KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM DALAM MEMBUAT AKTA PERTANAHAN DAN AKTA RISALAH LELANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN)
adalah merupakan salah satu bentuk perjuangan tersebut. Sebagaimana diketahui
sebelum ditetapkannya UUJN, notaris menjalankan tugas dan kewajibannya
berdasarkan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.
1860:3) atau lebih dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris, sebagaimana telah
diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101.[1]
Dengan diundangkannya UUJN tersebut maka PJN dan Peraturan-peraturan
pelaksananya yang disebut dalam Pasal 91 UUJN dinyatakan tidak berlaku lagi.
Lahirnya UUJN juga melahirkan perkembangan hukum baru dalam dunia
kenotariatan, salah satunya adalah perluasan kewenangan Notaris. Perluasan
kewenangan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 15 Ayat (2) butir f dan
g, yang menyebutkan bahwa membuat akta pertanahan dan akta risalah lelang
adalah merupakan salah satu wewenang notaris. Padahal sebagaimana diketahui
membuat akta pertanahan adalah wewenang daripada Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), dan membuat akta risalah lelang adalah wewenang daripada Pejabat
Lelang.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan dibahas adalah
bagaimana kewenangan notaris dalam membuat akta pertanahan dan akta risalah
lelang menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, serta
kekuatan pembuktian akta pertanahan dan akta risalah lelang yang dibuat oleh
Notaris tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum
1.
Pengertian Pejabat Umum
Istilah Openbare Ambtenaren disebut dalam Pasal 1 angka
(1) UUJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pada UUJN
istilah tersebut diambil dari Pasal 1 Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesie (Stb 1860:3) atau lebih dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris,[2]
yang pada pasal tersebut diterjemahkan oleh G.H.S. Lumban Tobing menjadi
Pejabat Umum. Sedangkan pada BW istilah tersebut diterjemakan oleh Subekti dan
Tjitrosudibio juga sebagai Pejabat Umum.[3]
Ambtenaren jika diterjemahkan adalah pejabat,[4]
sedangkan Openbare adalah umum atau publik,[5]
dengan dengan demikian Openbare Ambtenaren dapat dikatakan sebagai Pejabat Umum. Lantas apa maksud dari pejabat
umum. Jika dilihat dari segi etimologi bahasa, maka dapat diartikan bahwa
Pejabat Umum adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah serta memiliki
kewenangan tertentu dalam suatu lingkungan pekerjaan yang tetap (karena
memangku suatu jabatan) yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat.
Apakah sama dengan Pegawai Negeri karena sama-sama diangkat oleh pemerintah.
Hal tersebut tidak membuat Jabatan Notaris sama dengan Pegawai Negeri, karena
selain diatur atau tunduk pada peraturan yang berbeda juga karakteristik notaris
bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun (impartial),
tidak bergantung pada siapapun (independent), yang berarti dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dcampuri oleh pihak lain termasuk
pihak yang mengangkatnya.[6]
2.
Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum
Berdasarkan pemaparan diatas maka notaris sebagai Pejabat Umum memiliki
kewenangan tertentu. Kewenangan notaris adalah kewenangan yang diperoleh secara
Atribusi, yakni pemberian kewenangan yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan
suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Notaris diberikan
kewenangan oleh peraturan perundang-undangan yakni UUJN, yang berarti juga
kewenangan tersebut sebatas apa yang diberikan oleh UUJN.
Menurut UUJN yakni Pasal 15 Ayat (1), kewenangan notaris adalah membuat
akta dengan batasan :
1)
Sepanjang tidak
dikecualikan pada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-undang;
2)
Sepanjang menyangkut
akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3)
Sepanjang mengenai
subjek hukum untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Namun Ayat (2) menambahkan bahwa notaris berwenang pula untuk :
2)
Membukukan surat-surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
3)
Membuat kopi dari asli
surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
4)
Melakukan pengesahan
kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
5)
Memberikan penyuluhan
hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
6)
Membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan; atau
7)
Membuat akta risalah
lelang.
Selain itu notaris juga diberikan kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Kewenangan lain tersebut diantaranya adalah membuat Akta Pendirian
Perseroan Terbatas,[7] Akta Jaminan Fidusia,[8]
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan,[9]
Akta Pendirian Partai Politik.[10] Akta Pendirian Yayasan.[11]
Notaris berwenang pula membuat Akta In Originali (meski
dalam UUJN dimasukkan dalam ketentuan Pasal 16 Ayat (2) dan (3), namun jika
melihat substansinya maka hal tersebut merupakan kewenangan Notaris) yakni :[12]
1.
pembayaran uang sewa,
bunga, dan pensiun;
2.
penawaran pembayaran
tunai;
3.
protes terhadap tidak
dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
4.
akta kuasa;
5.
keterangan kepemilikan;
atau
6.
akta lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya ketentuan
tentang kewenangan Notaris membuat akta (segala macam akta) sebagai pejabat
umum yang mempunyai kewengan untuk itu adalah
norma umum.
B.
Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Risalah Lelang
1.
Akta Risalah Lelang sebagai Suatu Akta Otentik
Sebelum membahas tentang kewenangan Notaris dalam membuat akta risalah
lelang, perlu diketahui dulu perihal apakah risalah lelang adalah merupakan
akta otentik. Risalah lelang adalah berita acara dokumen resmi dari jalannya
penjualan dimuka umum atau lelang yang disusun secara teratur dan dipertanggung
jawabkan oleh pejabat lelang dan para pihak (penjual dan pembeli) sehingga
pelaksanaan lelang yang disebut didalamnya mengikat. Penjelasan tersebut mengacu
pada ketentuan Vendu Reglement (VR) Pasal 35 yang menyebutkan
:[13]
Dari tiap-tiap penjualan umum yang
dilakukan oleh juru lelang atau kuasanya, selama penjualan, untuk tiap-tiap
hari pelelangan atau penjualan harus dibuat berita acara tersendiri.
Melihat ketentuan tersebut istilah risalah lelang adalah istilah yang
dipakai oleh para akademisi maupun praktisi hukum untuk menyebut berita acara yang imaksud dalam Pasal 35 VR tersebut.
Namun, pada perkembangannya istilah tersebut memperoleh legitimasi yakni dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang yang menyebutkan bahwa :[14]
Risalah Lelang adalah berita acara
pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik
dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak.
Legitimasi tersebut mempertegas penyebutan berita acara pelaksanaan lelang
sebagai Risalah Lelang. Pada ketentuan tersebut dinyatakan bahwa Risalah Lelang adalah merupakan akta
otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak. Hal itu
berarti isi pasal tersebut terkait dengan apa yang dimaksud dengan akta otentik
itu, yang oleh peraturan perundang-undangan telah dijelaskan dalam Pasal 165
HIR, 285 Rbg, dan 1868 BW. Untuk hal ini ketentuan 1868 BW yang lebih mendekati dengan permasalahan yakni :[15]
Suatu akta otentik adalah suatu akta
yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat.
Melihat ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memenuhi
klasifikasi sebagai akta otentik maka suatu akta harus memenuhi yarat-syarat
sebagai berikut :
1)
akta itu harus dibuat
oleh (door) atau dihadapan (ten overstan) seorang pejabat umum.
Yang dimaksud dengan dibuat oleh yakni akta yang dibuat oleh pejabat umum
yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu
keadaan yang dilihat atau disaksikan pejabat umum sendiri didalam menjalankan
jabatannya, akta seperti ini lazim disebut sebagai Akta Berita Acara (relaas akte)[16]
atau Akta Pejabat (ambtelijke akte).[17]
Yang dimaksud dengan dihadapan adalah bahwa akta tersebut dibuat atas
permintaan para pihak yang bersumber dari pernyataan, keterangan, hal tentang
hak dan kewajiban maupun syarat-syarat yang dikehendaki para pihak, yang
kemudian dikonstantir dalam suatu akta otentik oleh pejabat umum, lazimnya akat
seperti ini disebut dengan Akta Para Pihak (partij[18]akte)[19]
Pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang dimaksud adalah sesorang yang
diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban
untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu.
2)
akta itu harus dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Bentuk yang telah ditentukan maksudanya adalah bahwa dalam pembuatannya,
akta tersbut harus sesuai dengan bentuk atau format yang telah ditentukan oleh
Peraturan Perundangan yang berlaku.
3)
pejabat umum sebagaimana
dimaksud harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu..
Pejabat umum yang mempunyai wewenang dapat diartikan berwenang :
a.
Membuat akta otentik
yang dibuatnya
maksudnya tidak setiap pejabat umum
dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat
akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b.
Saat akta itu dibuat
maksudnya seorang pejabat umum tidak
boleh membuat suatu akta dimana pada saat itu dirinya dalam keadaan tidak aktif
sebagai pejabat umum (belum disumpah, cuti, pensiun, atau diberhentikan).
c.
Sesuai kedudukannya
membuat akta itu
maksudnya bahwa pejabat umum itu
hanya berwenang membuat akta otentik dalam wilayah yang baginya ia berwenang
untuk melakukannya, jika akta tersebut dibuat diluar wilayah yang baginya tidak
berwenang maka aktanya menjadi tidak sah.[20]
Untuk membuktikan bahwa risalah lelang adalah akta otentik maka
syarat-syarat tersebut diterapkan dalam risalah lelang hasilnya yakni :
1)
Akta itu harus dibuat
oleh atau dihadapan seorang pejabat umum.
Risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang, pernyataan tersebut berdasarkan
Pasal 35 VR yang menyatakan bahwa :
Dari tiap-tiap penjualan umum yang
dilakukan oleh juru lelang atau kuasanya, selama pernjualan, untuk tiap-tiap
hari pelelangan atau penjualan harus dibuat berita acara tersendiri.
Dari ketentuan tersebut dapat diartikan yang membuat Risalah Lelang adalah
Pejabat Lelang. Hal tersebut kemudian dipertegasa dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 yang menyebutkan bahwa Pejabat Lelang adalah
orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan
penjualan barang secara lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dikaitkan dengan pengertian pejabat umum pada penjelasan sebelumnya
maka pejabat lelang dapat dikategorikan sebagai pejabat umum yang dimaksudkan
oleh Pasal 1868 BW. Jika risalah lelang dibuat oleh Pejabat Lelang sebagai
Pejabat Umum maka risalah lelang adalah termasuk jenis relaas akte atau
akta pejabat.
Pejabat Lelang Kelas I berwenang untuk melaksanakan segala jenis lelang,
tetapi jika ada permintaan dari Balai Lelang untuk melaksanakan jenis lelang
yang merupakan wewenang dari Pejabat Lelang Kelas II, Pejabat Lelang Kelas I
tidak dapat serta merta menyetujui untuk melaksanakan lelang, permintaan
tersebut baru bisa disetujui jika seluruh Pejabat Lelang Kelas II yang ada
didaerah kedudukan Balai Lelang sedang dalam masa cuti atau bebas tugas, cuti,
atau berhalangan tetap. Pejabat Lelang Kelas I hanya dapat melaksanakan
tugasnya jika ada penunjukan dari Kepala Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).[21]
Pejabat Lelang Kelas II berwenang untuk melaksanakan lelang terbatas pada :
a.
lelang non eksekusi
sukarela;
b.
lelang aset BUMN/D
berbentuk Persero; dan
c.
lelang aset milik bank
dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Adanya 2 jenis Pejabat Lelang tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap
pejabat mana yang berwenang untuk melaksanakan jenis lelang tertentu.
2)
Akta itu harus dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Risalah lelang bentuknya diatur dalam Pasal 37-39 VR Jo. Pasal
54-56 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 Bentuk dari risalah
lelang tersebut yakni terdiri dari:
a.
Bagian Kepala Risalah
sekurang-kurangnya memuat :
b.
Bagian Badan Risalah
sekurang-kurangnya memuat :
c.
Bagian Kaki Risalah sekurang-kurangnya
memuat :
3)
Pejabat umum sebagaimana
dimaksud harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang, oleh karena itu untuk mengetahui
berwenang atau tidak pejabat lelang sebagaimana dimaksud maka harus melihat
ketentuan yang mengaturnya yakni Pasal 3 dan 7 VR Jo. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.07/2006 tentang Pejabat Lelang Kelas I.
Dalam peraturan tersebut diatur perihal wilayah kerja masing-masing pejabat
lelang.
Berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Akta Risalah
Lelang adalah termasuk akta otentik dengan jenis relaas akte atau
akta pejabat.
2.
Kewenangan Notaris Membuat Akta Risalah Lelang
Perluasan kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta risalah lelang yang
disebutkan dalam Pasal 15 Ayat 2 huruf g Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30
Tahun 2004 tidak secara serta merta dapat dlaksanakan karena berdasarkan Pasal
35 Vendu Reglement Jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
40/PMK.07/2006 hanya notaris yang telah ditetapkan dan diangkat menjadi Pejabat
Lelang Kelas II saja yang berwenang meminpin pelaksanaan lelang dan membuat
akta risalah lelang.
Selain itu, permasalahan yang timbul berkaitan dengan wewenang notaris yang diberikan
oleh Pasal 15 Ayat (2) huruf g tersebut yakni:
1)
Pada Pasal 15 Ayat (1)
disebutkan bahwa kewenangan utama notaris adalah membuat akta otentik kecuali
dikecualikan oleh peraturan perundang-undangan kepada pejabat lainnya. Dari
ketentuan tersebut jelas bahwa notaris tidak dapat untuk membuat akta yang oleh
peraturan perundang-undangan dikecualikan kepada pejabat lainnya. Hal itu
tentunya bertentangan dengan pasal 15 Ayat (2( huruf g, dikarenakan kewenangan
untuk membuat akta risalah lelang oleh peraturan perundang-undangan telah
ditugaskan kepada Pejabat Lelang berdasarkan Pasal 35 VR Jo. Pasal
1 angka 28 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006. Kenyataan tersebut
tentunya menimbulkan suatu inkonsistensi pada UUJN yang dapat mengakibatkan
munculnya ketidak pastian hukum.
2)
UUJN tidak memberikan
definisi berkaitan dengan akta risalah lelang dimaksud, hal ini menimbulkan
ketidak pastian hukum mengenai apa yang dimaksud dengan risalah lelang sesuai
ruang lingkup kewenangan notaris berdasarkan kewenangan yang diberikan padanya.
Karena UUJN tidak memberikan definisi tersebut maka demi hukum yang berlaku
adalah definisi Risalah Lelang pada Pasal 1 angka 28 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang telah disebutkan
sebelumnya.
3)
UUJN tidak memberikan
penjelasan apa pun mengenai kewenangan notaris untuk membuat risalah lelang.
Dalam hal notaris dapat membuat akta risalah lelang, apakah notaris dapat
membuat akta risalah lelang dari segala jenis lelang, apakah bentuknya sama
dengan akta notaris yang diatur dalam Pasal 38 UUJN atau bentuknya sama dengan
Pasal 37 Vendu Reglement Jo. Pasal 54-56 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006. Jika kemudian yang diberlakukan adalah
ketentuan bentuk pada Pasal 38 UUJN, maka kemudian timbul permasalahan,
dikarenakan kebutuhan daripada hal-hal yang dicantumkan dalam suatu risalah
lelang berbeda dengan akta notaris biasa. Sebagai contoh, apa yang ada pada
awal akta pada akta notaris dan bagian kepala pada risalah lelang memiliki
input yang berbeda berkaitan dengan hal-hal yang wajib untuk dimasukkan seperti
tempat pelaksanaan lelang, syarat-syarat lelang, metode pengumuman lelang yang
dlakukan penjual, dan seterusnya, tidak bisa hanya diatur dengan ketentuan
pasal 38 Ayat (2) UUJN yang menyatakan awal akta memuat judul akta, nomor akta,
jam,hari, tanggal, tahun, dan nama lengkap serta kedudukan notaris. Kalaupun
dapat ditafsirkan dengan menempatkan hal-hal penting tersebut pada isi akta,
tetapi ketentuan Pasal 38 Ayat (2) UUJN harus dirubah dulu sehingga dapat
mengakomodir hal-hal penting yang wajib untuk dimasukkan pada sebuah akta
risalah lelang.
4)
Dalam UUJN tidak
ditemukan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa Peraturan Lelang/Vendu
Reglement (VR) dan Instruksi Lelang/Vendu Instructie (VI)
yang merupakan dasar berlakunya peraturan-peraturan menteri keuangan dalam hal
lelang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Para ahli hukum yang mendukung UUJN dalam kaitannya dengan perluasan
wewenang ini mengaitkannya dengan asas-asas perundang yakni asas Lex
Superiori Derogat Legi Inferiori (undang-undang yang tingkatannya
lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang tingkatannya lebih
rendah), Lex Posteriori Derogat Legi Priori (undang-undang
yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama), dengan penjelasan sebagai
berikut:
1)
Asas Lex
Superiori Derogat Legi Inferiori, kaitannya dengan perluasan wewenang
tersebut, asas ini tidak dapat dipakai. Dikarenakan posisi kedua undang-undang
adalah sama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 adalah Undang-Undang dan Vendu
Reglement adalah setingkat dengan undang-undang yang dimaksud dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
2)
Asas Lex
Posteriori Derogat Legi Priori, kaitannya dengan perluasan wewenang
tersebut juga tidak dapat dipakai, dikarenakan penggunaannya asas ini adalah
hanya sebatas pada pada undang-undang yang memiliki kesamaan substansi.
Substansi pada UUJN adalah mengatur tentang Kenotariatan sedangakan substansi
daripada Vendu Reglement adalah tentang Lelang. Meskipun dalam
UUJN ada salah satu ketentuan tentang lelang yakni kewenangan untuk membuat
akta risalah lelang, namun hal itu hanyalah sebagaian kecil daripada ketentuan
lelang seutuhnya, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa penggunaan asas ini
hanya sebatas pada kewenangan membuat risalah lelang saja, karena merupakan
satu kesatuan yang utuh.
Sebenarnya asas yang lebih tepat digunakan untuk permasalahan ini adalah asas Lex
Specialis Derogat Legi Generalis (undang-undang yang khusus mengesampingkan
undang-undang yang umum). Dikarenakan sebagaimana dijelaskan bahwa Vendu
Reglement adalah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
lelang sedangkan UUJN hanya mengatur lelang sebatas pada kewenangan membuat
akta risalah lelang, sehingga dapat dikatakan mengatur secara umum dalam hal
lelang, hal itu dibuktikan dengan ketentuan Pasal 91 UUJN yang mencabut
Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1860:3) dan peraturan pelaksananya bukan
mencabut Vendu Reglement, karena memang UUJN adalah undang-undang
yang mengatur secara khusus mengenai Jabatan Notaris dan secara umum tentang
lelang. Oleh karenanya dapat dikatakan Vendu Reglement yang
mengatur secara khusus lelang mengesampingkan UUJN yang mengatur secara umum
lelang.
Sebagaimana dikatakan diawal bahwa notaris dapat merangkap jabatan
sebagai Pejabat Lelang Kelas II. Pengaturan hukum bagi Notaris yang ditetapkan
dan diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas II diatur dalam Peraturan Lelang
(Vendu Reglement) dan Pasal 7 Instruksi Lelang (Vendu Instructie) junto Pasal 4
Ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002
tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II. Rangkap jabatan Notaris
sebagai Pejabat Lelang Kelas II ini bukanlah suatu rangkap jabatan yang
dilarang oleh undang-undang yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan di
bidang lelang maupun di bidang kenotariatan. Pasal 3 huruf g Jo.
Pasal 17 Undang-Undang Jabatan Notaris tidak melarang rangkap jabatan Notaris
sebagai Pejabat Lelang Kelas II.
C.
Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Pertanahan
Analisis pada poin B dapat diterapkan dalam hal ini, dengan perbedaan terdapat
pada rasio legis dan konklusinya. Untuk menjawab isu hukum ini maka diperlukan
pendekatan peraturan perundang-undangan dengan penafsiran sistematis.
Sebagaimana diketahui bahwa membuat akta pertanahan adalah kewenangan dari
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun dengan kekhususan pada akta-akta
tertentu. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996, bahwa yang dimaksud sebagai PPAT adalah Pejabat Umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan
hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut
peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya diperjelas dalam Pasal 1 angka
24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah
tertentu.
Akta-akta tanah tertentu tersebut kemudian dapat diketahui dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Pada ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak
disebut akta-akta tertentu apa yang menjadi kewenangan PPAT namun lebih kepada
perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun apa yang wewenang pembuatannya diberikan kepada PPAT.[22]
Perbuatan hukum tertentu tersebut dirinci dalam Pasal 2 Ayat (2), yakni antara
lain perbuatan hukum mengenai:
1.
Jual beli;
2.
Tukar menukar;
3.
Hibah;
4.
Pemasukan ke dalam
perusahaan (inbreng);
5.
Pembagian hak bersama;
6.
Pemberian hak guna
bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;
7.
Pemberian hak
tanggungan;
8.
Pemberian kuasa
membebankan hak tanggungan.[23]
Berdasarkan hal tersebut, maka jika dikaitkan dengan Pasal 15 Ayat (1) UUJN
maka kesimpulan yang dapat diambil yakni Notaris dapat membuat akta yang
berkaitan dengan Pertanahan asalkan selain akta-akta yang merupakan kewenangan
dari PPAT, kecuali akta pertanahan yang yang kewenangannya merupakan kewenangan
PPAT dan Notaris (Surat/Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan). Yang sering menjadi pertanyaan disini adalah kedudukan
UUJN sebagai undang-undang yang memberikan kewenangan Notaris dan kedudukan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998 sebagai peraturan pemerintah yang
memberikan kewenangan PPAT, kedudukan UU tentunya lebih tinggi dari PP, dan
pastinya berlaku asas Lex Superiori derogate Legi Inferiori. Dalam
hal ini perlu diperhatikan bahwa pemberian kewenangan membuat akta pertanahan
tertentu oleh PPAT tidak diatur oleh PP nomor 37 tahun 1998, PP tersebut
hanyalah memperinci atau memperjelas ketentuan peraturan perundangan lain,
yakni salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, hal itu bisa
dilihat dalam konsideran PP tersebut. Oleh karenanya asas hukum tersebut tidak
dapat diterapkan dalam hal ini. Hal tersebut juga dibuktikan dengan pengakuan
UUJN akan keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yakni pada Pasal 17 huruf g.
Contoh akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dapat dibuat oleh Notaris
adalah Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Akta Sewa Menyewa.
D.
Kekuatan Pembuktian Akta Pertanahan dan Akta Risalah Lelang Yang Dibuat
Oleh Notaris
Kekuatan pembuktian disini tentunya berkaitan dengan keotentikan akta,
apakah akta tersebut otentik ataukah menjadi akta dibawah tangan. Untuk mengetahui
hal tersebut maka harus dilihat berdasarkan syarat-syarat yang diperlukan agar
suatu akta dapat dinyatakan sebagai akta otentik. Salah satu syarat agar suatu
akta dapat dinyatakan otentik adalah akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan
pejabat umum.
Berdasarkan analisis diatas telah ditemukan bahwa notaris meskipun
diberikan perluasan kewenangan oleh Pasal 15 Ayat (2) huruf g UUJN untuk
membuat akta risalah lelang, namun ternyata hal tersebut menjadi tidak berlaku
dikarenakan bertentangan dengan Vendu Reglement yang notabene
adalah undang-undang yang khusus mengatur tentang lelang. Oleh karennaya
ketentuan jika notaris membuat akta risalah lelang, maka akta tersebut tidak
sesuai dengan akta otentik yang dimaksud dalam Pasal 1868 BW, dikarenakan notaris
bukanlah pejabat yang berwenang untuk itu.
Ketidaksesuaian dengan Pasal 1868 BW menimbulkan konsekuensi hukum yakni
terdegradasinya akta tersebut menjadi akta dibawah tangan, sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 1869 BW yakni :
suatu akta karena tidak berkuasa
atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam
bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika ia
ditandatangani oleh para pihak.
Dengan terdegradasinya akta tersebut menjadi akta dibawah tangan maka demi
hukum kekuatan pembuktiannya tidak sekuat dan sesempurna akta otentik.
Tetapi berbeda dengan perluasan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 15
Ayat (2) huruf f, karena akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dibuat oleh
Notaris adalah merupakan akta otentik sepanjang selain akta-akta pertanahan
tertentu yang merupakan kewenangan PPAT, yang tidak diberikan juga kepada
Notaris.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Notaris tidak berwenang untuk membuat Akta Risalah Lelang dalam
kapasitasnya sebagai Notaris, karena hal itu akan bertentangan dengan Pasal
35 Peraturan Lelang (Vendu Reglement). Notaris hanya dapat membuat akta
risalah lelang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Lelang Kelas II, sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 Instruksi Lelang (Vendu Instructie) Jo. Pasal
4 Ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002
tentang Pejabat Lelang Jo. Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II. Namun, Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan
sepanjang selain akta-akta pertanahan tertentu yang merupakan kewenangan PPAT, yang
tidak diberikan juga kepada Notaris.
Kekuatan pembuktian akta risalah lelang yang dibuat oleh notaris menjadi
tidak sempurna dan kuat dikarenakan bukan merupakan akta otentik melainkan akta
dibawah tangan hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1868 dan Pasal 1869
BW. Tetapi kekuatan pembuktian akta yang berkaitan dengan pertanahan yang
dibuat oleh Notaris adalah merupakan akta otentik sepanjang selain akta-akta
pertanahan tertentu yang merupakan kewenangan PPAT, yang tidak diberikan juga
kepada Notaris.
B.
Saran
Adapun rekomendasi yang diberikan berkaitan dengan permasalahan diatas
yakni:
1.
Unifikasi hukum memang
mutlak diperlukan demi tercapainya kepastian hukum, namun semangat untuk itu
jangan sampai malah menimbulkan ketidak pastian hukum. Hendaknya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) diajukan permohonan ke Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dimasukaan Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS),
dalam hal dimusyawarahkan Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut.
Substansi daripada UUJN yang tumpang tindih dan inkonsisten dengan sistematika
undang-undang yang buruk dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan dapat
dijadikan alasan diajukannya permohonan.
2.
Diajukannya UUJN ke
Mahkamah Konstitusi (MK) tentunya akan semakin menyulitkan, dikarenakan
wewenang MK yang outputnya hanya mencabut pasal, sebagian pasal atau seluruh
pasal yang berarti mencabut undang-undang tersebut. Wewenang tersebut tidak
diiringi dengan wewenang untuk memberikan rekomendasi pada DPR agar
undang-undang yang bersangkutan dapat diadakan perubahan. UUJN tidak
membutuhkan dicabutnya pasal, sebagian pasal, atau seluruh pasal, yang
dibutuhkan adalah perubahan, penjelasan, dan penambahan dari pasal-pasal yang
sudah ada, karena bagaimanapun juga niat awal dilahirkannya UUJN adalah untuk
mewujudkan unifikasi hukum dan dunia kenotariatan indonesia yang sejajar dengan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Adjie, Habib. Hukum
Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2008.
Ngadijarno, F.X., Nunung
Eko Laksito, and Isti Indri Listiani. Lelang Teori Dan Praktek.
Jakarta: Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan, 2006.
Subekti, and
Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pranadnya
Paramita, 2004.
Termoshuizen,
Marjanne. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2002.
Tobing, G.H.S.
Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, 1983.
B.
Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan Lelang (Vendu Reglement). Hindia Belanda: Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189, 1908.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris
Dan Wakil Notaris Sementara. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 700, 1954.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Jakarta, Indonesia: Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No. 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3632, 1996.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia. Jakarta, Indonesia: Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 168, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3889, 1999.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Jakarta, Indonesia: Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 112, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4132, 2001.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. Jakarta, Indonesia: Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4756, 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Jakarta, Indonesia: Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4801, 2008.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang
Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di
Indonesia. Jakarta, Indonesia: Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3644, 1996.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No. 52,
1998.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Jakarta, Indonesia, 2006.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Departemen Keuangan. Jakarta, Indonesia, 2006.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Departemen Keuangan. Jakarta, Indonesia, 2006.
[1] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris Dan Wakil Notaris
Sementara (Jakarta,
Indonesia: Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor
700, 1954).
[2] G.H.S.
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga,
1983). p. V.
[3] Subekti and
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:
Pranadnya Paramita, 2004).
[4] Marjanne
Termoshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 2002). p 21.
[5] Ibid. p. 281.
[6] Habib
Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris (Bandung: Refika Aditama, 2008). p. 16.
[7] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Jakarta,
Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4756, 2007). Pasal 7 Ayat (1).
[8] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Jakarta,
Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889, 1999). Pasal 5 Ayat (1).
[9] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 No. 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3632, 1996). Pasal 15 Ayat (1).
[10] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Jakarta,
Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4801, 2008). Pasal 2 Ayat (1).
[11] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001
Tentang Yayasan (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 No. 112, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4132, 2001). Pasal 9 Ayat (2).
[12] Adjie, Hukum
Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris. p. 82.
[13] Peraturan Lelang (Vendu Reglement) (Hindia Belanda: Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189,
1908).
[14] Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (Jakarta, Indonesia, 2006). Pasal 1 angka 28.
[15] Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
[16] Termoshuizen, Kamus
Hukum Belanda-Indonesia. p. 354.
[17] Ibid. p. 21.
[18] Ibid. p. 306.
[19] Tobing, Peraturan
Jabatan Notaris. p. 31.
[20] F.X.
Ngadijarno, Nunung Eko Laksito, and Isti Indri Listiani, Lelang Teori
Dan Praktek (Jakarta: Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan,
2006). p. 359.
[21] Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Departemen Keuangan (Jakarta,
Indonesia, 2006).
[22] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 No. 52, 1998). Pasa1 ayat (1).
[23] Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. (Jakarta,
Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No. 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3644, 1996). Pasal 3 Ayat (22).
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar