MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

IMPLEMENTASI KODE ETIK NOTARIS DALAM AKTIVITAS NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM BERDASARKAN TEORI HUKUM POSITIF (POSITIVME HUKUM)

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

A.            Latar Belakang Masalah

Notaris adalah Pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk membantu masyarakat dalam hal membuat perjanjian-perjanjian. Perjanjian-perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan Notaris disebut akta. Tujuannya adalah agar akta tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain, oleh karena itu untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam pembuatan suatu akta, dalam melaksanakan aktifitasnya seorang notaris harus berpedoman kepada Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, selain itu ada kaedah hukum lain yang mengatur aktivitas notaris dalam melaksanakan jabatannya ialah kumpulan kaedah moral yang dikeluarkan oleh organisasi profesi notaris Ikatan Notaris Indonesia ( INI ).

Jabatan Notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja diciptakan kemudian baru disosialisasikan kepada khalayak.[1]  Notaris untuk pertama kali diangkat tanggal 27 Agustus 1620 di Jakarta sedangkan Peraturan Jabatan  Notaris  mulai  berlaku  pada  tanggal  1  Juli  1860,[2]   dan  cukup dikenal dalam masyarakat, tapi masih banyak yang belum memahami secara benar akan fungsi, hak dan kewajiban dari lembaga ini. Sebagai pejabat umum seorang Notaris dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh Undang-undang. Sebelum berlakunya UU No.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka Undang-Undang yang berlaku sebagai landasan yuridis seorang Notaris adalah Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang merupakan hasil warisan dari zaman Kolonial Belanda, atau Reglement  op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860 : 3).

Kebutuhan  akan  Notaris  dalam  praktek  hukum  sehari-hari   tidak   bisa dilepaskan dari meningkatnya tingkat perekonomian dan kesadaran hukum masyarakat. Kekuatan akta otentik yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat mengingat akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta telah dimengerti dan telah sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta tersebut dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta yang akan ditandatanganinya.[3]

Keberadaan kode etik notaris diatur oleh organisasi profesi notaris dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai wadah tunggal tempat organisasi profesi notaris Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Profesi Notaris yang memerlukan suatu tanggung jawab baik individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada kode etik profesi, bahkan merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan memperkuat norma hukum positif yang sudah ada.[4]

Hukum positif artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzkiches recht), hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti kemauan baik, kesopanan, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan, hukum positif itu tidak boleh sering diubah.[5] Hukum Positif di Indonesia telah mengatur jabatan notaris dalam suatu undang-undang khusus yakni Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya disebut dengan UUJN. Pasal 1 UUJN memberikan defenisi notaris yaitu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.

Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang ditetapkan di Bandung, pada tanggal 28 Januari 2005 tersebut memuat kewajiban, larangan dan pengecualian bagi notaris dalam pelaksanaan jabatannya. Notaris dapat dikenakan sanksi apabila terbukti telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam kode etik notaris. Keberadaan kode etik notaris bertujuan agar suatu profesi notaris dapat dijalankan dengan profesional dengan motivasi dan orientasi pada keterampilan intelektual serta berargumentasi secara rasional dan kritis serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral.

Pengawasan dan pembinaan terhadap para Notaris sangat diperlukan sehingga notaris senantiasa menjunjung keluhuran dan martabat atau tugas jabatannya untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan umum atau melakukan kesalahan-kesalahan lain di dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Sebab notaris selaku pejabat umum bertanggungjawab terhadap kebenaran formal dari isi secara keseluruhan terhadap akta yang dibuatnya, mulai dari kepala akta sampai penutup akta.

 

B.             Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ?

1.          Bagaimanakah  Implementasi Kode Etik Notaris dalam aktivitas notaris sebagai pejabat umum berdasarkan teori hukum positif ?

2.          Bagaimanakah pelaksanaan sanksi yang akan dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik ?


 

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.            Implementasi Kode Etik Notaris Dalam Aktivitas Notaris Sebagai Pejabat Umum berdasarkan Teori Hukum Positif (Positivisme Hukum)

1.        Penalaran Teori Hukum (Positivisme Hukum)

Penalaran hukum menurut Shidarta pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis.[6] Di dalam bukunya ia mengutip Visser’t Hooft yang mengatakan bahwa:“The object of a scientific inquiry is discovery; the object of a legal inquiry is decision”. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, seperti apa yang dikatakan oleh Neil MacCormick: “… legal reasoning as one branch of practical reasoning which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situation of choice”.

Pola-pola penalaran hukum sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek yang melakukan penalaran. Sudut pandang inilah yang kemudian bermuara menjadi orientasi berpikir yuridis, yakni berupa model-model penalaran di dalam disiplin hukum, khususnya sebagaimana dikenal luas sebagai aliran-aliran filsafat hukum. Apa yang dimaksud dengan sudut pandang ialah latar belakang subjektif dari suatu kerangka orientasi berpikir yuridis. Pada
tulisan ini akan membahas salah satu pola penalaran hukum dengan sudut pandang aliran positivisme hukum.

Penalaran Positivisme Hukum berasal dari aliran positivisme. Aliran postivisme sendiri lahir dan dimatangkan oleh perubahan besar yang terjadi pada masyarakat Eropa terutama setelah meletus Revolusi Industri di Inggris dan revolusi borjuis di Perancis pada pertengahan abad ke-18. Dominasi kekuasaan raja dan gereja sebagai rezim pengetahuan (epistemologi) lama di Eropa mulai digugat, di mana-mana muncul pemikiran yang membuktikan kekeliruan berpikir biarawan dan raja serta mencari kebenaran yang esensial.[7] Gairah mencari kebenaran ini tak terbendung dan meluap sejak masa Pencerahan (Aufklarung). Dominasi agama coba untuk digeser oleh ilmu pengetahuan yang mengakibatkan gereja mulai tidak diminati bersamaan dengan munculnya universitas-universitas, serta puncaknya pengetahuan metafisis diganti dengan pengetahuan rasional dan empiris.

Seiring dengan pengaruh positivisme yang merambah dunia sains pada umumnya, maka tidak terkecuali disiplin hukum pun menghadapi keadaan serupa. Ketika para penganut positivisme mengamati hukum sebagai obyek kajian, mereka menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial.[8] Kaum positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hukum hanya mengenal satu jenis hukum, yakni positivisme hukum. Istilah ini dalam definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan.

Pada aliran positivisme, hukum terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi. Dalam hal ini, hukum utamanya terwujud sebagai perintahperintah eksplisit yang secara positif telah terumus jelas guna menjamin kepastiannya, seperti
misalnya peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional di suatu negara. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa operasi aliran-aliran tersebut didasarkan utamanya pada norma positif legislatif dari ranah normatif positif. Keberadaan positivism hukum menunjukan fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas dari moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri.[9] Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa
hukum berdiri sendiri dan secara tegas terpisah dari moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Pada konteks ini, tidak ada hukum lain selain perintah penguasa.

Hubungan asas kepastian hukum dengan positivisme ialah pada tujuan memberi suatu kejelasan terhadap hukum positif. Hukum dalam aliran yang positivistic mengharuskan adanya "keteraturan" (regularity) dan "kepastian" (certainty) guna menyokong bekerjanya sistem hukum dengan baik dan lancar. Sehingga tujuan kepastian hukum mutlak
untuk dicapai agar dapat melindungi kepentingan umum (yang mencakup juga kepentingan pribadi) dengan fungsi sebagai motor utama penegak keadilan dalam masyarakat (order), menegakkan kepercayaan warga negara kepada penguasa (pemerintah), dan menegakkan wibawa penguasa dihadapan pandangan warga negara.[10]

Selain memberikan kejelasan, positivisme hukum bila diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum dalam ranah asasi, maka positivisme hukum ini menghendaki adanya pelepasan pemikiran meta yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para pemikir hukum alam (naturalis). Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral meta yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang sebagai hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.[11]

 

2.        Implementasi kode Etik Notaris dalam Aktivitas sebagai Pejabat Umum

Sebagai Pejabat Umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban tugas Negara, notaris tidak bisa menghalalkan segala cara dalam melaksanakan jabatannya tetapi harus sesuai kaedah-kaedah yang sudah digariskan, mengingat notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat suatu akta otentik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa notaris adalah salah satu bagian dari pilar penegakan hukum di Indonesia, sehingga dalam melaksanakan tugas jabatannya notaris menggunakan cap / stempel dengan lambing Negara yaitu burung Garuda yang penggunaannya telah ditentukan oleh undang-undang.[12]

Menurut Izenic, bentuk notaris ini dapat dibagi dalam dua kelompok utama,[13] yaitu:

1.          Notariat fonctionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi.

2.          Notariat professionnel, dalam kelompok ini, walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenaran, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.

 

Teori Izenic ini didasarkan pada pemikiran bahwa notariat itu merupakan bagian atau erat sekali hubungannya dengan kekuasaan kehakiman/pengadilan (rechtelijke macht), sebagaimana terdapat di Prancis dan Negeri Belanda.[14]

Untuk menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum, notaris harus senantiasa berpedoman pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris sebagai bentuk hukum positif di Indonesia. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dapat diketahui tugas dan kewenangan seorang notaris yaitu membuat akta otentik. Jadi pada hakekatnya notaris hanya “mengkonstatir” atau “merekam” secara tertulis dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan.[15]

Untuk itu proses pembuatan akta harus melalui prosedur yang telah ditetapkan, akta yang dibuat harus memenuhi ketentuan Pasal Pasal 38 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang mengatur tentang bentuk akta notaris, yang terdiri atas awal akta, badan akta dan akhir/penutup akta.

Notaris dalam pelaksanaan jabatannya dikontrol dengan kode etik notaris. Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan yuridis yang harus perhatikan, antara lain :

a)          Notaris adalah pejabat publik yang bertugas untuk melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat.

b)         Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak boleh mencemarkan nama baik dari perkumpulan seprofesi.

c)          Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak mencemarkan nama baik dari organisasi notaris.

d)         Notaris bekerja sesuai dengan kaedah hukum di dalam produk yang dihasilkannya, sehingga kode etik ini diharapkan senantiasa akan dapat menjunjung tinggi keluhuran dari tugas dan martabat  jabatannya, serta menjalankan tugas dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Notaris bergabung di dalam suatu organisasi profesi jabatan notaris yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang berbentuk perkumpulan berbadan hukum, sebagai satu-satunya organisasi profesi jabatan notaris bagi segenap notaris di seluruh Indonesia dan bercita-cita untuk menjaga dan membina keluhuran martabat dan jabatan notaris.[16]

Hubungan etika dengan profesi hukum itu sendiri adalah bahwa etika profesi adalah sikap hidup yang berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban disertai refleksi dan oleh karena itu di dalam melaksanakan profesi harus memperhatikan kaidah- kaidah pokok berupa etika profesi yaitu :[17]

1)         Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan, karena itu pertimbangan yang menentukan dalam pengambilan keputusan adalah kepentingan klien dan kepentingan umum, mengalahkan kepentingan sendiri.

2)         Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur yang memotivasi sikap dan tindakan.

3)         Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.

4)         Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi, maka pengembangan profesi harus bersemangat solidaritas antara sesama rekan seprofesi.

Sebagai pejabat umum, notaris harus memiliki etika kepribadian notaris yaitu  :

1)         Berjiwa Pancasila;

2)         Taat kepada hukum, sumpah jabatan notaris, kode etik notaris;

3)         Notaris menertibkan diri sesuai dengan fungsi, kewenangan, dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Jabatan Notaris.

4)         Berbahasa Indonesia yang baik

5)         Memiliki perilaku profesional

6)         Ikut serta pembangunan nasional di bidang hukum

7)         Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat

8)         Keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi

9)         Integritas moral yang kuat artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama.

10)      Jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada diri sendiri.

11)      Tidak semata-mata pertimbangan uang, melarikan juga pengabdian, tidak membedakan antara orang mampu dan tidak mampu;

12)      Berpegang teguh pada kode etik profesi karena didalamnya ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaris.

 

Selain hal tersebut seorang notaris harus memperhatikan etika melaksanakan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap klien dan etika hubungan sesama rekan notaris, yang dapat diuraikan sebagai berikut:[18]

1.          Etika melaksanakan tugas jabatan, sebagai pejabat umum dalam melakukan tugas jabatannya.

a)     Menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak, dan penuh rasa tanggung jawab.

b)    Menggunakan kantor yang telah ditetapkan sesuai dengan undang- undang, tidak mengadakan kantor cabang perwakilan, dan tidak menggunakan perantara.

c)     Tidak menggunakan media massa yang bersifat promosi.

d)    Harus memasang papan nama menurut ukuran yang berlaku.

2.          Etika Pelayanan Terhadap Klien

a)     Memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya.

b)    Menyelesaikan akta sampai selesai, misalnya tahap pendaftaran pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk pembuatan akta pendirian yayasan dan pengumuman dalam Berita Negara dalam proses pendirian perseroan terbatas, apabila klien yang bersangkutan dengan tegas menyatakan akan menyerahkan pengurusannya kepada notaris yang bersangkutan dan klien telah memenuhi syarat- syarat yang diperlukan dan memberitahu kepada klien perihal selesainya.

c)     Memberikan penyuluhan hukum agar masyarakat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat;

d)    Memberikan jasa kepada anggota masyarakat yang kurang mampu dengan cuma-cuma.

e)     Dilarang menahan berkas seseorang dengan maksud memaksa orang itu membuat akta kepada notaris yang menahan berkas itu;

f)     Dilarang menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menanda tangani akta buatan orang lain sebagai akta buatan  notaris yang bersangkutan;

g)    Dilarang mengirim minuta kepada klien atau klien-klien untuk ditanda tangani oleh klien atau klien-klien yang bersangkutan;

h)    Dilarang membujuk-bujuk atau dengan cara apapun memaksa klien membuat akta padanya, atau membujuk-bujuk seseorang agar pindah dari notaris lain;

i)      Dilarang membentuk kelompok di dalam tubuh INI dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan anggota lain untuk berpartisipasi.

3.          Etika Hubungan Sesama Rekan Notaris

a)     Saling menghormati dalam suasana kekeluargaan;

b)    Tidak melakukan persaingan yang merugikan sesama rekan notaris, baik moral maupun material;

c)     Harus saling menjaga dan membela kehormatan dan nama baik korps notaris atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif.

 

Berdasarkan Kongres INI di Surabaya pada tanggal 27 Januari 2009,  telah menetapkan kode etik notaris, yang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:

1.          Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan notaris, Perkumpulan mempunyai kode etik yang ditetapkan oleh Kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota perkumpulan.

2.          Dewan Kehormatan melakukan upaya-upaya untuk menegakkan kode etik.

3.          Pengurus perkumpulan dan/atau Dewan Kehormatan bekerjasama dan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas untuk melakukan upaya penegakkan kode etik.

 

Kode etik notaris mengatur mengenai kewajiban, larangan dan pengecualian.[19]  Kode  etik  notaris  mengatur  mengenai  kewajiban  notaris, seorang notaris mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1.          Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.

2.          Seorang notaris harus mempunyai moral, akhlak serta kepribadian yang baik, karena notaris menjalankan sebagian kekuasaan Negara di bidang Hukum Privat, merupakan jabatan kepercayaan dan jabatan terhormat.

3.          Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan notaris.

a.      Notaris harus menyadari bahwa perilaku diri dapat mempengaruhi jabatan yang diembannya.

b.     Harkat dan martabat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jabatan.

4.          Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan.

a.      Sebagai anggota yang merupakan bagian dari perkumpulan, maka seorang notaris harus dapat menjaga kehormatan perkumpulan.

b.     Kehormatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkumpulan.

5.          Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan notaris.

a.      Jujur terhadap diri sendiri, terhadap klien dan terhadap profesi.

b.     Mandiri dalam arti dapat menyelenggarakan kantor sendiri, tidak bergantung pada orang atau pihak lain serta tidak menggunakan jasa pihak lain yang dapat mengganggu kemandiriannya.

c.      Tidak berpihak berarti tidak membela/menguntungkan salah satu pihak dan selalu bertindak untuk kebenaran dan keadilan.

d.     Penuh rasa tanggung jawab dalam arti selalu dapat mempertanggungjawabkan semua tindakannya, akta yang dibuatnya dan bertanggung jawab terhadap kepercayaan yang diembannya.

6.          Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.

a.      Menyadari Ilmu selalu berkembang.

b.     Hukum tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat.

7.          Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara Notaris diangkat bukan untuk kepentingan individu notaris, jabatan notaris adalah jabatan pengabdian, oleh karena itu notaris harus selalu mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara.

8.          Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.

9.          Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.

a.      Notaris tidak boleh membuka kantor cabang, kantor tersebut harus benar-benar menjadi tempat ia menyelenggarakan kantornya.

b.     Kantor Notaris dan PPAT harus berada di satu kantor.

10.       Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran, yaitu 100 cm x 40 cm; 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat:

a.      Nama lengkap dan gelar yang sah

b.     Tanggal dan Nomor Surat Keputusan

c.      Tempat kedudukan

d.     Alamat kantor dan Nomor telepon/fax.

e.      Papan nama bagi kantor notaris adalah papan jabatan yang dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa di tempat tersebut ada kantor notaris, bukan tempat promosi.

f.      Papan nama tidak boleh bertendensi promosi seperti jumlah lebih dari satu atau ukuran tidak sesuai dengan standar.

11.       Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.

12.               Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib.

13.       Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.

14.       Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan perkumpulan.

15.       Menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.

a.      Akta dibuat dan diselesaikan di kantor notaris, diluar kantor pada dasarnya merupakan pengecualian.

b.     Di luar kantor harus dilakukan dengan tetap mengingat notaris hanya boleh mempunyai satu kantor.

16.       Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.

17.       Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.

18.       Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam UUJN, Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN, Isi Sumpah Jabatan Notaris, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga INI.

 

Kode etik notaris juga mengatur mengenai larangan. Larangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.          Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang maupun kantor perwakilan. Larangan ini diatur pula dalam Pasal 19 UUJN sehingga pasal ini dapat diartikan pula sebagai penjabaran UUJN. Mempunyai satu kantor harus diartikan termasuk kantor PPAT

2.          Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor. Larangan ini berkaitan dengan kewajiban yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (9) kode etik notaris sehingga tindakannya dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kewajibannya.

3.          Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan atau elektronik dalam bentuk iklan, ucapan selamat, ucapan bela sungkawa, ucapan terima kasih, kegiatan pemasaran, kegiatan sponsor baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun olah raga.

4.          Bekerjasama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakikatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.

5.          Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah disiapkan oleh pihak lain.

6.          Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.

7.          Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun agar seseorang berpindah dari notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.

8.          Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen- dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan  tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.

9.          Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan notaris.

10.       Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dengan jumlah lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.

11.    Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus  karyawan kantor notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari notaris yang bersangkutan.

12.    Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan notaris atau akta yang dibuat olehnya.

13.    Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi notaris lain untuk berpartisipasi.

14.    Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

15.    Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap kode etik notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan- ketentuan dalam UUJN; Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN; Isi Sumpah Jabatan Notaris; Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau keputusan-keputusan lain yang sudah ditetapkan organisasi INI yang tidak boleh dilakukan anggota.[20]

 

Kode etik notaris juga mengatur mengenai hal-hal yang merupakan pengecualian, sehingga tidak termasuk pelanggaran meliputi:

1.          Memberikan ucapan selamat, ucapan duka cita dengan menggunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak mencantumkan notaris, tetapi hanya nama saja.

a.      Yang dibolehkan sebagai pribadi dan tidak dalam jabatan.

b.     Tidak dimaksudkan sebagai promosi tetapi upaya menunjukkan kepedulian sosial dalam pergaulan.

2.          Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku pandua nomor telepon, fax dan telex yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau lembagalembaga resmi lainnya. Hal tersebut dianggap tidak lagi sebagai media promosi tetapi lebih bersifat pemberitahuan.

3.          Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20 x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa mencantumkan nama notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari kantor notaris. Dipergunakan sebagai papan petunjuk, bukan papan promosi.

 

Pelanggaran kode etik yang sering terjadi dan sudah menjadi rahasia umum dan juga diketahui oleh Majelis Kehormatan Notaris Ikatan Notaris Indonesia, antara lain adalah:

1.          Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris.

2.          Penandatangan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris.

3.          Membuat akta diluar wilayah jabatannya.

4.          Ketentuan mengenai pemasangan papan nama di depan atau di lingkungan kantor notaris.

5.          Persaingan tarif yang tidak sehat, dimana terdapat notaris yang memasang tarif yang sangat rendah atau sangat tinggi untuk mendapatkan klien.

6.          Melakukan publikasi atau promosi diri dengan mencantumkan nama dan jabatannya.

7.          Menggunakan jasa perantara seperti biro jasa dalam mencari klien

8.          Menahan berkas seseorang dengan maksud memaksa orang membuat akta kepada notaris yang menahan berkasnya.

9.          Mengirim minuta kepada klien untuk ditanda tangani oleh klien yang bersangkutan

10.       Membujuk klien membuat akta atau membujuk seseorang agar pindah dari notaris lain.

11.       Saling menjatuhkan antara notaris yang satu dengan yang lain.

Notohamidjojo menyatakan, dalam melaksanakan kewajibannya, profesional hukum perlu memiliki :[21]

a)          Sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara moral belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati nurani;

b)         Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat;

c)          Sikap patut, artinya meticari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara konkret

d)         Sikap jujur, artinya menyatakn sesuatu itu benar menurut apa adanya dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut

 

Karena pelayanan yang dilakukan notaris termasuk pada fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya notaris itu memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi, masyarakat pada umumnya, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap notaris. Sehubungan dengan nilai dan kepentingan yang terlibat didalamnya, maka notaris dalam melaksanakan jabatannya dijiwai sikap etis tertentu yaitu yang dijiwai etika profesi notaris.

Dengan demikian, maka kode etik notaris mengatur mengenai hal- hal yang harus ditaati oleh seorang notaris dalam menjalankan jabatannya dan juga di luar menjalankan jabatannya. Sebagai etika profesi, kode etik notaris yang merupakan sikap etis sebagai bagian integral dan  sikap hidup dalam menjalani profesi notaris, hanya notaris sendiri yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi notaris memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak.

B.             Pelaksanaan Sanksi Oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia

Ikatan Notaris Indonesia sebagai Organisasi Profesi dapat menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang Melanggar Kode Etik, dalam upaya untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan notaris, INI mempunyai kode etik notaris yang ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota INI. Dewan Kehormatan merupakan organ perlengkapan INI yang terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dari anggota INI, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, berakhlak mulia,  arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggotanya.

Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap kode etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangannya dan bertugas untuk:[22]

1.          Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik.

2.          Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggarann ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara Iangsung.

3.          Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris.

 

Dewan Kehormatan terbagi atas :

1.          Pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Daerah

2.          Pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Wilayah

3.          Pada tingkat terakhir oleh Dewan Kehormatan Pusat.

 

Pengurus Daerah I.N.I mempunyai Dewan Kehormatan Daerah pada setiap kepengurusan. Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia. Dewan Kehormatan Daerah terdiri dari 3 (tiga) orang anggota diantaranya, seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, dan seorang Sekretaris. Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Kehormatan Daerah adalah anggota biasa yang telah menjabat sebagai notaris sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan anggota luar biasa (mantan notaris), yang senantiasa mentaati peraturan perkumpulan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berdedikasi tinggi, berjasa dan loyal serta mempunyai rasa kepedulian yang tinggi kepada perkumpulan.[23]

Dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibannya Dewan Kehormatan Daerah berwenang untuk :[24]

1.          Memberikan dan menyampaikan usul dan saran yang ada hubungannya dengan kode etik dan pembinaan rasa kebersamaan profesi (corpsgeest) kepada Pengurus Daerah.

2.          Memberikan peringatan, baik secara tertulis maupun dengan lisan secara langsung kepada para anggota di daerah masing-masing yang melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kode etik atau bertentangan dengan rasa kebersamaan profesi.

3.          Memberitahukan tentang pelanggaran tersebut kepada Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat.

4.          Mengusulkan kepada Pengurus Pusat melalui Dewan Kehormatan Wilayah dan Dewan Kehormatan Pusat untuk pemberhentian sementara (schorsing) anggota perkumpulan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik.

 

Bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, Dewan Kehormatan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan dapat menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya, sanksi yang dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa:[25]

a.          Teguran

b.         Peringatan

c.          Schorzing (pemberhentian sementara) dari keanggotaan Perkumpulan

d.         Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan

e.          Pemberhentian dengan tidak hormat dari keangotaan Perkumpulan.

 

Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran  terhadap kode etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.[26]

Seorang anggota Ikatan Notaris Indonesia dapat diberhentikan sementara keanggotaannya oleh Pengurus Pusat atau usul Dewan Kehormatan Pusat, Dewan Kehormatan Wilayah atau Dewan Kehormatan Daerah melalui Dewan Kehormatan Pusat, karena melakukan salah satu atau lebih perbuatan di bawah ini :

a.          Melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, kode etik dan keputusan yang sah dari perkumpulan.

b.          Melakukan perbuatan yang mencemarkan, merugikan atau merendahkan nama baik perkumpulan.

c.          Menyalahgunakan nama perkurnpulan untuk kepentingan pribadi.[27]

 

Dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan perkumpulan tentunya tidak akan berdampak pada jabatan seorang notaris yang telah melakukan pelanggaran kode etik, misalnya seorang notaris diduga melakukan pelanggaran kode etik berupa perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan anggaran dasar, kode etik dan keputusan yang sah dari perkumpulan, kemudian notaris tersebut dijatuhi sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia, notaris tersebut masih tetap dapat membuat akta dan menjalankan jabatannya sebagai notaris, karena sanksi tersebut bukanlah berarti notaris tersebut diberhentikan dari jabatannya, karena hanya menteri yang berwenang untuk memecat notaris dari jabatannya dengan mendengarkan laporan dari Majelis Pengawas.


 

BAB III
PENUTUP

 

A.                 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa implementasi kode etik notaris dalam aktivitasnya sebagai pejabat umum dalam praktek kenotariatan antara lain adalah:

1.          Implementasi kode etik notaris dalam praktek kenotariatan ternyata banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris, pelanggaran tersebut sudah menjadi suatu hal yang biasa, sehingga pelanggaran tersebut seolah-olah tidak berpengaruh terhadap jabatannya.

2.          Pelanggaran terhadap Implementasi Kode Etik Notaris hanya berdampak terhadap kedudukan Notaris sebagai anggota Perkumpulan dan tidak berdampak terhadap kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum.

Adapun Pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi profesi terhadap Notaris yang melanggar kode etik, adalah :

a.          Teguran;

b.          Peringatan;

c.          Schorzing dari keanggotaan Perkumpulan

d.          Pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan

e.          Pemberhentian dengan tidak hormat dari anggota perkumpulan.

Sanksi tersebut di atas termasuk sanksi yang berdampak terhadap keanggotaan notaris dari perkumpulan bukanlah sanksi yang berdampak terhadap notaris sebagai pejabat umum, walaupun notaris telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai pejabat umum, sehingga sanksi bukan hanya terkesan kurang mempunyai daya mengikat, tetapi tidak berpengaruh terhadap notaris yang melakukan pelanggaran kode etik.

B.                 Saran

Kode etik notaris merupakan suatu kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan Keputusan Kongres Perkumpulan yang harus dihormati, dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas dan jabatan sebagai notaris.

Untuk lebih memberikan penekanan terhadap sanksi menurut penulis diperlukan ketegasan dan pengawasan dari Dewan Kehoramatan Notaris terhadap sanksi yang dijatuhkan, agar benar-benar mengikat dan dipatuhi oleh yang melanggar, juga perlu ada suatu Hukum Acara terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris yang dapat memberikan perlindungnan dan kepastian terhadap kepentingan umum.

Upaya lainnya adalah dengan memberikan rekomendasi dari INI kepada Menteri terkait perihal pelanggaran kode etik untuk dapat ditindaklanjuti dengan memberikan sanksi terhadap notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, sehingga keberadaan INI sebagai organisasi pengayom dengan Kode etiknya sebagai rambu- rambu, tidak hanya sekedar simbol belaka.


DAFTAR PUSTAKA

 

A.            Buku-Buku :

Adjie, H. 2009. Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ali, A. 2009. Menguak Teori (Legal Theory) dan Teori peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi UndangUndang( Legisprudence). Jakarta: Prenada Media Group.

Halim, A. 1987. Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kelsen, H. 1995. General Teori Of Law and State”, diterjamahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni. Bandung: Rimidi Press.

Najwan, J. 2010. Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum. Jurnal Ilmu Hukum Inovatif, Volume 2, Nomor 3, hlm. 24.

Nico. 2003. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Yogyakarta: Center for Documentation and Studies of Business Law.

Notohamidjojo. 1975. Soal-soal Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gunung Mulia.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia. 2008. Jati diri Notaris Indonesia, sekarang dan dimasa datang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Putro, W. 2011. Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing.

Shidarta. 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing.

Tedjosaputro, L. 1995. Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika.

Tedjosaputro, L. 2003. Etika Profesi dan Profesi Hukum. Semarang: Aneka Ilmu.

Tobing, G. 1992. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga.

Tobing, G. 2003. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga.

Tunggal, H. 2006. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris. Jakarta: Harvarindo.

Wignjosoebroto, S. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam & Huma.

B.             Peraturan / Perundang-undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia No.  30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris.

Indonesia Legal Center Publising, 2009. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan;Jabatan Notaris dan PPAT, CV.Karya Gemilang , Jakarta.

Peraturan Jabatan Notaris

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata)



[1] Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia ”Jati diri Notaris Indonesia dulu, sekarang, dan di masa datang” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.2008. Hlm. 40.

[2] G.H.S Lumbun Tobing, “Peraturan Jabatan Notaris” Erlangga, Jakarta.1992. Hlm.15.

[3] Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, 2003.

[4] Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, PT. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta, 1995, hlm. 4.

[5] Achmad Ali, 2009, Menguak Teori (Legal Theory) dan Teori peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi UndangUndang( Legisprudence), Prenada Media Group, Jakarta, hal. 292

[6] Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing: Yogyakarta, 2013, hlm. 123

[7] Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum,Genta Publishing: Yogyakarta, 2011, hlm. 11

[8] Johni Najwan, “Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum”, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif, Volume 2, Nomor 3, 2010, hlm. 24

[9] Hans Kelsen, “General Teori Of Law and State, diterjamahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, Rimidi Press: Bandung, 1995, hlm. 115

[10] A. Ridwan Halim, Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1987, hlm. 166

[11] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma: Jakarta, 2002, hlm. 96

[12] G.H.S Lumbun Tobing, “Peraturan Jabatan Notaris” Erlangga, Jakarta.2003.

[13] Habib Adjie,’’Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia ”Citra Aditya Bakti, Bandung 2009.

[14] Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, Hlm. 84

[15] G.H.S Lumbun Tobing, ibid. Hlm. 38.

[16] Pengurus  Pusat  Ikatan  Notaris  Indonesia”Jati  diri  Notaris  Indonesia,  sekarang  dan  dimasa datang” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2008.

[17] Liliana Tedjosaputro, ” Etika Profesi dan Profesi Hukum”, Aneka Ilmu, Semarang 2003

[18] Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Gunung Mulia, Jakarta, 1975, Hlm. 20

[19] Habib Adjie,’’Hukum Notaris Indonesia”Lo.cit

[20] Hadi Setia Tunggal, ’’Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris” Harvarindo,Jakarta. 2006. Lo.cit.

[21] Notohamidjojo, Op.Cit, Hlm. 29

[22] Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia, Hasil Kongres Luar Biasa Bandung tanggal 27 Januari 2005,

[23] Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia, ibid.

[24] Ibid.

[25] Hadi Setia Tunggal ”Peraturan Pelaksanaan Undang-undang jabatan Notaris” Harvarindo, Jakarta. 2006. Hlm.  306.

[26] Hadi Setia Tunggal, Ibid.

[27] Hadi Tunggal setia, ” Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris”, Harvarindo, Jakarta 2006.

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.