hanya dipertanyakan kepada cabang (furu’) .[7]

Adapun yang meriwayatkan madzab baru Imam asy syafi’i dalam al-Umm juga empat orang muridnya dari kalangan penduduk Mesir. Mereka ialah al-Muzani, al-Buwaiti, ar-Rabi’ al jizi dan ar-Rabi’ bin Sulaiman al Muradi, dan lain-lain. Fatwa yang terpakai dalam Madzab Syafi’i ialah qaul jadidnya dan bukan qaul qadimnya, karena Imam asy-syafi’i telah menariknya kembali dengan berkata, “Aku tidak membenarkan orang meriwayatkannya dariku.”

4.        Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani (164-241) Pencetus Madzab hambali

Imam Ahmad belajar fiqh kepada Imam asy-syafii semasa dia berada di baghdad. Akhirnya Imam Ahmad menjadi seorang mujtahid mustaqil.

Ahmad bin hambal adalah tokoh dari bidang hadis, sunnah, dan fiqh.dasar madzab dalam ijtihadnya adalah hampir sama dengan prinsip madzab syafii. Ini karena dia di didik oleh imam syafii. Dia menerima al qur’an , as sunnah, fatwa sahabat, ijma, qiyas, istishab, marsalih mursalah dan dzarai. Imam Ahmad tidak mengarang kitab fiqh, sehingga sahabatnya mengumpulkan pendapat madzabnya berdasarkan perkataan, perbuatan, jawaban imam ahmad.

5.        Abu Sualaiman Daud bin Ali Al- Asfihani Az-zahiri

Imam Dawud adalah diantara hufazd hadist (golongan yang sampai kepada martabt al-hafizh dalam hadist), ahli fiqih yang mujtahid dan mempunyai madzhab yang tersendiri setelah dia mengikut madzhab syafi’i di Baghdad.

Asas madzhab zahiri ialah beramal dengan zahir al-qur’an dan as-sunnah selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki darinya adalah bukan makna yang dzahir. Jika tidak ada nash maka berpindah pada ijma’ dengan syarat hendaklah ia merupakan ijma’ seluruh ulama’. Mereka juga menerima ijma’ sahabat. Jika tidak didapati nash atau ijma’ menggunakan istishab, yaitu al-ibhah al-hasliyyah atau kemubahan yan natural/asal.

6.        Zaid bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain (Wafat 122 H)

Dia adalah imam pada zamannya dan merupakan ahli ilmu dalam berbagai bidang. karena ketinggian ilmunnya di bidang ulumul qur’an., qira’at dan fiqh, maka dia digelari sebagai halif al qur’an. Dia telah menulis kitab fiqh betjudul al majmu’ yang merupakan kitab fiqh yang tertua di cetak di Itali

Fiqh madzab ini lebih cenderung kepada fiqh ahli iraq pada zaman permulaan kelahiran syiah dan para imam mereka. Ia tidak mempunyai perbedaan yang banyak dengan fiqh ahli sunnah. Walaupun demikian, terdapat beberapa perbedaan dalam masalah-masalah yang masyhur. Di antarannya adalah tidak boleh menyapu khuf, dan haram sembelihan orang islam , dan haram kawin dengan kitabiyah , karena Allah  SWT berfirman, “dan janganlah kamu (wahai umat islam) tetap berpegang kepada akad perkawinan kamu dengan perempuan-perempuan yang (kekal dalam keadaan) kafir…”

7.        Al Imam Abu Abdullah Ja’far Ash Shadiq Bin Muhammad Al Baqir Bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain (80-148 H / 699-765 M) pencetus madzab imamiyah.

Fiqh imamiyyah dekat dengan madzab syafii, dan ia tidak berbeda dalam perkara- perkara yang masyhur yang terdapat dalam fiqh Ahli sunnah kecuali dalam lebih kurang 17 masalah. Diantara yang utama ialah tentang bolehnya nikah Mut’ah. Perbedaan mereka lebih kurang sama saja dengan perbedaan pendapat di kalangan madzab-madzab fiqh seperti hanafi dan syafii. Madzab syiah imamiyyah ini tersebar hingga sekarang di Iran dan Iraq. Pada hakikatnya, perbedaan antara mereka dengan ahli sunnah tidaklah berasaskan kepada soal pemerintahan dan imam.

8.        Abusy Sya’tsa At-Tabi’i, Jabir bin Zaid (meninggal 193 H) pencetus madzab ibadiyah

Pendapat yang utama menurut muktamad menurut mereka ialah ilham yang diperoleh oleh orang selain nabi Muhammad Saw. Tidak dapat menjadi hujjah dalam hukum syara’ bagi orang selain yang mendapat ilham tersebut. Madzab ini masih diikuti di daerah Oman, Afrika Timur (Tanzania), Aljazair, Libya, dan Tunisia.

Dalam Akidah, mereka menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika mereka tidak bertobat. Mereka mengatakan bahwa muwalat (loyal) kepada orang yang taat dan bara’ah (melepaskan hubungan) dengan orang yang maksiat adalah wajib. Mereka mengatakan boleh mengatakan taqiyyah dalam perkataan, tetapi tidak boleh dalam perbuatan. Mereka mengatakan sifat Allah ialah zat itu sendiri,. Artinya ialah, sifat nya ada pada zatNya dan bukan yang lain dari Nya. Dengan konsep ini, mereka bermaksud bahwa bahwa Allah swt tidak dapat dilihat di akhirat.

 


 

BAB III
KESIMPULAN

 

Fiqih Mumalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih muamalah adalh seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum islam yang berupaperaturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. hukum-hukum fiqih terdiri dari hokum hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Az zuhaili, Wahbah. 2001. Fiqih islam Wa adilatuhu.Damaskus :Gema Insani

Jaih Mubarok. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam., Bandung : Remaja Rosdakarya.

Muslich, Ahmad Wardi.2010. Fiqh Muamalah.Jakarta : AMZAH

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Depok:PT. Rajagrafindo Persada.

Syafei, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah.Bandung:Pustaka Pelajar.



[1] H. Rachmat Syafei. Fiqih muamalah.(Bandung: Pustaka Setia)., 2001, hlm:13-14

[2] Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih islam wa adillatuhu. (Damaskus: gema insani)., 2001, hlm: 27

[3] Ahmad Wardi Muslih. Fiqh Muamalah.(Jakarta : AMZAH)., 2010, hlm.1-2.

[4] H. Hendi Suhendi. fiqh muamalah.( Jakarta: rajawali Pers)., 2002, hlm:5

[5] Ibid, hlm. 7

[6] Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhali.Fiqh Islam Wa adilatuhu.2001, hlm.,36.

[7] Jaih Mubarok.Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam”., Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003, hlm.113

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.