MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

MAKALAH TUJUAN DIBENTUKNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

 BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dasarnya,  penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal ini terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang menguntungkan dirinya tetapi merugikan orang lain.

Hubungannya dengan hal tersebut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.

Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu.

Tanah merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup manusia bukan saja berfungsi sebagai tempat berdiam, mendirikan rumah, tempat berusaha atau tempat dimana jasad mereka dikubur, tetapi juga merupakan sumber kekuasaan dan jaminan hidup bagi suatu bangsa. Seperti diketahui Indonesia merupakan Negara agraris dimana tanah sangat menentukan bagi kelangsungan hidup rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 3 berbunyi: “Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh Negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh Wilayah Republik indonesia menurut UUPA yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah melalui penyerahan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya.[1]

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 yaitu peraturan yang mengatur tentang pendaftaran tanah. Namun PP Nomor 24 Tahun 1997 itu sendiri merupakan PP pengganti dari PP Nomor 10 Tahun 1961. dalam hal ini PP Nomor 10 tahun 1961 dianggap tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1.         Apa definisi dari pendaftaran tanah?

2.         Apa tujuan dari pendaftaran tanah?

3.         Apa tujuan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997?

C.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1.         Untuk mengetahui definisi dari pendaftaran tanah.

2.         Untuk mengetahui tujuan dari pendaftaran tanah.

3.         Untuk mengetahui tujuan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Pendaftaran Tanah

Pendaftaran berasal dari kata cadastre (inggris), kadaster (belanda), suatu istilah tehnis untuk suatu rekaman (record), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Dalam bahasa latin disebut capistrum yang berarti suatu registrasi atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens), dalam artian yang tegas cadastre adalah record atau rekaman dari lahan-lahan. Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan juga sebagai continents recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak-hak atas tanah.

Dahulu pendaftaran tanah disebut “kadaster” yang berasal dari bahasa latin “conpistarium” yang berarti suatu daftar umum mengenai nilai serta sifat dari benda-benda tetap. Selain dapat pula dirumuskan sebagai berikut:

1.    Tugas (fungsi) tertentu yang harus diselenggarakan oleh pemerintah yaitu suatu pembukuan mengenai pemilikan tanah yang diselenggarakan dengan daftar-daftar dan peta-peta yang dibuat dengan mempergunakan ilmu ukur tanah.

2.    Badan (organ) pemerintah yang harus menjalankan tugas tertentu yaitu dengan peta-peta dan daftar-daftar memberikan uraian tentang semua bidang tanah yang terletak dalam suatu wilayah negara.

Ada juga kadaster dengan kekuatan bukti yang dengan peta-peta yang membuktikan batas-batas bidang tanah yang ditetapkan didalamnya sebagai batas yang sah menurut hukum. Suatu kadaster dikatakan mempunyai kekuatan bukti yang tetap apabila dipenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

1.      Batas-batas yang diukur dan dipetakan pada peta-peta kadaster itu adalah batas-batas yang sebenarnya (penetapan batas berdasarkan kontradiktur deliminasi).

2.      Batas-batas yang telah diukur dan dipetakan pada peta-peta kadaster harus dapat ditetapkan kembali di lapangan sesuai dengan keadaannya pada waktu batas-batas itu diukur.

Dalam hukum adat sendiri sebelumnya lembaga pendaftaran tanah ini tidak dikenal, keberadaan lembaga pendaftaran ini dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang sudah berubah situasi dan kebutuhannya. Hak-hak atas tanah dibukukan dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai tanda bukti pemilikan tanahnya. Pemindahan hak, seperti jual beli, tukar menukar dan hibah yang telah selesai dilakukan, diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.[2]

Hal itu dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya daripada akta PPAT, yang telah membuktikan terjadinya pemindahan hak yang dilakukan. Disebutkan pula dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah: rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, yang berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Menurut Pasal 2 pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.[3]

B.     Tujuan Pendaftaran Tanah

Tujuan semula dari pada diadakannya pendaftaran tanah ini adalah untuk kepentingan pemungutan pajak akan tetapi kemudian ditujukan juga guna kepastian hak atas tanah. Adanya suatu pendaftaran tanah yang efektif akan memungkinkan barang siapapun untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dimilikinya dan mengetahui hal-hal yang perlu diketahui mengenai tanah yang dihadapinya.

Dalam praktek sekarang adanya pendaftaran hak atas tanah justru menimbulkan keadaan yang sebaliknya karena dari berbagai akses yang terjadi walaupun haknya sudah didaftarkan dirasakan belum adanya kepastian hak atas tanah karena masih sering terjadinya gugatan dari pihak ketiga yang juga mendalilkan bahwa ia juga berhak atas tanah yang sama, kejadian yang demikian sudah sering terjadi dalam praktek pengadilan dan dapat menimbulkan kesan yang negatif terhadap program pendaftaran tanah itu sendiri. Dan yang lebih parah lagi adalah timbulnya dua atau lebih sertifikat tanah bukti hak atas tanah yang sama, sehingga timbul suatu penilaian bahwa pendaftaran hak atas tanah yang dilaksanakan selama ini tidak menimbulkan kepastian hukum akan tetapi justru yang timbul adalah kekacauan hukum.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c.       Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.[4]

D.    Tujuan Diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997

Pada awalnya pelaksanaan pendaftaran tanah diadakan menurut ketentuan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam perjalanan waktu keberadaan PP ini dianggap belum maksimal karena ada beberapa kendala diantaranya keterbatasan dana dan tenaga sehingga penguasaan tanah-tanah sebagian besar tidak didukung oleh alat pembuktian yang memadai. Selain itu PP ini belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dengan waktu yang singkat dan hasil yang memuaskan. Karena tidak ada batas waktu dalam mendaftarkan tanah yang diperoleh setelah peralihan hak, selain itu yang mendaftar tidak harus Pejabat Pembuat Akta Tanah tetapi bisa juga pemilik baru dari hak atas tanah sehingga seringkali tanahnya tidak didaftarkan. Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini dikeluarkanlah peraturan mengenai pendaftaran tanah yang baru untuk lebih menyempurnakan peraturan pendaftaran tanah sebelumnya, yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Kepastian hukum data kepemilikan tanah akan dicapai apabila telah dilakukan Pendaftaran Tanah, karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Baik kepastian mengenai subjeknya (yaitu apa haknya, siapa pemiliknya, ada/tidak beban diatasnya) dan kepastian mengenai objeknya yaitu letaknya, batas-batasnya dan luasnya, serta ada/tidak bangunan/tanaman diatasnya.[5]

PP Nomor 24 Tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan sistem yang digunakan dalam Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sehingga banyak terdapat tambahan, hal ini terlihat dari jumlah pasal yang lebih banyak dan isi PP tersebut yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan tanah. Adapun perbedaan antara PP Nomor 10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sebagai berikut :[6]

1.    Ketentuan Umum

Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, Aturan Umum terdiri dari dua pasal tentang penyelenggaraan pendaftaran tanah. Yang mana penyelenggaraannya itu sendiri dilaksanakan desa demi desa (Pasal 1) dan menteri agraria menetapkan saat mulai diselenggarakannya pendaftaran tanah (Pasal 2).

Sementara dalam PP Nomor 24 tahun 1997, hanya terdapat satu pasal namun terdiri dari dua puluh empat butir. Dalam kedua puluh empat butir ini, dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah bertolak dari UUPA Tahun 1960 dan pokok-pokok dari PP Nomor 10 Tahun 1961. dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah itu sendiri tidak jauh berbeda dari PP Nomor 10 Tahun 1961, yaitu dari desa/kelurahan demi desa/kelurahan. Tetapi lebih dilengkapi dengan penjelasan tentang tanah Negara serta data fisik dan data yuridis tanah tersebut.

2.      Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah

Dalam bab ini, terdapat perbedaan antara PP Nomor 10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. pada PP Nomor 10 Tahun 1961 bab dua mengatur tentang Pengukuran, Pemetaan dan Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah, sedangkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 bab dua mengatur tentang Azas dan Tujuan. Dalam hal ini pada PP Nomor 24 Tahun 1997 Penyelenggaraan Pendaftaran tanah dibahas di Bab III. Perbandingan antara Penyelenggaraaan Pendaftaran tanah pada kedua PP tersebut adalah pada PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah lebih diperjelas. Baik dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta obyek pendafataran tanah dibahas secara detail. Begitu juga susunan panitia Adjukasi.

3.      Pendaftaran Tanah Untuk pertama kali

Dalam hal perbandingan tentang pendafataran tanah untuk pertama kali dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 menitik beratkan pada tahapan-tahapan dimulainya pendaftaran tanah yang dijelaskan secara detail tahapan pertahapan. Sementara dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 mengenai pendaftaran tanah untuk pertama kalinya kurang dijelaskan bahkan tidak disebutkan. Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 ini hanya menyinggung tentang pendaftaran hak, peralihan dan pencabutan hak atas tanah di buku tanah, yang disusun dalam beberapa bagian.

4.      Pemeliharaan Data Pendaftaran tanah

Dalam bagian Pemeliharaan data pendaftaran tanah, dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan beberapa bagian proses pemerliharaan data. Menjelaskan secara menyeluruh proses peralihan dan pembebanan hak serta cara-cara pemindahan hak seperti pemindahan hak dengan cara lelang. Sedangkan dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 pemeliharaan data pendaftaran tanah dijelaskan hampir sama dengan penjelasan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, namun dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 ada beberapa penyempurnaan.

5.      Penerbitan Sertifikat

Pada bagian penerbitan sertifikat, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara PP Nomor 10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. yang mana dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 disebutkan penerbitan sertifikat baru sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan penerbitan sertifikat pengganti. Jelaskan karena perbedaan yang mencolok ini isi dari bagian ini pastinya sangat berbeda jauh, yang mana dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 jangka waktu pemberian dan penerbitan sertifikat baru. Sementara PP Nomor 24 Tahun 1997, dijelaskan tentang penggantian sertifikat rusak ataupun hilang. Dalam hal jangka waktu penerbitan tidak jauh berbeda, hanya masalah pengurusannya yang berbeda.

6.      Biaya Pendaftaran

Menyinggung tentang biaya pendaftaran, dalam PP Nomor 10 Tahun 1861 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 ada sedikit perbedaan. Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 masalah biaya pendaftaran tanah dijelaskan secara detail mengenai penetapan-penetapan yang harus dibayar walaupun jumlah nominalnya tidak disebutkan. Sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 masalah biaya pendaftaran tanah tidak dibuat sedetail seperti dalam PP Nomor 10 Tahun 1961. tetapi dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 ini disebutkan tata cara dan biaya pendaftaran tanah diatur oleh menteri.

7.      Sanksi

Perbandingan antara PP Nomor 10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, sangat berbeda. Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, sanksi itu diberikan kepada kealpaan dari ahli waris dan pejabat desa yang mengurus masalah pendaftaran tanah tersebut. serta dijelaskan juga tentang denda-denda yang harus dibayarkan. Sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 sanksi diberikan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Serta pejabat kantor pertanahan yang terlibat didalamnya.

8.      Ketentuan-ketentuan

Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 ketentuan yang dibahas adalah ketentua-ketentuan lain yang berisi tentang pejabat jawatan Agraria yang dilakukan oleh menteri agrarian. Sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, terdapat dua bab yang memuat ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari keseluruhan penjelasan diatas kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu:

1.      Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, yang berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

2.      Tujuan pendaftaran tanah dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:

a.       Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c.       Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

3.      Tujuan dibentuknya yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah untuk menyempurnakan PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah dalam hal memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan tanah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku

Chandra, S, 2005, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jakarta: Grasindo.

Harsono, B, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Limbong, B, 2014, Politik Pertanahan, Jakarta : Margaretha Pustaka.

 

B.     Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

 

C.    Sumber Lain

https://agusthutabarat.wordpress.com/2009/01/07/membandingkan-substansi-pp-no-10-tahun-1961-dengan-pp-no-24-tahun-1997/



[1] S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2005, hlm.1.

[2] Limbong, Bernhard, Politik Pertanahan, penerbit Margaretha Pustaka, Jakarta, 2014, hlm 392-393.

[3] Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, penerbit Djambatan Jakarta, 2008, hlm 471.

[4] Limbong, Bernhard, Politik Pertanahan, Penerbit Margaretha Pustaka, Jakarta, 2014, hlm 394-395.

[5] S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2005, hlm.1.

[6] Lamasi, 2009, “Membandingkan Substansi PP No. 10 Tahun 1961 dengan PP No. 24 Tahun 1997”, https://agusthutabarat.wordpress.com/2009/01/07/membandingkan-substansi-pp-no-10-tahun-1961-dengan-pp-no-24-tahun-1997/ (diakses pada 22 april 2020)

 

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.