MAKALAH STUDI KASUS PENCURIAN BARANG PENUMPANG OLEH OKNUM PORTER LION AIR
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia di belahan bumi manapun tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan
barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Setiap orang
pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan disebut dengan konsumen hal tersebut tertera pada Pasal 1 butir
2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Tidak semua orang pemakai barang dan jasa untuk
digunakan bagi kepentingan diri sendiri, Segelintir
konsumen menggunakan barang dan jasa untuk di produksi kembali ataupun dijual
kembali dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Dikarenakan hampir setiap manusia memiliki sifat konsumerisme. Namun terkadang
para pihak produsen yang seharusnya menjual barang atau jasa yang layak kepada
konsumen agar terpenuhi kebutuhannya justru menyimpangkan hak-hak konsumen yang
seharusnya dilindungi. Dari hal tersebut dibentuklah hukum perlindungan
konsumen yang dapat melindungi hak-hak setiap
konsumen dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan barang dan jasa sehari-hari. Telah
jelas diterangkan dalam Pasal 4 UUPK bahwa ada beberapa hak yang harus dilindungi
yaitu hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan, hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Salah satu kebutuhan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan
konsumen yaitu adalah kebutuhan jasa dikarenakan tidak semua orang memiliki
kemampuan di bidangnya dalam pemenuhan jasa. Bentuk jasa yang sangat dibutuhkan
di kalangan kosnumen salah merupakan jasa penerbangan, manusia dalam pemenuhan
kebutuhan di bidang transportasi sangat mengdepankan hak atas keselamatan,
kenyamanan dan kemanan dalam mengkonsumsi atau menggunakan jasa dari maskapai
penerbangan yang telah dipilih. Namun realitanya beberapa konsumen yang
menggunakan jasa penerbangan kecewa akan haknya yang tidak terpenuhi sebagai
konsumen.
Seperti halnya konsumen atau penumpang maskapai yang akan berpergian
jauh dengan tujuan menghabiskan masa libur atau berpindah daerah tentu saja
membawa berbagai barang-barang pribadi. Semua maskapai menyediakan jasa
penyimpanan bagasi atas barang –barang pribadi bawaan penumpang dan hal
tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak maskapai, dan segala sesuatu
yang terjadi merupakan kewenangan pihak maskapai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Namun ada beberapa oknum dari pihak
maskapai ataupun pihak bandara yang mencari keuntungan, salah satunya dengan
cara membongkar bagasi atau koper penumpang dan mengambil barang-barang
berharga milik penumpang. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan
pemenuhan hak konsumen atau penumpang dalam hak keamanan. Pihak maskapai yang
seharusnya tegas terhadap hal seperti ini dan mengdepankan hak-hak konsumen
atau penumpang, justru tidak mengindahkan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dan
ruang lingkup sengketa ?
2.
Bagaimana kronologi permasalahan dalam sengketa lion air ?
3.
Bagaimana Analisis Kasus pencurian barang oleh oknum porter lion air terhadap
konsumen ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan
Ruang Lingkup Sengketa Konsumen
Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu
ada konflik. Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik
kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua
kalangan. Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan.
Sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau
konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Sedangkan menurut Ali Achmad sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau
lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau
hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Sedangkan pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK,
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain.dan.tidak.untuk.diperdagangkan.”
1.
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sengketa konsumen dimaksudkan bukan sebagai sengketa dalam arti luas
yakni sengketa yang melingkupi hukum pidana dan hukum administrasi
negara karena UUPK mengatur penyelesaian sengketa bersifat
ganda dan alternatif . pengertian bersifat ganda disini ialah
penyelesaian sengketa dengan berbagai sistem, yakni :
1)
Penyelesaian sengketa
perdata di pengadilan ( in court resolution ) (Pasal 45 dan 48
)
2)
Penyelesaian sengketa
perdata diluar pengadilan ( out court resolution atau
disebut juga alternative dispute resolution ) (
Pasal 45, 46, 47 ) ;
3)
Penyelesaian perkara
secara pidana ( criminal court resolution ) (Pasal 59, 61, s/d
63)
4)
Penyelesaian perkara
secara administratif ( administratif court resolution ) (Pasal 60 ).[1]
2.
Penyelesaian Sengketa Melalui Peradlian
Penyelesaian sengketa
konsumen melalui peradilan diatur dalami Pasal 45 dan pasal 48 yang berbunyi :
Pasal 45 :
1)
Setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada dilingkungan peradilan umum.
2)
Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3)
Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mennghilangkan
tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
4)
Apabila telah dipilih
upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penjelasan :
Ayat.(2) :
“Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak
menutupi kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada
setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah
pihak yang bersengketa.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen )
tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak
bertentangan dengan undang-undang ini.”[2]
Bunyi Pasal 48 :
“Penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang
berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45 di atas.”
3.
Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan
Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan disebytkan dalam pasal 45 ayat
(2,3,4). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepaatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.[3]
Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang
menerangka bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan
konsumen tersebut.
Di indonesia ADR mempunyai daya tarik khusus karena keserasiannya dengan
dengan sistem sosial budaya traditional berdasarkan musyawarah mufakat.
Beberapa hal dibawah ini merupakan keuntungan yang sering muncul dalam ADR,
yaitu :
(1)
Sifat kesukarelaan
dalam proses
(2)
Prosedur yang cepat :
- Keputusan non yudisial
- Kontrol tentang kebutuhan organisasi
- Prosedur rahasia (confedinteal)
- Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah
- Hemat waktu
- Hemat biaya
- Pemeliharaan hubungan
- Tunggunya kemungkinan untuk melaksanakannkesepakatan
- Kontrol dan lebih muda memperlihatkan hasil
- Keputusan bertahan sepanjang waktu.[4]
Selanjutnya mengnenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa telah diatur
dalam undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Kemudian berdasarkan isi pasal 1 ayat (10) undang-undang
nomor 30 tahun 1999 maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan
dengan cara berikut.
(1) Konsultasi
Pada prisnsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat
“personal” antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak
lain yang merupakan pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klie
tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya.
(2) Negosiasi
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh
kesepakatan di antara mereka. Negosiasi menurut Roger Fisher dan William Ury
adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat
kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.
Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk
mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak
berwenang menngambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan
(arbitrase dan litigasi).
(3) Mediasi
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang
tidak memihak ( impartial ) bekerja sama dengan pihak yang
bersengketa untuk membantu meperoleh kesepaatan perjanjian dengan memuaskan,
berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk
memutuskan snegketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.
(4) Konsiliasi
Konsiliasi adalah merupakan suatu proses untuk mencapai perdamaian di luar
pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga mengupayakan pertemuan diantara pihak
yang berselisish untuk mengupayakan perdamaian.
(5) Penilaian Ahli
Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga
arbitrase. Dalam pasal 1 angka 8 undang-undang nomor 30 tahun 1999
berbunyi : Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak
yang bersengketa untuk memberika putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan
hukum tertentu dalam hal ini belum tentu sengketa.
4.
Class
Action pada Sengketa Konsumen
Dalam sengketa konsumen, pada umumnya korban bersifat massal ( massaccident ).
Secara teknis konsumen yang dirugikan mengalami kesulitan apabila mengajukan
gugatan, karena harus membuat surat kuasa khusus kepada pengacara, sementara
kasusnya adalah sama. Dengan gugatan class action terhadap kasus yang
sama, cukup diwakili oleh beberapa korban yang menuntut secara perdata ke
pengadilan.
Secara bebas dapat diartikan suatu class action adlah suatu cara
yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu
masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai
perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok.
Kritera untuk menetukan suatu perkara dapat tidaknya menjadi class
action:
-
Orang yang terlibat
sangat banyak, dengan kelompok yang jelas
-
Adanya kesamaan
tuntutan dari suatu fakta dan hukum yang sama dan sejenis
-
Tidak memerlukan
kehadiran setiap orang yang dirugikan
-
Upaya class
action lebih baik daripada gugatan individual
-
Perwakilan harus jujur,
layak dan dapat melindungi kepentingan orang yang diwakili
-
Disahkan oleh
pengadilan.
Di dalam pasal 46 dinyartakan bahwa undang-undang mengakui class
action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan
dapat dibuktikan secara hukum.
Prinsip class action berbeda dengan legal standing.
Umumnya class action wajib memenuhi empat syarat sebagaimana
juga ditetapkan dalam pasal 23 US Federal of Civil Procedure melipurti
Numerosity (jumlah orang yang mengajukan harus sedimikian
banyaknya).
Persyaratan ini mengharuskan kelas yang diwakili (class members)
sedemikian besarnya jumlahnya karena apabila gugatan diajukan satu demi satu
(individual) sangat tidak praktis dan tidak efisien.
-
Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta
maupun question of law antara pihak yang mewakili dan pihak yang
diwakili.
-
Typicality , artinya tuntutan (bagi penggugat) maupun pembelaan (bagi tergugat )
pada class action haruslah sejenis.
-
Adequacy of Representation (kelayakan perwakilan), artinya mewajibkan
perwakilan kelas ( class representative ) untuk menjaimin
secara jujur dan adli serta mampu melindungi kepentingan pihak yang diwakili.
5.
Legal
Standing untuk LPKSM
Selain gugatan kelompok (class action ) UUPK juga menerima
kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh suatu lembaga tertentu yang
nemiliki legal standing. Selain dalam UUPK, NGO’s legal
standing, ternyata juga diterima dalam undang-undang No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hdup. Pasal 39 Undang-Undang selanjutnya
menyatakan, tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh
orang, masyarakat, dan atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku.
Pengertian pencurian menurut dalam pasal 362 KHUP
yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling
banyak sembilan ratus rupiah".[5]
Saat ini, peraturan perudang-undangan yang menjadi dasar hukum perlindungan
konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebelum
disahkannya UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam Ketentuan Umum UU No. 8 Tahun 1999, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Selain itu, perlindungan konsumen juga mengacu pada Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 yang berisi tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha.
B.
Permasalahan /
Kasus
TANGERANG, KOMPAS.com - Pihak Manajemen Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, menyayangkan kejadian pencurian
barang penumpang oleh oknum porter Lion Air di Terminal 1. Manajer Komunikasi
Bandara Soekarno-Hatta Yudis Tiawan menjelaskan, semua yang terjadi pada barang
penumpang di bagasi pesawat menjadi tanggung jawab sepenuhnya pihak maskapai,
dalam hal ini Lion Air. "Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, sudah dijelaskan, barang penumpang di bagasi
tanggung jawab maskapai. Segala sesuatu yang terjadi adalah kewenangan
maskapai," kata Yudis kepada Kompas.com di Bandara Soekarno-Hatta,
Sabtu (2/1/2016). Sebelumnya, Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta bersama pihak
bandara mengungkap pencurian barang penumpang oleh oknum porter Lion Air yang
terekam CCTV milik PT Angkasa Pura II. Dari rekaman tersebut, terlihat dengan
jelas koper penumpang dibuka dengan paksa dan oknum porter mengambil sejumlah
barang. Rekaman itu terjadi pada tanggal 16 November 2015 lalu. Dari bukti
rekaman tersebut, Polres bersama manajemen bandara mengamankan empat oknum porter Lion Air
dengan dua orang berinisial A, M, dan S. Polisi masih mengembangkan kasus ini
dengan menyelidiki peran porter lain yang sebelumnya disebut menjadi otak dari
pencurian barang penumpang. Kompas.com telah menghubungi pihak Lion Air
sejak pukul 16.00 WIB, namun hingga pukul 19.30 WIB masih belum ada respon.[6]
C.
Analisis Kasus
1.
Analisis Berdasarkan
dengan Hak dan Kewajiban Pengguna Bagasi Lion Air
Berdasarkan
ketentuan Pasal 4 dan 5 pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, maka kasus di atas bisa dikatakan bahwa di dalamnya
terdapat pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelanggaran
tersebut berupa tidak dipenuhinya hak pengguna atas keamanan. Hal ini terbukti
dengan hilangnya barang penumpang Lion Air. Lion Air sebagai pelaku usaha,
mempunyai kewajiban memberikan layanan yang membuat penumpang mereka nyaman dan
aman. Pencurian tersebut dilakukan oleh para porter yang bekerja sama dengan
pihak keamanan maskapai dan penadahan di kompleks Bandara Soekarno-Hatta.[7] Dengan adanya kasus pencurian barang di bagasi ini
yang merugikan banyak penumpangnya, maka secara otomatis pelaku usaha sudah
melakukan pelanggaran terhadap hak konsumen atas keamanan.
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, sudah dijelaskan bahwa barang penumpang di
bagasi adalah merupakan tanggung jawab dari pihak maskapai. Segala sesuatu yang
terjadi terhadap barang penumpang adalah kewenangan dan tanggung jawab dari
maskapai. Dalam Pasal 4 huruf h pada UUPK disebutkan bahwa konsumen berhak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Hak
tersebut seharusnya bisa dipenuhi karena pihak konsumen yaitu penumpang Lion
Air sudah memenuhi kewajiban, seperti yang ada dalam ketentuan pasal 5 UUPK.
Dinyatakan bahwa pengguna sudah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan, beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa, membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, bahkan sudah
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.[8]
2.
Analisis Berdasarkan
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Lion Air
Dalam UUPK, juga diatur
tentang hak dan kewajiban pelaku usaha atau produsen. Dalam ketentuan umum
dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah “Setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
Berdasarkan kasus
pencurian bagasi yang berhubungan dengan pelaku usaha, dapat dikatakan bahwa
pihak Lion Air berhak untuk melakukan pembelaan atau mendapatkan perlindungan
hukum, jika kasus pencurian barang di atas bukan merupakan kesalahan dari pihak
pelaku usaha. Pelaku usaha juga dapat menyalahkan pihak porter, disertai dengan
bukti yang menguatkan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahan pada
pihaknya. Hal ini sesuai dengan UUPK Pasal 6 ayat 2 dan 3. Lion Air juga berhak
untuk mendapatkan rehabilitasi nama baik, apabila terbukti secara hukum, bahwa
kerugian yang dialami konsumen tidak diakibatkan oleh produk yang
diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat 4 UUPK.
Maka hal yang harus
dilakukan oleh pihak produsen adalah sesuai pada pasal 6 ayat 6 dan 7 UUPK,
yaitu memberikan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian yang
ditanggung oleh pihak konsumen. Jika dilihat kasus-kasus di atas, sebenarnya,
UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan sebagai: “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”.[9]
3.
Analisis Berdasarkan
Asas Perlindungan Konsumen
Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan
Konsumen :
“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Dalam kasus pencurian bagasi yang terjadi di kompleks
bandara Soekarno-Hatta, tentu melanggar Asas
Perlindungan Konsumen yaitu :
1)
Perlindungan konsumen berdasarkan Keamanan
Pencurian yang
dilakukan oleh porter yang bekerja sama dengan pihak keamanan maskapai tersebut
sudah merugikan penumpang di mana yang sudah dijelaskan dalam artikel diatas. Dalam kasus ini, pihak
pelaku usaha sudah jelas melanggar asas perlindungan konsumen ini dimana barang
yang dititipkan oleh maskapai namun justru dicuri oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
2)
Perlindungan konsumen berdasarkan Kepastian Hukum
Konsumen berhak
mendapatkan suatu kepastian hukum. Kepastian hukum untuk memberikan suatu perlindungan
kepada konsumen antara lain dengan kompensasi atau ganti rugi yang layak. Kepastian hukum
menurut aturan yang termuat dalam produk hukum berlaku dengan pasti kepada
semua warga negaranya. Hukum sebagai tolok ukur objektif guna menyelesaikan konflik
sosial, maka di dalam dirinya sendiri harus bersifat objektif. Masyarakat
melalui hukum dijamin tidak akan diperlakukan secara diskriminatif, maka untuk
menjamin kepastian hukum, suatu peraturan perlu dipositifkan (dirumuskan dalam
undang-undang/ produk hukum tertulis) agar pelaksanaannya dapat berlaku sama. Dalam kasus di atas belum nampak jelas penegakan
hukum perlindungan konsumen, karena kasus tersebut terjadi berulang-kali dan
penanganan yang kurang serius baik untuk pihak maskapai maupun pihak-pihak
lainnya yang terkait, sehingga konsumen yang dirugikan merasa tidak mendapat
kepastian hukum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 dan 5 pada Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka kasus di atas bisa dikatakan
bahwa di dalamnya terdapat pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Pelanggaran tersebut berupa tidak dipenuhinya hak pengguna atas
keamanan.
Berdasarkan kasus
pencurian bagasi yang berhubungan dengan pelaku usaha, dapat dikatakan bahwa
pihak Lion Air berhak untuk melakukan pembelaan atau mendapatkan perlindungan
hukum, jika kasus pencurian barang di atas bukan merupakan kesalahan dari pihak
pelaku usaha. Pelaku usaha juga dapat menyalahkan pihak porter, disertai dengan
bukti yang menguatkan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahan pada
pihaknya. Hal ini sesuai dengan UUPK Pasal 6 ayat 2 dan 3.
Dalam kasus pencurian
bagasi yang terjadi di kompleks bandara Soekarno-Hatta, tentu melanggar
Asas Perlindungan Konsumen yaitu :
1)
Perlindungan konsumen berdasarkan Keamanan
Pencurian yang
dilakukan oleh porter yang bekerja sama dengan pihak keamanan maskapai tersebut
sudah merugikan penumpang di mana yang sudah dijelaskan dalam artikel diatas. Dalam kasus ini, pihak
pelaku usaha sudah jelas melanggar asas perlindungan konsumen ini dimana barang
yang dititipkan oleh maskapai namun justru dicuri oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
2)
Perlindungan konsumen berdasarkan Kepastian
Hukum
Konsumen berhak
mendapatkan suatu kepastian hukum. Kepastian hukum untuk memberikan suatu
perlindungan kepada konsumen antara lain dengan kompensasi atau ganti rugi yang layak. Kepastian hukum
menurut aturan yang termuat dalam produk hukum berlaku dengan pasti kepada
semua warga negaranya. Dalam
kasus di atas belum nampak jelas penegakan hukum perlindungan konsumen, karena
kasus tersebut terjadi berulang-kali dan penanganan yang kurang serius baik
untuk pihak maskapai maupun pihak-pihak lainnya yang terkait, sehingga konsumen
yang dirugikan merasa tidak mendapat kepastian.
B.
Saran
Dapat kita ketahui sebelumnya dalam kasus di atas telah
terjadi pelanggar hak atas konsumen yaitu hak pengguna atas keamanan. Oleh
sebab itu, semestinya pelaku usaha harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak
atas konsumen karena konsumen telah memenuhi kewajibannya kepada pelaku usaha
maka sebaliknya pelaku usaha juga harus memenuhi kewajibannya kepada konsumen.
Sudah sewajarnya seluruh pihak baik pelaku usaha maupun
konsumen mendapatkan perlindungan hukum dalam hubungan antar keduanya. Baik
salah maupun benar mereka berhak untuk melakukan pembelaan. Selain itu, hika
memang tidak bersalah maka harus ditunjukkan dengan bukti-bukti yang terkait.
Jika konsumen mengalami suatu kerugian akibat perilaku
para pelaku usaha maka hal pertama yang dapat dilakukan konsumen adalah
melaporkannya kepada Yayasan Lembaga Perlindungkan Konsumen Indonesia agar
selanjutnya dapat diteruskan kepada pihak yang berwajib untuk diselesaikan
secara hukum dan konsumen pun dengan segera akan mendapatkan kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ahamadi Miru & Sutarwan Yodo. 2004. Hukum
Perlindungan Konsumen. Pt Raja Graafindo Persada, Jakarta.
C.S.T. Kansil.S.H, 2010. Pokok-Pokok
Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
Celina Tri
SiwiKristiyanti, 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika, Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 362
tentang Pencurian
Kristiyanti, Celina. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Sinar Grafika.
Nasution, Az. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit
Media.
Sutanto, Happy. 2008. Hak-Hak
Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visi
Media.
Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. JakartaL Kencana Prenada Media Group.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
[1] N.H.T.Siahaan. Hukum
Konsumen. (Bogor. Panta Rei. 2005)hal.204
[2] Ahamadi
Miru & Sutarwan Yodo. Hukum
Perlindungan Konsumen. (Jakarta.Pt Raja
Graafindo Persada.2004) hal.224
[3] C.S.T.
Kansil.S.H, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta,Sinar
Grafika, 2010) hal.235
[4] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan
Konsumen.(jakarta: Sinar Grafika.2009) hal. 184
[5] Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana pasal 362 tentang Pencurian
[6]http://megapolitan.kompas.com/read/2016/01/02/20365171/Pihak.Bandara.Soekarno-Hatta.Sebut.Maskapai.Harus.Bertanggung.Jawab.Atas.Pencurian.Koper.Penumpang,
pada tanggal 25 Maret 2016 pukul 19.42.
[7] Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pasal 4 dan 5 tentang Perlindungan Konsumen
[8] Happy Susanto,
Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi
Media Ciganjur, Jakarta, 2008, hlm. 34.
[9] Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Pasal 6 dan 7 tentang Perlindungan Konsumen
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar