MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM DALAM MEMBUAT AKTA PERTANAHAN DAN AKTA RISALAH LELANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang Masalah

Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) adalah merupakan salah satu bentuk perjuangan tersebut. Sebagaimana diketahui sebelum ditetapkannya UUJN, notaris menjalankan tugas dan kewajibannya berdasarkan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) atau lebih dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris, sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101.[1] Dengan diundangkannya UUJN tersebut maka PJN dan Peraturan-peraturan pelaksananya yang disebut dalam Pasal 91 UUJN dinyatakan tidak berlaku lagi.

Lahirnya UUJN juga melahirkan perkembangan hukum baru dalam dunia kenotariatan, salah satunya adalah perluasan kewenangan Notaris. Perluasan kewenangan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 15 Ayat (2) butir f dan g, yang menyebutkan bahwa membuat akta pertanahan dan akta risalah lelang adalah merupakan salah satu wewenang notaris. Padahal sebagaimana diketahui membuat akta pertanahan adalah wewenang daripada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan membuat akta risalah lelang adalah wewenang daripada Pejabat Lelang.

 

B.            Rumusan  Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana kewenangan notaris dalam membuat akta pertanahan dan akta risalah lelang menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, serta kekuatan pembuktian akta pertanahan dan akta risalah lelang yang dibuat oleh Notaris tersebut.

 

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.           Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum

1.        Pengertian Pejabat Umum

Istilah Openbare Ambtenaren disebut dalam Pasal 1 angka (1) UUJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pada UUJN istilah tersebut diambil dari Pasal 1 Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) atau lebih dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris,[2] yang pada pasal tersebut diterjemahkan oleh G.H.S. Lumban Tobing menjadi Pejabat Umum. Sedangkan pada BW istilah tersebut diterjemakan oleh Subekti dan Tjitrosudibio juga sebagai Pejabat Umum.[3]

Ambtenaren jika diterjemahkan adalah pejabat,[4] sedangkan Openbare adalah umum atau publik,[5] dengan dengan demikian Openbare Ambtenaren dapat dikatakan sebagai Pejabat Umum. Lantas apa maksud dari pejabat umum. Jika dilihat dari segi etimologi bahasa, maka dapat diartikan bahwa Pejabat Umum adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah serta memiliki kewenangan tertentu dalam suatu lingkungan pekerjaan yang tetap (karena memangku suatu jabatan) yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat. Apakah sama dengan Pegawai Negeri karena sama-sama diangkat oleh pemerintah. Hal tersebut tidak membuat Jabatan Notaris sama dengan Pegawai Negeri, karena selain diatur atau tunduk pada peraturan yang berbeda juga karakteristik notaris bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun (impartial), tidak bergantung pada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dcampuri oleh pihak lain termasuk pihak yang mengangkatnya.[6]

2.        Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum

Berdasarkan pemaparan diatas maka notaris sebagai Pejabat Umum memiliki kewenangan tertentu. Kewenangan notaris adalah kewenangan yang diperoleh secara Atribusi, yakni pemberian kewenangan yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Notaris diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan yakni UUJN, yang berarti juga kewenangan tersebut sebatas apa yang diberikan oleh UUJN.

Menurut UUJN yakni Pasal 15 Ayat (1), kewenangan notaris adalah membuat akta dengan batasan :

1)        Sepanjang tidak dikecualikan pada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-undang;

2)        Sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan;

3)        Sepanjang mengenai subjek hukum untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

 

Namun Ayat (2) menambahkan bahwa notaris berwenang pula untuk :

1)        Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2)        Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

3)        Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4)        Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

5)        Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

6)        Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

7)        Membuat akta risalah lelang.

 

Selain itu notaris juga diberikan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan lain tersebut diantaranya adalah membuat Akta Pendirian Perseroan Terbatas,[7] Akta Jaminan Fidusia,[8] Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan,[9] Akta Pendirian Partai Politik.[10] Akta Pendirian Yayasan.[11]

Notaris berwenang pula membuat Akta In Originali (meski dalam UUJN dimasukkan dalam ketentuan Pasal 16 Ayat (2) dan (3), namun jika melihat substansinya maka hal tersebut merupakan kewenangan Notaris) yakni :[12]

1.        pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

2.        penawaran pembayaran tunai;

3.        protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

4.        akta kuasa;

5.        keterangan kepemilikan; atau

6.        akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya ketentuan tentang kewenangan Notaris membuat akta (segala macam akta) sebagai pejabat umum yang mempunyai kewengan untuk itu adalah norma umum.

B.            Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Risalah Lelang

1.        Akta Risalah Lelang sebagai Suatu Akta Otentik

Sebelum membahas tentang kewenangan Notaris dalam membuat akta risalah lelang, perlu diketahui dulu perihal apakah risalah lelang adalah merupakan akta otentik. Risalah lelang adalah berita acara dokumen resmi dari jalannya penjualan dimuka umum atau lelang yang disusun secara teratur dan dipertanggung jawabkan oleh pejabat lelang dan para pihak (penjual dan pembeli) sehingga pelaksanaan lelang yang disebut didalamnya mengikat. Penjelasan tersebut mengacu pada ketentuan Vendu Reglement (VR) Pasal 35 yang menyebutkan :[13]

Dari tiap-tiap penjualan umum yang dilakukan oleh juru lelang atau kuasanya, selama penjualan, untuk tiap-tiap hari pelelangan atau penjualan harus dibuat berita acara tersendiri.

 

Melihat ketentuan tersebut istilah risalah lelang adalah istilah yang dipakai oleh para akademisi maupun praktisi hukum untuk menyebut berita acara yang imaksud dalam Pasal 35 VR tersebut. Namun, pada perkembangannya istilah tersebut memperoleh legitimasi yakni dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang menyebutkan bahwa :[14]

Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak.

 

Legitimasi tersebut mempertegas penyebutan berita acara pelaksanaan lelang sebagai Risalah Lelang. Pada ketentuan tersebut dinyatakan bahwa Risalah Lelang adalah merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak. Hal itu berarti isi pasal tersebut terkait dengan apa yang dimaksud dengan akta otentik itu, yang oleh peraturan perundang-undangan telah dijelaskan dalam Pasal 165 HIR, 285 Rbg, dan 1868 BW. Untuk hal ini ketentuan 1868 BW yang lebih mendekati dengan permasalahan yakni :[15]

Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat.

 

Melihat ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memenuhi klasifikasi sebagai akta otentik maka suatu akta harus memenuhi yarat-syarat sebagai berikut :

1)        akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstan) seorang pejabat umum.

Yang dimaksud dengan dibuat oleh yakni akta yang dibuat oleh pejabat umum yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan pejabat umum sendiri didalam menjalankan jabatannya, akta seperti ini lazim disebut sebagai Akta Berita Acara (relaas akte)[16] atau Akta Pejabat (ambtelijke akte).[17]

Yang dimaksud dengan dihadapan adalah bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan para pihak yang bersumber dari pernyataan, keterangan, hal tentang hak dan kewajiban maupun syarat-syarat yang dikehendaki para pihak, yang kemudian dikonstantir dalam suatu akta otentik oleh pejabat umum, lazimnya akat seperti ini disebut dengan Akta Para Pihak (partij[18]akte)[19]

Pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang dimaksud adalah sesorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu.

2)        akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

Bentuk yang telah ditentukan maksudanya adalah bahwa dalam pembuatannya, akta tersbut harus sesuai dengan bentuk atau format yang telah ditentukan oleh Peraturan Perundangan yang berlaku.

3)        pejabat umum sebagaimana dimaksud harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu..

Pejabat umum yang mempunyai wewenang dapat diartikan berwenang :

a.         Membuat akta otentik yang dibuatnya

maksudnya tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b.        Saat akta itu dibuat

maksudnya seorang pejabat umum tidak boleh membuat suatu akta dimana pada saat itu dirinya dalam keadaan tidak aktif sebagai pejabat umum (belum disumpah, cuti, pensiun, atau diberhentikan).

c.         Sesuai kedudukannya membuat akta itu

maksudnya bahwa pejabat umum itu hanya berwenang membuat akta otentik dalam wilayah yang baginya ia berwenang untuk melakukannya, jika akta tersebut dibuat diluar wilayah yang baginya tidak berwenang maka aktanya menjadi tidak sah.[20]

 

Untuk membuktikan bahwa risalah lelang adalah akta otentik maka syarat-syarat tersebut diterapkan dalam risalah lelang hasilnya yakni :

1)        Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum.

Risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang, pernyataan tersebut berdasarkan Pasal 35 VR yang menyatakan bahwa :

Dari tiap-tiap penjualan umum yang dilakukan oleh juru lelang atau kuasanya, selama pernjualan, untuk tiap-tiap hari pelelangan atau penjualan harus dibuat berita acara tersendiri.

 

Dari ketentuan tersebut dapat diartikan yang membuat Risalah Lelang adalah Pejabat Lelang. Hal tersebut kemudian dipertegasa dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 yang menyebutkan bahwa Pejabat Lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dikaitkan dengan pengertian pejabat umum pada penjelasan sebelumnya maka pejabat lelang dapat dikategorikan sebagai pejabat umum yang dimaksudkan oleh Pasal 1868 BW. Jika risalah lelang dibuat oleh Pejabat Lelang sebagai Pejabat Umum maka risalah lelang adalah termasuk jenis relaas akte atau akta pejabat.

Pejabat Lelang Kelas I berwenang untuk melaksanakan segala jenis lelang, tetapi jika ada permintaan dari Balai Lelang untuk melaksanakan jenis lelang yang merupakan wewenang dari Pejabat Lelang Kelas II, Pejabat Lelang Kelas I tidak dapat serta merta menyetujui untuk melaksanakan lelang, permintaan tersebut baru bisa disetujui jika seluruh Pejabat Lelang Kelas II yang ada didaerah kedudukan Balai Lelang sedang dalam masa cuti atau bebas tugas, cuti, atau berhalangan tetap. Pejabat Lelang Kelas I hanya dapat melaksanakan tugasnya jika ada penunjukan dari Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).[21]

Pejabat Lelang Kelas II berwenang untuk melaksanakan lelang terbatas pada :

a.         lelang non eksekusi sukarela;

b.         lelang aset BUMN/D berbentuk Persero; dan

c.         lelang aset milik bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.

Adanya 2 jenis Pejabat Lelang tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap pejabat mana yang berwenang untuk melaksanakan jenis lelang tertentu.

2)        Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

Risalah lelang bentuknya diatur dalam Pasal 37-39 VR Jo. Pasal 54-56 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 Bentuk dari risalah lelang tersebut yakni terdiri dari:

a.         Bagian Kepala Risalah sekurang-kurangnya memuat :

b.         Bagian Badan Risalah sekurang-kurangnya memuat :

c.         Bagian Kaki Risalah sekurang-kurangnya memuat :

3)        Pejabat umum sebagaimana dimaksud harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang, oleh karena itu untuk mengetahui berwenang atau tidak pejabat lelang sebagaimana dimaksud maka harus melihat ketentuan yang mengaturnya yakni Pasal 3 dan 7 VR Jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.07/2006 tentang Pejabat Lelang Kelas I. Dalam peraturan tersebut diatur perihal wilayah kerja masing-masing pejabat lelang.

Berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Akta Risalah Lelang adalah termasuk akta otentik dengan jenis relaas akte atau akta pejabat.

2.        Kewenangan Notaris Membuat Akta Risalah Lelang

Perluasan kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta risalah lelang yang disebutkan dalam Pasal 15 Ayat 2 huruf g Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tidak secara serta merta dapat dlaksanakan karena berdasarkan Pasal 35 Vendu Reglement Jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 hanya notaris yang telah ditetapkan dan diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas II saja yang berwenang meminpin pelaksanaan lelang dan membuat akta risalah lelang.

Selain itu, permasalahan yang timbul berkaitan dengan wewenang notaris yang diberikan oleh Pasal 15 Ayat (2) huruf g tersebut yakni:

1)        Pada Pasal 15 Ayat (1) disebutkan bahwa kewenangan utama notaris adalah membuat akta otentik kecuali dikecualikan oleh peraturan perundang-undangan kepada pejabat lainnya. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa notaris tidak dapat untuk membuat akta yang oleh peraturan perundang-undangan dikecualikan kepada pejabat lainnya. Hal itu tentunya bertentangan dengan pasal 15 Ayat (2( huruf g, dikarenakan kewenangan untuk membuat akta risalah lelang oleh peraturan perundang-undangan telah ditugaskan kepada Pejabat Lelang berdasarkan Pasal 35 VR Jo. Pasal 1 angka 28 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006. Kenyataan tersebut tentunya menimbulkan suatu inkonsistensi pada UUJN yang dapat mengakibatkan munculnya ketidak pastian hukum.

2)        UUJN tidak memberikan definisi berkaitan dengan akta risalah lelang dimaksud, hal ini menimbulkan ketidak pastian hukum mengenai apa yang dimaksud dengan risalah lelang sesuai ruang lingkup kewenangan notaris berdasarkan kewenangan yang diberikan padanya. Karena UUJN tidak memberikan definisi tersebut maka demi hukum yang berlaku adalah definisi Risalah Lelang pada Pasal 1 angka 28 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang telah disebutkan sebelumnya.

3)        UUJN tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai kewenangan notaris untuk membuat risalah lelang. Dalam hal notaris dapat membuat akta risalah lelang, apakah notaris dapat membuat akta risalah lelang dari segala jenis lelang, apakah bentuknya sama dengan akta notaris yang diatur dalam Pasal 38 UUJN atau bentuknya sama dengan Pasal 37 Vendu Reglement Jo. Pasal 54-56 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006. Jika kemudian yang diberlakukan adalah ketentuan bentuk pada Pasal 38 UUJN, maka kemudian timbul permasalahan, dikarenakan kebutuhan daripada hal-hal yang dicantumkan dalam suatu risalah lelang berbeda dengan akta notaris biasa. Sebagai contoh, apa yang ada pada awal akta pada akta notaris dan bagian kepala pada risalah lelang memiliki input yang berbeda berkaitan dengan hal-hal yang wajib untuk dimasukkan seperti tempat pelaksanaan lelang, syarat-syarat lelang, metode pengumuman lelang yang dlakukan penjual, dan seterusnya, tidak bisa hanya diatur dengan ketentuan pasal 38 Ayat (2) UUJN yang menyatakan awal akta memuat judul akta, nomor akta, jam,hari, tanggal, tahun, dan nama lengkap serta kedudukan notaris. Kalaupun dapat ditafsirkan dengan menempatkan hal-hal penting tersebut pada isi akta, tetapi ketentuan Pasal 38 Ayat (2) UUJN harus dirubah dulu sehingga dapat mengakomodir hal-hal penting yang wajib untuk dimasukkan pada sebuah akta risalah lelang.

4)        Dalam UUJN tidak ditemukan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa Peraturan Lelang/Vendu Reglement (VR) dan Instruksi Lelang/Vendu Instructie (VI) yang merupakan dasar berlakunya peraturan-peraturan menteri keuangan dalam hal lelang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Para ahli hukum yang mendukung UUJN dalam kaitannya dengan perluasan wewenang ini mengaitkannya dengan asas-asas perundang yakni asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (undang-undang yang tingkatannya lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang tingkatannya lebih rendah), Lex Posteriori Derogat Legi Priori (undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama), dengan penjelasan sebagai berikut:

1)        Asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori, kaitannya dengan perluasan wewenang tersebut, asas ini tidak dapat dipakai. Dikarenakan posisi kedua undang-undang adalah sama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 adalah Undang-Undang dan Vendu Reglement adalah setingkat dengan undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2)        Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, kaitannya dengan perluasan wewenang tersebut juga tidak dapat dipakai, dikarenakan penggunaannya asas ini adalah hanya sebatas pada pada undang-undang yang memiliki kesamaan substansi. Substansi pada UUJN adalah mengatur tentang Kenotariatan sedangakan substansi daripada Vendu Reglement adalah tentang Lelang. Meskipun dalam UUJN ada salah satu ketentuan tentang lelang yakni kewenangan untuk membuat akta risalah lelang, namun hal itu hanyalah sebagaian kecil daripada ketentuan lelang seutuhnya, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa penggunaan asas ini hanya sebatas pada kewenangan membuat risalah lelang saja, karena merupakan satu kesatuan yang utuh.

Sebenarnya asas yang lebih tepat digunakan untuk permasalahan ini adalah asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis (undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum). Dikarenakan sebagaimana dijelaskan bahwa Vendu Reglement adalah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang lelang sedangkan UUJN hanya mengatur lelang sebatas pada kewenangan membuat akta risalah lelang, sehingga dapat dikatakan mengatur secara umum dalam hal lelang, hal itu dibuktikan dengan ketentuan Pasal 91 UUJN yang mencabut Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1860:3) dan peraturan pelaksananya bukan mencabut Vendu Reglement, karena memang UUJN adalah undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai Jabatan Notaris dan secara umum tentang lelang. Oleh karenanya dapat dikatakan Vendu Reglement yang mengatur secara khusus lelang mengesampingkan UUJN yang mengatur secara umum lelang.

Sebagaimana dikatakan diawal bahwa notaris dapat merangkap jabatan sebagai Pejabat Lelang Kelas II. Pengaturan hukum bagi Notaris yang ditetapkan dan diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas II diatur dalam Peraturan Lelang (Vendu Reglement) dan Pasal 7 Instruksi Lelang (Vendu Instructie) junto Pasal 4 Ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II. Rangkap jabatan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II ini bukanlah suatu rangkap jabatan yang dilarang oleh undang-undang yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan di bidang lelang maupun di bidang kenotariatan. Pasal 3 huruf g Jo. Pasal 17 Undang-Undang Jabatan Notaris tidak melarang rangkap jabatan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II.

 

C.           Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Pertanahan

Analisis pada poin B dapat diterapkan dalam hal ini, dengan perbedaan terdapat pada rasio legis dan konklusinya. Untuk menjawab isu hukum ini maka diperlukan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan penafsiran sistematis.

Sebagaimana diketahui bahwa membuat akta pertanahan adalah kewenangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun dengan kekhususan pada akta-akta tertentu. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa yang dimaksud sebagai PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya diperjelas dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

Akta-akta tanah tertentu tersebut kemudian dapat diketahui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Pada ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak disebut akta-akta tertentu apa yang menjadi kewenangan PPAT namun lebih kepada perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun apa yang wewenang pembuatannya diberikan kepada PPAT.[22] Perbuatan hukum tertentu tersebut dirinci dalam Pasal 2 Ayat (2), yakni antara lain perbuatan hukum mengenai:

1.        Jual beli; 

2.        Tukar menukar;

3.        Hibah; 

4.        Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5.        Pembagian hak bersama;

6.        Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;

7.        Pemberian hak tanggungan; 

8.        Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.[23]

 

Berdasarkan hal tersebut, maka jika dikaitkan dengan Pasal 15 Ayat (1) UUJN maka kesimpulan yang dapat diambil yakni Notaris dapat membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan asalkan selain akta-akta yang merupakan kewenangan dari PPAT, kecuali akta pertanahan yang yang kewenangannya merupakan kewenangan PPAT dan Notaris (Surat/Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan). Yang sering menjadi pertanyaan disini adalah kedudukan UUJN sebagai undang-undang yang memberikan kewenangan Notaris dan kedudukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998 sebagai peraturan pemerintah yang memberikan kewenangan PPAT, kedudukan UU tentunya lebih tinggi dari PP, dan pastinya berlaku asas Lex Superiori derogate Legi Inferiori. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa pemberian kewenangan membuat akta pertanahan tertentu oleh PPAT tidak diatur oleh PP nomor 37 tahun 1998, PP tersebut hanyalah memperinci atau memperjelas ketentuan peraturan perundangan lain, yakni salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, hal itu bisa dilihat dalam konsideran PP tersebut. Oleh karenanya asas hukum tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal ini. Hal tersebut juga dibuktikan dengan pengakuan UUJN akan keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yakni pada Pasal 17 huruf g.

Contoh akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dapat dibuat oleh Notaris adalah Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Akta Sewa Menyewa.

 

D.           Kekuatan Pembuktian Akta Pertanahan dan Akta Risalah Lelang Yang Dibuat Oleh Notaris

Kekuatan pembuktian disini tentunya berkaitan dengan keotentikan akta, apakah akta tersebut otentik ataukah menjadi akta dibawah tangan. Untuk mengetahui hal tersebut maka harus dilihat berdasarkan syarat-syarat yang diperlukan agar suatu akta dapat dinyatakan sebagai akta otentik. Salah satu syarat agar suatu akta dapat dinyatakan otentik adalah akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.

Berdasarkan analisis diatas telah ditemukan bahwa notaris meskipun diberikan perluasan kewenangan oleh Pasal 15 Ayat (2) huruf g UUJN untuk membuat akta risalah lelang, namun ternyata hal tersebut menjadi tidak berlaku dikarenakan bertentangan dengan Vendu Reglement yang notabene adalah undang-undang yang khusus mengatur tentang lelang. Oleh karennaya ketentuan jika notaris membuat akta risalah lelang, maka akta tersebut tidak sesuai dengan akta otentik yang dimaksud dalam Pasal 1868 BW, dikarenakan notaris bukanlah pejabat yang berwenang untuk itu.

Ketidaksesuaian dengan Pasal 1868 BW menimbulkan konsekuensi hukum yakni terdegradasinya akta tersebut menjadi akta dibawah tangan, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1869 BW yakni :

suatu akta karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak.

Dengan terdegradasinya akta tersebut menjadi akta dibawah tangan maka demi hukum kekuatan pembuktiannya tidak sekuat dan sesempurna akta otentik.

Tetapi berbeda dengan perluasan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 15 Ayat (2) huruf f, karena akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dibuat oleh Notaris adalah merupakan akta otentik sepanjang selain akta-akta pertanahan tertentu yang merupakan kewenangan PPAT, yang tidak diberikan juga kepada Notaris.


 

BAB III
PENUTUP

 

A.           Kesimpulan

Notaris tidak berwenang untuk membuat Akta Risalah Lelang dalam kapasitasnya sebagai Notaris, karena hal itu akan bertentangan dengan Pasal 35 Peraturan Lelang (Vendu Reglement). Notaris hanya dapat membuat akta risalah lelang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Lelang Kelas II, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Instruksi Lelang (Vendu Instructie) Jo. Pasal 4 Ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang Jo. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II. Namun, Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sepanjang selain akta-akta pertanahan tertentu yang merupakan kewenangan PPAT, yang tidak diberikan juga kepada Notaris.

Kekuatan pembuktian akta risalah lelang yang dibuat oleh notaris menjadi tidak sempurna dan kuat dikarenakan bukan merupakan akta otentik melainkan akta dibawah tangan hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1868 dan Pasal 1869 BW. Tetapi kekuatan pembuktian akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dibuat oleh Notaris adalah merupakan akta otentik sepanjang selain akta-akta pertanahan tertentu yang merupakan kewenangan PPAT, yang tidak diberikan juga kepada Notaris.

 

B.            Saran

Adapun rekomendasi yang diberikan berkaitan dengan permasalahan diatas yakni:

1.        Unifikasi hukum memang mutlak diperlukan demi tercapainya kepastian hukum, namun semangat untuk itu jangan sampai malah menimbulkan ketidak pastian hukum. Hendaknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) diajukan permohonan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimasukaan Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS), dalam hal dimusyawarahkan Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut. Substansi daripada UUJN yang tumpang tindih dan inkonsisten dengan sistematika undang-undang yang buruk dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan dapat dijadikan alasan diajukannya permohonan.

2.        Diajukannya UUJN ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentunya akan semakin menyulitkan, dikarenakan wewenang MK yang outputnya hanya mencabut pasal, sebagian pasal atau seluruh pasal yang berarti mencabut undang-undang tersebut. Wewenang tersebut tidak diiringi dengan wewenang untuk memberikan rekomendasi pada DPR agar undang-undang yang bersangkutan dapat diadakan perubahan. UUJN tidak membutuhkan dicabutnya pasal, sebagian pasal, atau seluruh pasal, yang dibutuhkan adalah perubahan, penjelasan, dan penambahan dari pasal-pasal yang sudah ada, karena bagaimanapun juga niat awal dilahirkannya UUJN adalah untuk mewujudkan unifikasi hukum dan dunia kenotariatan indonesia yang sejajar dengan lainnya.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.           Buku

Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2008.

Ngadijarno, F.X., Nunung Eko Laksito, and Isti Indri Listiani. Lelang Teori Dan Praktek. Jakarta: Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan, 2006.

Subekti, and Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pranadnya Paramita, 2004.

Termoshuizen, Marjanne. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2002.

Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, 1983.

 

B.            Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Lelang (Vendu Reglement). Hindia Belanda: Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189, 1908.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris Dan Wakil Notaris Sementara. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700, 1954.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No. 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3632, 1996.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889, 1999.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4132, 2001.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4756, 2007.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4801, 2008.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3644, 1996.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No. 52, 1998.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Jakarta, Indonesia, 2006.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Jakarta, Indonesia, 2006.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Jakarta, Indonesia, 2006.

 


 

 



[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris Dan Wakil Notaris Sementara (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700, 1954).

[2] G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1983). p. V.

[3] Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pranadnya Paramita, 2004).

[4] Marjanne Termoshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2002). 21.

[5] Ibidp. 281.

[6] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Bandung: Refika Aditama, 2008). p. 16.

[7] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4756, 2007). Pasal 7 Ayat (1).

[8] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889, 1999). Pasal 5 Ayat (1).

[9] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No. 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3632, 1996). Pasal 15 Ayat (1).

[10] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4801, 2008). Pasal 2 Ayat (1).

[11] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4132, 2001). Pasal 9 Ayat (2).

[12] Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notarisp. 82.

[13] Peraturan Lelang (Vendu Reglement) (Hindia Belanda: Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189, 1908).

[14] Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (Jakarta, Indonesia, 2006). Pasal 1 angka 28.

[15] Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

[16] Termoshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesiap. 354.

[17] Ibid. p. 21.

[18] Ibidp. 306.

[19] Tobing, Peraturan Jabatan Notarisp. 31.

[20] F.X. Ngadijarno, Nunung Eko Laksito, and Isti Indri Listiani, Lelang Teori Dan Praktek (Jakarta: Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan, 2006). p359.

[21] Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan (Jakarta, Indonesia, 2006).

[22] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No. 52, 1998). Pasa1 ayat (1).

[23] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3644, 1996). Pasal 3 Ayat (22).

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.