KEDUDUKAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA OTENTIK DAN SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun
langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi
tugas dari mata kuliah Teori dan Penemuan Hukum pada
Program Studi Magister (S2) Kenotariatan dengan ini penulis mengangkat
judul “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Otentik Dan
Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah”.
Dalam penulisan makalah ini,
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari
cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semarang, 29 April 2020
Penulis
DAFTAR ISI
A... Latar
Belakang Masalah... 1
A... Negara
Hukum dan Jabatan Notaris.. 4
B.... Notaris
Sebagai Pejabat Negara... 8
C.... Notaris
Sebagai Pembuat Akta Otentik... 9
D... Notaris
Sebagai Pembuat Akta Tanah... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kepastian hukum adalah merupakan salah satu tujuan utama di dalam
konsep negara hukum selain adanya tujuan lain yaitu untuk terciptanya
ketertiban hukum maupun ketertiban masyarakat.[1]
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1
Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia harus didasarkan kepada hukum, bukan kepada kekuasaan. Kepastian
hukum dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam
mempertahankan hak-haknya. Hak-hak dimaksud adalah hak-hak yang sempurna yaitu
hak-hak yang cakupannya jelas, tetap dan tertentu, yang ditandai dengan
pemenuhan kewajiban yang sempurna.[2]
Sejak bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan dilakukannya
amandemen UUD RI 1945 sampai 4(empat) kali, perubahan sistem pemerintahan dari
sistem parlementer menjadi sistem presidensil, terciptanya pemerintahan yang
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta pentingnya pemberdayaan
rakyat daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah, adalah merupakan tuntutan-tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998.[3]
Berkenaan dengan itu, sebagai upaya pemberdayaan daerah-daerah
diseluruh Indonesia dalam rangkan percepatan dan pemerataan pembangunan
dilakukan melalui program otonomi daerah (desentralisasi), yang ditandai dengan
ditetapkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang diubah dengan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, disempurnakan dengan UU No. 12
Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya dalam rangka menyempurnakan
ketentuan tentang pemeriuntah daerah, ditetapkan ketentuan baru yaitu dengan
ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, dan yang terakhir
diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Berkenaan dengan perkembangan hukum di Indonesia
khususnya di daerah-daerah, kiranya perlindungan hukum dirasa sangatlah penting
dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat , antara lain di
bidang hukum privat (perdata) yang telah melahirkan ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang pentingnya proses legalisasi/pengesahan atas setiap
transaksi-transaksi antar masyarakat. Legalisasi/pengesahan dimaksud dilakukan
oleh pejabat negara, atau masyarakat yang ditetapkan sebagai pejabat negara
yang semuanya diatur oleh Undang-Undang.
Dalam sejarah hukum privat/perdata legalisasi/pengesahan dilakukan
oleh pejabat umum yang dituangkan ke dalam akta otentik[4]
yang merupakan penyempurnaan dari kesepakatan-kesepakatan yang telah dilakukan
oleh masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebagai
ketentuan yang bersifat umum yang mengatur tentang pentingnya akta otentik,
dalam Pasal 1868 KUHPerdata dijelaskan bahwa : “Suatu akta otentik ialah suatu akta
yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
dibuatnya”.
Ketentuan-ketentuan umum yang mengatur tentang bagaimana
pentingnya akta otentik dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan diantaranya
sebagai berikut : Pasal 147 KUHPerdata yang berbunyi “Atas ancaman kebatalan,
setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaries sebelum
perkawinan berlangsung. Dan selanjutnya”. Pasal 613 KUHPerdata yang berbunyi
“Penyerahan akan hutang piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya,
dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan
mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Dan seterusnya”.
Pasal 1171KUHPerdata yang berbunyi “Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu
akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh
undang-undang. Begitu pula kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan
suatu akta otentik. Dan seterusnya”. Pasal 1869 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu
akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris - ahli warisnya
atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat di dalamnya. Pasal 1871 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu
akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang
termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka selain sekadar apa yang
dituturkan itu hubungan langsung dengan pokok isi akta. Pasal 1682 KUHPerdata
yang berbunyi “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687
KUHPerdata, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selain dengan suatu akta
notaries, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.[5]
Sementara itu ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat berkaitan dengan
legalisali/pengesahan atas transaksi-transaksi yang dilakukan oleh masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan
yang akan dibahas adalah bagaimana kedudukan notaris
sebagai pejabat pembuat akta otentik dan sebagai pejabat pembuat akta tanah menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, serta ketentuan tentang tugas dan fungsi sebagai
pejabat pembuat akta tanah diatur dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang pejabat
pembuat akta tanah (PPAT).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Negara Hukum dan Jabatan Notaris
Cita-cita luhur dibentuknya Negara Republik Indonesia adalah
negara yang didasarkan kepada hukum, sebagaimana yang ditetapkan dalan
ketentuan Pasal 1 Ayat 3 UUD RI Tahun 1945. Negara hukum sebagai Nachtwaker staat atau Nachtwachter staat (“Negara Jaga Malam”)
yang tugasnya menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep negara hukum
Kant dinamakan negara hukum liberal.[6]
F.J. Stachl menandai konsep negara hukum dengan empat unsure pokok yaitu : (1)
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia; (2) negara
didasarkan kepada teori trias politika; (3) pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan undang-undang (wetmatig
bestur); dan (4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Sebagai kelanjutan dari ketentuan Pasal 1 ayat 3 tentang Negara
Hukum (Rechtstaat) sudah tentu merupakan cita-cita yang luhur sebagaimana yang
sebutkan dalam Sila Pancasila yang ke 5 (lima) yaitu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, yaitu sebagai bentuk cita-cita Negara Kesejahteraan. Welfare state, adalah suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada Negara
(pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga
dan berkesinambungan. Welfare state
meyakini bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediaakan warga negaranya
akan standar hidup yang layak. Karena setiap negara memiliki standar yang
berbeda-beda, berhubungan langsung dengan batas kemampuan negara.[7]
Padmo Wahyono menelaah konsep negara hukum Pancasila dengan bertitik pangkal
kepada azas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam azas kekeluargaan
yang diutamakan adalah rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap
dihargai. Bahwa yang penting adalah kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran
orang seorang, namun orang seorang berusaha sejauh tidak mengenai hajat hidup
orang banyak.[8]
Selanjutnya berkaitan dengan cita-cita dari Sila ke 5 (lima) dari
Pancasila. Hans Kelsen menjelaskan bahwa “adil” adalah tatanan yang memberikan
kebahagiaan kepada setiap orang. Sementara menurut pengertian aslinya yang
sempit “kebahagiaan perorangan” diartikan sebagai apa yang menurutnya memang
demikian.[9]
Walaupun pada suatu saat tidak dapat dipungkiri bahwa kebahagiaan seseorang,
akan bertentangan secara langsung dengan kebahagiaan orang lain. Jadi, tidak
mungkin ada suatu tatanan yang adil meskipun atas dasar anggapan bahwa tatanan
ini berusaha menciptakan bukan kebahagiaan setiap orang perorang, melainkan
kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu.[10]
Keadilan di dalam referensi hukum pada umumnya dibagi ke dalam dua bagian
pengertian yaitu : (1) keadilan hukum (legal
justice) yaitu keadilan yang ukuran serta batasannya telah ditetapkan oleh
pembuat undang-undang; dan (2) keadilan masyarakat (social justice) yaitu keadilan yang ukuran serta batasannya
diputuskan oleh masyarakat.
Implementasi negara hukum yang berkeadilan hanya akan dicapai jika
hukum yang berlaku di Indonesia dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Secara etimologi (tata bahasa) kepastian berasal dari bahasa Inggris “certain” yang berarti pasti, atau “certainty” yang berarti kepastian.[11]
Dalam referensi hukum berkaitan
derngan istilah kepastian
hukum sering digunakan dengan istilah “certainty law”. Certainty is something that certain : a fact about there is no doubt.[12] Kepastian adalah suatu hal yang sangat
dinantikan oleh semua orang entah itu
kepastian apa yang orang-orang maksud, tetapi tidak dipungkiri oleh semua orang
kepastian sangat ditunggu-tunggu untuk menentukan suatu hal akan dilakukan atau
hanya sekedar omongan belaka.[13]
Kepastian hukum adalah merupakan salah satu tujuan utama di dalam konsep negara
hukum selain adanya tujuan lain yaitu untuk terciptanya ketertiban hukum maupun
ketertiban masyarakat.[14]
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1
Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia harus didasarkan kepada hukum, bukan kepada kekuasaan.
Untuk terciptanya dimaksud kepastian hukum sebagai bagian dari
negara hukum, pemerintah telah merumuskan suatu tatanan hukum dan perundang-undangan
sebagai bagian dari tertib hukum dan perundang-undangan, yang dituangkan ke
dalam hirarki perundang-undangan sebagai berikut :
Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 |
Tap
MPR No. III/MPR/2000 |
UU No. 10 Tahun 2004 |
UU No. 12 Tahun 2011 |
|||
a. |
UUD 1945 |
a. |
UUD 1945 |
a. UUD 1945 |
a. |
UUD 1945 |
b. |
TAP MPR |
b. |
TAP MPR |
b. UU/PERPPU |
b. |
TAP MPR |
c. |
UU/PERPPU |
c. |
UU/PERPPU |
c. PP |
c. |
UU/PERPPU |
d. |
PP |
d. |
PP |
d. PERPRES |
d. |
PP |
e. |
KEPRES |
e. |
KEPPRES |
e. PERDA |
e. |
PERPRES |
f. |
KEPMEN |
f. |
PERDA |
|
f. |
PERDA |
g. |
Peraturan |
|
|
|
|
PROVINSI |
|
Pelaksanaannya |
|
|
|
g. |
PERDA |
Jabatan seorang notaries memiliki tugas untuk memberikan pelayanan
kepastian hukum dalam bentuk pembuatan akta otentik maupun pembuatan akta tanah
di dalam tugasnya 2(dua) fungsi pokok yaitu yang pertama notaries memiliki
tanggung kepastian hukum kepada masyarakat atas setiap pengesahan atas
pengikatan-pengikatan hukum, dan yang kedua notaries memiki kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang sebagai pejabat negara untuk memberikan penguatan
hukum atas pengikatan-pengikatan hukum. Yang pada akhirnya memberikan
ketentraman dan rasa aman kepada masyarakat.
Karena itu, berkaitan dengan tanggung jawab seorang notaries dapat
digambarkan secara teoritis yaitu : secara etimologi (tata bahasa) tanggung
jawab berasal dari bahasa Inggris yaitu “Responsibility”
yang artinya tanggung jawab, bertanggung jawab atau yang memiliki tanggung
jawab.[15]
Responsibility is a duty or obligation to satisfactorily perform or complete a
task (assigned by someone, or created by one’s own promise or circumstances)
that one must full fill, and which has a consequent penalty for failure.[16] Pertanggungan jawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan
perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan
pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.[17]
Tanggung jawab dalam kamus bahasa Indonesia adalah keadaan di mana wajib
menanggung segala sesuatu, sehingga berkewajiban menanggung, ,memikul jawab,
menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
sedangkan secara definisi tanggung jawab merupakan kesadaran manusia akan
tingkah laku atau perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajiban.[18]
Sementara itu, berkaitan dengan kewenangan seorang notaries
digambarkan secara teoritis yaitu : secara etimologi (tata bahasa) kewenangan
berasal dari bahasa Inggris yaitu “Authority”
yang artinya kewenangan, yang berwenang atau yang memiliki
kewenangan.[19] Authority is the power or right to give orders, make decisions, and enforce
obedience.[20] Kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kekuasaan untuk membuat
keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.
Pengertian secara umum kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan
sesuatu tindakan dengan batas-batas waktu tertentu dan diakui oleh individu
lain dalam suatu kelompok tertentu.[21]
Bagir Manan menjelaskan bahwa : wewenang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam
hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).[22]
Dalam pemikiran hukum Barat yang mengandung makna bahwa bahwa kewenangan adalah
kemampuan dari seseorang atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Dalam konsep
hukum Islam, manusia adalah mandataris (khalifah) yang ada di muka bumi
sehingga wewenang mutlak ada pada Allah.[23]
B.
Notaris Sebagai Pejabat Negara
Notaris adalah masyarakat/perseorangan yang diangkat oleh
pemerintah selaku pejabat umum yang memiliki tugas melakukan tugas
pengesahan/legalisasi atas pengikatan-pengikatan yang dilakukan oleh
masyarakat. Notaris juga terikat oleh ketentuan perundang-undangan yang
mengatur tentang tatalaksana kenotariatan. Ketentuan yang mengatur tentang
pejabat negara dapat dikemukakan dalam penjelasan ketantuan Pasal 11 UU No. 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang berbunyi bahwa yang dimaksud
sebagai pejabat negara ialah : (a) Presiden, Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, (b) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, (c)
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung, (d) Anggota Dewan
Pertimbangan Agung, (e) Menteri, (d) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh,
(e) Gubernur kepala daerah, (f) Bupati kepala daerah/walikotamadya kepala
daerah, (g) Pejabat lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.[24]
C.
Notaris
Sebagai Pembuat Akta Otentik
Notaris sebagai pejabat negara yang menjalankan profesi pelayanan
hukum kepada masyarakat, yang dalam melaksanakan tugasnya perlu mendapatkan
perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum,[25]
selain itu notaris sebagai pejabat negara mampu memberi jaminan kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat
otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan
melalui jabatan tertentu.[26]
Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota,
yaitu kedudukan yang berkenaan dengan pengangkatan sebagai notaries oleh Kantor
kementerian Hukum dan HAM RI, Namun demikian dalam cakupan wilayah kerja,
notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya. Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat
kedudukannya. Notaris tidak berwewenang secara teratur menjalankan jabatan di
luar tempat kedudukannya.[27]
Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akte otentik disebutkan
dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwewenang untuk membuat akte otentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya”. Selanjutnya notaris sebagai pejabat pembuat
akta otentik memiliki wilayah kerja diatur dalam Pasal 18 ayat 1 dan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan : (a)
Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota; (b) Notaris
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya. Notaris juga wajib memiliki kedudukan kantor yang diatur dalam
dalam Pasal 19 ayat 1 dan 2 menyebutkan : (a)Notaris wajib mempunyai hanya satu
kantor, yaitu tempat kedudukannya, (b)Notaris tidak berwewenang secara teratur
menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya.
Tugas-tugas yang dilakukan oleh notaries diantaranya membuat akta
otentik. Akta dimaksud, Adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
notaries menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.[28]
Selain itu bentuk-bentuk akta yang bersifat administrative diatur dalam
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI yang menjelaskan
tata laksana teknis di lapangan.
Berkenaan dengan bentuk-bentuk akta otentik yang dibuat dan
merupakan kewenangan notaries dapat dilihat dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa: (a) Notaris berwewenang
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepantingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, semua itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang, (b) Notaris juga berwewenang mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus serta membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus.
Notaris sebagai seorang pejabat umum, memiliki syarat-syarat yang
dapat dijadikan dasar untuk dapat diangkat sebagai notaries, yaitu diatur dalam
Pasal 3 No. 2 Tahun 2014, yaitu :
a.
warga negara Indonesia;
b.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d.
sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan
sehat dari dokter dan psikiater;
e.
berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua
kenotariatan;
f.
telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai
karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan
berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
g.
tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advocate,
atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan notaris; dan
h.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Berkenaan dengan kewenangan notaries secara khusus diatur dalam
Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2014 :
Ayat 1 “Notaris berwewenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta tidak
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang”.
Ayat 2 “Notaris berwewenang : (a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;
(b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c)
membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; (d)
melakukan pengesahan kecocokan photo copi dengan surat aslinya; (e) memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; (f) membuat Akta yang
berkaitan dengan pertanahan; atau (g) membuat Akta risalah lelang.
Ayat 3 “Notaris mempunyai wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kewajiban notaries dalam melakukan tugasnya diatur dalam Pasal 16
ayat 1 UU No. 2 Tahun 2014, yang berbunyi :
Dalam menjalankan
jabatannya Notaris wajib :
a.
bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b.
membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c.
melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta;
d.
mengeluarkan grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e.
memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f.
merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g.
menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1(satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima) puluh Akta dan jika jumlah Akta tidak dapat
dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap
buku;\
h.
membuat daftar Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i.
membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan Akta setiap bulan
j.
mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf I atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat kepada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam
waktu 5(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan beikutnya;
k.
mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;
l.
mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan
kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan Akta di
hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2(dua) orang saksi, atau
4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; dan
n.
menerima magang calon Notaris.
Sedangkan larangan-larangan bagi notaries dalam melakukan tugasnya
diatur Pasal 17 Ayat 1 UU No. 2 Tahun 2014, yang berbunyi :
“Notaris dilarang :
a.
menjalankan jabatannya di luar wilayah jabatannya;
b.
meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c.
merangkap sebagai pegawai negeri;
d.
merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e.
merangkap jabatan sebagai advocate;
f.
merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g.
merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h.
menjadi Notaris Pengganti; atau melakukan pekerjaan lain yang
bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat
mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris
i.
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih.
D.
Notaris
Sebagai Pembuat Akta Tanah
Notaris sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk melakukan tugas-tugas sebagai
pejabat pembuat akta tanah adalah merupakan tambahan kewenangan
yang diberikan oleh
undang-undang untuk melakukan pengesahan/legalisasi atas pengikatan-pengikatan hukum
yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya di bidang
pertanahan. Kedudukan notaries sebagai pejabat pembuat akte tanah disebutkan
dalam Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Pejabat
Pembuat Akta Tanah Republik Indonesia, yang menyebutkan : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
Prasyarat yang ditetaspkan
oleh Peraturan Perundang-undangan diatur dalam ketentuan Pasal PP No. 37 Tahun
1998, yang berbunyi :
Bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
a.
berkewarganegaraan Indonesia;
b.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
c.
berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang
dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;
d.
belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
e.
sehat jasmani dan rohani;
f.
lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program
pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
g.
lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional.
Pejabat pembuat akta tanah (PPAT) memiliki tugas pokokmelaksanakan
kegiatan sebagian kegiatan penfaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.[29]
Dengan memiliki fungsi dalam membuat akta otentik yang berhubungan dengan
perbuatan hukum sbb:[30]
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam
perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak
Tanggungan;
h. pemberian kuasa
memberikan hak tanggungan.
Berkenaan dengan wilayah kerjanya, Notaris sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 1 ayat 8 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang menyebutkan : Daerah kerja PPAT
adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta
mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di
dalamnya. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya. Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi
wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.[31]
Akta PPAT akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun.[32]
Sementara itu, dalam hal kewenangan Notaris sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998,
menyebutkan : (a) PPAT hanya berwewenang membuat akta mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya;
(b) Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian
hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat
dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau
satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta. Untuk
melaksanakan tugas pokoknya seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akte
otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. dan PPAT khusus
hanya berwewenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara
khusus dalam penunjukannya.[33]
Dalam ketentuan lain PPAT hanya berwewenang membuat akta mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di daerah kerjanya,
dan berwewenang membuat akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan,
dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja
seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu
bidang tanah atau satua rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum
dalam akta.[34]
Sama halnya dengan notaries sebagai pejabat pembuat akta otentik, notaries
sebagai pejabat pembuat akta tanah (PPAT), juga memiliki kewajiban yang diatur
dalam perundang-undangan, yaitu Bahwa dalam waktu 1 (satu) bulan setelah
pengambilan sumpah jabatan (PPAT) wajib :[35]
a.
menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh faraf,
dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua
Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah
kerja PPAT yang bersangkutan;
b.
melaksanakan jabatannya secara nyata.
c.
harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya.
d.
wajib memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Menteri.
Dalam ketentuan lain Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2(dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga
oleh para pihak,[36]
saksi-saksi dan PPAT[37] Sebagai bagian dari
pengawasan pelaksanaan sebagai
pejabat pembuat akta tanah (PPAT)
peraturan perundang-undangan memberikan batasan-batasan yaitu : PPAT atau PPAT
Sementara yang belum mengucapkan sumpah jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 dilarang menjalankan jabatannya sebagai PPAT. Apabila larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanggar, maka akta yang dibuat tidak sah
dan tidak dapat dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah.[38]
Adapun larangan-larangan dalam rangka permbuatan akta bagi seorang PPAT,
sebagaimana yang diatur dalam pasal 15.
Dilarang membuat akta
apabila :
a.
PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya
sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam
garis kesamping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang
bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau
menjadi kuasa dari pihak lain.[39]
b.
Di daerah Kecamatan yang hanya terdapat seorang
PPAT yaitu PPAT sementara dan di wilayah desa yang Kepala Desanya ditunjuk
sebagai PPAT Sementara. Wakil Camat atau Sekretaris Desa dapat membuat akta
untuk keperluan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 setelah
mengucapkan sumpah jabatan PPAT di depan PPAT Sementara yang bersangkutan.[40]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang kedudukan jabatan notaries, maka dapat
ambil kesimpulan bahwa :
1.
Kedudukan jabatan notaris adalah sebagai pejabat
umum/pejabat negara, hal ini dikarenakan kedudukan jabatan notaris dalam
kapasitas sebagai pembuat akta otentik maupun sebagai pembuat akta tanah,
diangkat (disumpah) dan diberhentikan oleh Pemerintah dalam hal ini kementerian
terkait.
2.
Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akte
otentik disebutkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang
menyebutkan : “Notaris adalah pejabat umum yang berwewenang untuk membuat akte
otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.
3.
Kedudukan jabatan notaris dalam kapasitas
sebagai pembuat akta otentik maupun sebagai pembuat akta tanah, adalah memiliki
tugas untuk memberikan pelayanan pengesahan/legalisasi atas
pengikatan-pengikatan hukum oleh masyarakat, dalam rangka memberikan kepastian
hukum.
B.
Saran
Adapun rekomendasi yang diberikan berkaitan dengan permasalahan
diatas ialah diperlukan harmonisasi ketentuan
perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan jabatan notaries
sebagai pejabat pembuat akta otentik yang bertanggung jawab kepada Kementerian
Hukum dan HAM RI, dan kedudukan notaries sebagai pejabat pembuak akta tanah,
yang bertanggung jawab kepada Kementerian Pertanahan Nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Buku
Astrid Arsyana Dewi, Perubahan Paradigma Pengelolaan Negara Dari Konsep Negara Penjaga Malam Menuju Negara
Kesejahteraan dan Pengaruhnya Terhadap Eksistensi Pengadilan Tata Usaha di
Indonesia, dalam makalah hukum acara tata usaha negara, Fakultas Hukum
Undip Semarang. 2015
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, UAY Press. Jogjakarta 1994
Hans Kelsen. Teori
Umum tentang Hukum dan Negara (terjemahan
Raisul Muttaqien) Nusa Media Jakarta
2006
Immanuel Kant., Lihat Taher Azhari. Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya. Dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta 2007.
Juniarso Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Nuansa
Bandung 2009.
John M. Echols, Hassan Shadily. Kamus Ingris Indonesia (An
English-Indonesian Dictionary) Gramedia
Pustaka Utama Jakarta 2005.
Lili Rasyidi.,
Lihat dalam Darji Darmodiharjo,. Et.al. Pokok-pokok
Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka
Utama Jakarta 2000.
Philipus M. Hadjon Et.al Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law).
Gadjah Mada University Press. Surabaya
1994
R. Subekti, R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pradnya Paramita Jakarta 1992.
R. Subekti. Pokok-Pokok
Hukum Perdata. Internusa Jakarta 2002.
B.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
C.
Internet
www.puputpurnama11.blogspot.co.id
[1] Immanuel
Kant., Lihat dalam Taher Azhari. Negara
Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya. Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta 2007. Hlm 88
[2] Lili
Rasyidi., Lihat dalam Darji Darmodiharjo,. Et.al. Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2000.,
Hlm 184
[3] Sekretaris
Jenderal MPR-RI Buku Pedoman Sosialisasi
Hasil Amandemen Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Jakarta 2008.
[4] R. Subekti
dan R. Tjitrosudibyo. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Pradnya Paramita Jakarta 1992. Hlm 475
[5] Ibid
[6] Taher
Azhari. Op.Cit. Hlm 89.
[7] Astrid
Arsyana Dewi, Perubahan Paradigma
Pengelolaan Negara Dari Konsep Negara
Penjaga Malam Menuju Negara Kesejahteraan dan Pengaruhnya Terhadap Eksistensi
Pengadilan Tata Usaha di Indonesia, dalam makalah hukum acara tata usaha negara,
Fakultas Hukum Undip Semarang. 2015
Hlm 7
[8] Tahir
Azhari. Op.Cit. Hlm 95
[9] Hans
Kelsen. Teori Umum tentang Hukum dan
Negara (terjemahan Raisul Muttaqien) Nusa Media Jakarta 2006. Hlm 7
[10] Hans
Kelsen. Ibid
[11] John M.
Echols, Hassan Shadily. Kamus Inggris
Indonesia (An English-Indonesian Dictionary).
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2005. Hlm 105
[12] www.merriam.webster.com
/03/09/2016
[13] www.puputpurnama11.blogspot.co.id
03/09/2016
[14] Immanuel
Kant., Lihat Taher Azhari. Loc.Cit. Hlm 95
[15] John M.
Echols, Hassan Shadily. Kamus Inggris
Indonesia (An English-Indonesian Dictionary).
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2005. Hlm 481
[16] www.businessdictionary.com
03/09/2016
[17] F. Sugeng
Istanto, Hukum Internasional, UAY
Press. Jogjakarta 1994. Hlm 77
[18] www.kompasiana.com (Nouval
Muttaqien).03/09/2016
[19] John M.
Echols, Hassan Shadily. Kamus Inggris
Indonesia (An English-Indonesian Dictionary).
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2005. Hlm 46.
[20] www.oxforddictionaries.com
/03/09/2016
[21] www.negarahukum.com (Damang
Averroes – Al-Khawarizni) 03/09/2016
[22] Juniarso
Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat. Hukum
Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan
Publik. Nuansa Jakarta 2009. Hlm 137
[23] Ibid.
[24] Philipus
M. Hadjon Et.al Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Administrative Law). Gadjah Mada University Press. Surabaya
1994. Hlm 212
[25] Konsideran
sub c UU No. 30 Tahun 2004.
[26] Konsideran
sub b UU No. 30 Tahun 2004
[27] Pasal 18
Ayat 1 dan 2, Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No. 30 Tahun 2004.
[28] Pasal 1
Ayat 7 UU No. 30 Tahun 2004
[29] Pasal 2
Ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998
[30] Pasal 2
Ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998
[31] Pasal 12
Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998
[32] Pasal 1
Ayat 4 PP No. 37 Tahun 1998
[33] Pasal 3
Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998
[34] Pasal 4
Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998
[35] Pasal 19
Sub a dan b PP No. 37 Tahun 1998
[36] Pasal 20
Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998
[37] Pasal 22
PP No. 37 Tahun 1998
[38] Pasal 18
Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998
[39] Pasal 23
Ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998
[40] Pasal 23
Ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar