MAKALAH TUJUAN DIBENTUKNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal ini
terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi apabila
kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan pemaksaan
maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang
menguntungkan dirinya tetapi merugikan orang lain.
Hubungannya dengan hal tersebut di atas, maka
sesungguhnya perlu dipahami akan makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan
kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi
masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum
positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem
hukumnya sendiri.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa
ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan
dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori
dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak
bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan
disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu.
Tanah merupakan faktor penting untuk
kelangsungan hidup manusia bukan saja berfungsi sebagai tempat berdiam, mendirikan
rumah, tempat berusaha atau tempat dimana jasad mereka dikubur, tetapi juga
merupakan sumber kekuasaan dan jaminan hidup bagi suatu bangsa. Seperti diketahui
Indonesia merupakan Negara agraris dimana tanah sangat menentukan bagi
kelangsungan hidup rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 3 berbunyi: “Bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh Negara dan
diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Tanah merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari Negara maka menjadi
kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh Wilayah
Republik indonesia menurut UUPA yang individualistik komunalistik religius,
selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah
melalui penyerahan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi
pemegangnya.[1]
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 yaitu
peraturan yang mengatur tentang
pendaftaran tanah. Namun PP Nomor 24 Tahun 1997 itu sendiri merupakan PP pengganti dari PP Nomor 10 Tahun
1961. dalam hal ini PP Nomor 10 tahun 1961 dianggap tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung
tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa definisi dari pendaftaran tanah?
2.
Apa tujuan dari pendaftaran tanah?
3.
Apa tujuan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui definisi dari pendaftaran tanah.
2.
Untuk mengetahui tujuan dari pendaftaran tanah.
3.
Untuk mengetahui tujuan dibentuknya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Pendaftaran Tanah
Pendaftaran
berasal dari kata cadastre (inggris), kadaster (belanda), suatu istilah tehnis
untuk suatu rekaman (record), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan
(atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Dalam bahasa latin
disebut capistrum yang berarti suatu registrasi atau capita atau unit yang
diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens), dalam artian yang tegas
cadastre adalah record atau rekaman dari lahan-lahan. Cadastre merupakan alat
yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan juga
sebagai continents recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak-hak atas
tanah.
Dahulu
pendaftaran tanah disebut “kadaster” yang berasal dari bahasa latin
“conpistarium” yang berarti suatu daftar umum mengenai nilai serta sifat dari
benda-benda tetap. Selain dapat pula dirumuskan sebagai berikut:
1.
Tugas (fungsi) tertentu yang harus diselenggarakan
oleh pemerintah yaitu suatu pembukuan mengenai pemilikan tanah yang
diselenggarakan dengan daftar-daftar dan peta-peta yang dibuat dengan
mempergunakan ilmu ukur tanah.
2.
Badan (organ) pemerintah yang harus menjalankan tugas
tertentu yaitu dengan peta-peta dan daftar-daftar memberikan uraian tentang
semua bidang tanah yang terletak dalam suatu wilayah negara.
Ada
juga kadaster dengan kekuatan bukti yang dengan peta-peta yang membuktikan
batas-batas bidang tanah yang ditetapkan didalamnya sebagai batas yang sah
menurut hukum. Suatu kadaster dikatakan mempunyai kekuatan bukti yang tetap
apabila dipenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1.
Batas-batas yang diukur dan dipetakan pada peta-peta
kadaster itu adalah batas-batas yang sebenarnya (penetapan batas berdasarkan
kontradiktur deliminasi).
2.
Batas-batas yang telah diukur dan dipetakan pada
peta-peta kadaster harus dapat ditetapkan kembali di lapangan sesuai dengan
keadaannya pada waktu batas-batas itu diukur.
Dalam
hukum adat sendiri sebelumnya lembaga pendaftaran tanah ini tidak dikenal,
keberadaan lembaga pendaftaran ini dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat yang sudah berubah situasi dan kebutuhannya. Hak-hak atas tanah
dibukukan dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai tanda bukti pemilikan
tanahnya. Pemindahan hak, seperti jual beli, tukar menukar dan hibah yang telah
selesai dilakukan, diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.[2]
Hal
itu dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya
pembuktiannya daripada akta PPAT, yang telah membuktikan terjadinya pemindahan
hak yang dilakukan. Disebutkan pula dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah: rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, yang
berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Menurut Pasal 2
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir dan terbuka.[3]
B.
Tujuan Pendaftaran Tanah
Tujuan
semula dari pada diadakannya pendaftaran tanah ini adalah untuk kepentingan
pemungutan pajak akan tetapi kemudian ditujukan juga guna kepastian hak atas
tanah. Adanya suatu pendaftaran tanah yang efektif akan memungkinkan barang
siapapun untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dimilikinya dan
mengetahui hal-hal yang perlu diketahui mengenai tanah yang dihadapinya.
Dalam
praktek sekarang adanya pendaftaran hak atas tanah justru menimbulkan keadaan
yang sebaliknya karena dari berbagai akses yang terjadi walaupun haknya sudah
didaftarkan dirasakan belum adanya kepastian hak atas tanah karena masih sering
terjadinya gugatan dari pihak ketiga yang juga mendalilkan bahwa ia juga berhak
atas tanah yang sama, kejadian yang demikian sudah sering terjadi dalam praktek
pengadilan dan dapat menimbulkan kesan yang negatif terhadap program
pendaftaran tanah itu sendiri. Dan yang lebih parah lagi adalah timbulnya dua
atau lebih sertifikat tanah bukti hak atas tanah yang sama, sehingga timbul
suatu penilaian bahwa pendaftaran hak atas tanah yang dilaksanakan selama ini
tidak menimbulkan kepastian hukum akan tetapi justru yang timbul adalah
kekacauan hukum.
Berdasarkan
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari
pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan
hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
b.
Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c.
Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.[4]
D.
Tujuan Diterbitkannya Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 1997
Pada
awalnya pelaksanaan pendaftaran tanah diadakan menurut ketentuan ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran
Tanah. Namun dalam perjalanan waktu keberadaan PP ini dianggap belum maksimal
karena ada beberapa kendala diantaranya keterbatasan dana dan tenaga sehingga
penguasaan tanah-tanah sebagian besar tidak didukung oleh alat pembuktian yang
memadai. Selain itu PP ini belum cukup memberikan kemungkinan untuk
terlaksananya pendaftaran tanah dengan waktu yang singkat dan hasil yang
memuaskan. Karena tidak ada batas waktu dalam mendaftarkan tanah yang diperoleh
setelah peralihan hak, selain itu yang mendaftar tidak harus Pejabat Pembuat
Akta Tanah tetapi bisa juga pemilik baru dari hak atas tanah sehingga seringkali
tanahnya tidak didaftarkan. Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini dikeluarkanlah
peraturan mengenai pendaftaran tanah yang baru untuk lebih menyempurnakan
peraturan pendaftaran tanah sebelumnya, yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
Kepastian
hukum data kepemilikan tanah akan dicapai apabila telah dilakukan Pendaftaran
Tanah, karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Baik kepastian
mengenai subjeknya (yaitu apa haknya, siapa pemiliknya, ada/tidak beban
diatasnya) dan kepastian mengenai objeknya yaitu letaknya, batas-batasnya dan
luasnya, serta ada/tidak bangunan/tanaman diatasnya.[5]
PP
Nomor 24 Tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan sistem yang digunakan dalam
Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan
penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sehingga banyak terdapat tambahan, hal
ini terlihat dari jumlah pasal yang lebih banyak dan isi PP tersebut yang lebih
memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan tanah. Adapun perbedaan
antara PP Nomor 10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sebagai
berikut :[6]
1.
Ketentuan Umum
Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, Aturan Umum terdiri
dari dua pasal tentang penyelenggaraan pendaftaran tanah. Yang mana
penyelenggaraannya itu sendiri dilaksanakan desa demi desa (Pasal 1) dan menteri
agraria menetapkan saat mulai diselenggarakannya pendaftaran tanah (Pasal 2).
Sementara dalam PP Nomor 24 tahun 1997, hanya
terdapat satu pasal namun terdiri dari dua puluh empat butir. Dalam kedua puluh
empat butir ini, dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah bertolak dari UUPA Tahun
1960 dan pokok-pokok dari PP Nomor 10 Tahun 1961. dalam penyelenggaraan
pendaftaran tanah itu sendiri tidak jauh berbeda dari PP Nomor 10 Tahun 1961,
yaitu dari desa/kelurahan demi desa/kelurahan. Tetapi lebih dilengkapi dengan
penjelasan tentang tanah Negara serta data fisik dan data yuridis tanah
tersebut.
2. Penyelenggaraan
Pendaftaran Tanah
Dalam bab ini, terdapat perbedaan antara PP Nomor
10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. pada PP Nomor 10 Tahun 1961 bab
dua mengatur tentang Pengukuran, Pemetaan dan Penyelenggaraan Tata Usaha
Pendaftaran Tanah, sedangkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 bab dua mengatur
tentang Azas dan Tujuan. Dalam hal ini pada PP Nomor 24 Tahun 1997
Penyelenggaraan Pendaftaran tanah dibahas di Bab III. Perbandingan antara
Penyelenggaraaan Pendaftaran tanah pada kedua PP tersebut adalah pada PP Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah lebih diperjelas. Baik dalam
penyelenggaraan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta obyek pendafataran
tanah dibahas secara detail. Begitu juga susunan panitia Adjukasi.
3. Pendaftaran
Tanah Untuk pertama kali
Dalam hal perbandingan tentang pendafataran tanah
untuk pertama kali dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 menitik beratkan pada
tahapan-tahapan dimulainya pendaftaran tanah yang dijelaskan secara detail
tahapan pertahapan. Sementara dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 mengenai pendaftaran
tanah untuk pertama kalinya kurang dijelaskan bahkan tidak disebutkan. Dalam PP
Nomor 10 Tahun 1961 ini hanya menyinggung tentang pendaftaran hak, peralihan
dan pencabutan hak atas tanah di buku tanah, yang disusun dalam beberapa
bagian.
4. Pemeliharaan
Data Pendaftaran tanah
Dalam bagian Pemeliharaan data pendaftaran tanah,
dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan beberapa bagian proses pemerliharaan
data. Menjelaskan secara menyeluruh proses peralihan dan pembebanan hak serta
cara-cara pemindahan hak seperti pemindahan hak dengan cara lelang. Sedangkan
dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 pemeliharaan data pendaftaran tanah dijelaskan
hampir sama dengan penjelasan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, namun dalam PP Nomor
24 Tahun 1997 ada beberapa penyempurnaan.
5. Penerbitan
Sertifikat
Pada bagian penerbitan sertifikat, terdapat
perbedaan yang cukup mencolok antara PP Nomor 10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun
1997. yang mana dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 disebutkan penerbitan sertifikat
baru sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan penerbitan sertifikat
pengganti. Jelaskan karena perbedaan yang mencolok ini isi dari bagian ini
pastinya sangat berbeda jauh, yang mana dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 jangka
waktu pemberian dan penerbitan sertifikat baru. Sementara PP Nomor 24 Tahun
1997, dijelaskan tentang penggantian sertifikat rusak ataupun hilang. Dalam hal
jangka waktu penerbitan tidak jauh berbeda, hanya masalah pengurusannya yang
berbeda.
6. Biaya Pendaftaran
Menyinggung tentang biaya pendaftaran, dalam PP Nomor
10 Tahun 1861 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 ada sedikit perbedaan. Dalam PP Nomor
10 Tahun 1961 masalah biaya pendaftaran tanah dijelaskan secara detail mengenai
penetapan-penetapan yang harus dibayar walaupun jumlah nominalnya tidak
disebutkan. Sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 masalah biaya pendaftaran
tanah tidak dibuat sedetail seperti dalam PP Nomor 10 Tahun 1961. tetapi dalam
PP Nomor 24 Tahun 1997 ini disebutkan tata cara dan biaya pendaftaran tanah
diatur oleh menteri.
7. Sanksi
Perbandingan antara PP Nomor 10 Tahun 1961 dengan
PP Nomor 24 Tahun 1997, sangat berbeda. Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, sanksi
itu diberikan kepada kealpaan dari ahli waris dan pejabat desa yang mengurus
masalah pendaftaran tanah tersebut. serta dijelaskan juga tentang denda-denda
yang harus dibayarkan. Sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 sanksi diberikan
kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Serta pejabat kantor pertanahan yang
terlibat didalamnya.
8. Ketentuan-ketentuan
Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 ketentuan yang dibahas
adalah ketentua-ketentuan lain yang berisi tentang pejabat jawatan Agraria yang
dilakukan oleh menteri agrarian. Sementara dalam PP Nomor 24 Tahun 1997,
terdapat dua bab yang memuat ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari keseluruhan penjelasan diatas kita
dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, yang berkesinambungan dan
teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
2.
Tujuan pendaftaran tanah dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah
adalah sebagai berikut:
a.
Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan
hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
b.
Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c.
Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
3.
Tujuan dibentuknya yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah adalah untuk menyempurnakan PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah dalam hal memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal
kepemilikan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Chandra, S, 2005, Sertifikat
Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jakarta: Grasindo.
Harsono, B, 2008, Hukum Agraria Indonesia,
Jakarta: Djambatan.
Limbong, B, 2014, Politik Pertanahan, Jakarta :
Margaretha Pustaka.
B. Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
10 Tahun
1961
tentang pendaftaran tanah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
24 Tahun
1997 tentang pendaftaran tanah.
C. Sumber Lain
[1] S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Penerbit
Grasindo, Jakarta, 2005, hlm.1.
[2] Limbong, Bernhard, Politik Pertanahan,
penerbit Margaretha Pustaka, Jakarta, 2014, hlm 392-393.
[3] Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia,
penerbit Djambatan Jakarta, 2008, hlm 471.
[4] Limbong, Bernhard,
Politik Pertanahan, Penerbit Margaretha Pustaka, Jakarta, 2014, hlm 394-395.
[5] S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Penerbit Grasindo,
Jakarta, 2005, hlm.1.
[6] Lamasi, 2009, “Membandingkan Substansi
PP No. 10 Tahun 1961 dengan PP No. 24 Tahun 1997”, https://agusthutabarat.wordpress.com/2009/01/07/membandingkan-substansi-pp-no-10-tahun-1961-dengan-pp-no-24-tahun-1997/
(diakses pada 22 april 2020)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar