MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

KEDUDUKAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA OTENTIK DAN SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

 

KATA PENGANTAR

 

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Teori dan Penemuan Hukum pada Program Studi Magister (S2) Kenotariatan dengan ini penulis mengangkat judul “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Otentik Dan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah”.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

 

Semarang, 29 April 2020

 

Penulis

 
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.... i

KATA PENGANTAR..... ii

DAFTAR ISI.. iii

BAB I      PENDAHULUAN..... 1

A... Latar Belakang Masalah... 1

B.... Rumusan Masalah... 3

BAB II    PEMBAHASAN..... 4

A... Negara Hukum dan Jabatan Notaris.. 4

B.... Notaris Sebagai Pejabat Negara... 8

C.... Notaris Sebagai Pembuat Akta Otentik... 9

D... Notaris Sebagai Pembuat Akta Tanah... 13

BAB III   PENUTUP.... 18

A... Kesimpulan... 18

B.... Saran... 18

DAFTAR PUSTAKA..... 19

 


BAB I
PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang Masalah

Kepastian hukum adalah merupakan salah satu tujuan utama di dalam konsep negara hukum selain adanya tujuan lain yaitu untuk terciptanya ketertiban hukum maupun ketertiban masyarakat.[1] Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia harus didasarkan kepada hukum, bukan kepada kekuasaan. Kepastian hukum dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam mempertahankan hak-haknya. Hak-hak dimaksud adalah hak-hak yang sempurna yaitu hak-hak yang cakupannya jelas, tetap dan tertentu, yang ditandai dengan pemenuhan kewajiban yang sempurna.[2]

Sejak bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan dilakukannya amandemen UUD RI 1945 sampai 4(empat) kali, perubahan sistem pemerintahan dari sistem parlementer menjadi sistem presidensil, terciptanya pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta pentingnya pemberdayaan rakyat daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah, adalah merupakan tuntutan-tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998.[3]

Berkenaan dengan itu, sebagai upaya pemberdayaan daerah-daerah diseluruh Indonesia dalam rangkan percepatan dan pemerataan pembangunan dilakukan melalui program otonomi daerah (desentralisasi), yang ditandai dengan ditetapkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya dalam rangka menyempurnakan ketentuan tentang pemeriuntah daerah, ditetapkan ketentuan baru yaitu dengan ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, dan yang terakhir diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.

Berkenaan dengan perkembangan hukum di Indonesia khususnya di daerah-daerah, kiranya perlindungan hukum dirasa sangatlah penting dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat , antara lain di bidang hukum privat (perdata) yang telah melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pentingnya proses legalisasi/pengesahan atas setiap transaksi-transaksi antar masyarakat. Legalisasi/pengesahan dimaksud dilakukan oleh pejabat negara, atau masyarakat yang ditetapkan sebagai pejabat negara yang semuanya diatur oleh Undang-Undang.

Dalam sejarah hukum privat/perdata legalisasi/pengesahan dilakukan oleh pejabat umum yang dituangkan ke dalam akta otentik[4] yang merupakan penyempurnaan dari kesepakatan-kesepakatan yang telah dilakukan oleh masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebagai ketentuan yang bersifat umum yang mengatur tentang pentingnya akta otentik, dalam Pasal 1868 KUHPerdata dijelaskan bahwa : “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”.

Ketentuan-ketentuan umum yang mengatur tentang bagaimana pentingnya akta otentik dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan diantaranya sebagai berikut : Pasal 147 KUHPerdata yang berbunyi “Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaries sebelum perkawinan berlangsung. Dan selanjutnya”. Pasal 613 KUHPerdata yang berbunyi “Penyerahan akan hutang piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Dan seterusnya”. Pasal 1171KUHPerdata yang berbunyi “Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang. Begitu pula kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik. Dan seterusnya”. Pasal 1869 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris - ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Pasal 1871 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka selain sekadar apa yang dituturkan itu hubungan langsung dengan pokok isi akta. Pasal 1682 KUHPerdata yang berbunyi “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687 KUHPerdata, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selain dengan suatu akta notaries, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.[5]

Sementara itu ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus dalam memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat berkaitan dengan legalisali/pengesahan atas transaksi-transaksi yang dilakukan oleh masyarakat.

 

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik dan sebagai pejabat pembuat  akta tanah menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, serta ketentuan tentang tugas dan fungsi sebagai pejabat pembuat akta tanah diatur dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

 


BAB II
PEMBAHASAN

 

A.           Negara Hukum dan Jabatan Notaris

Cita-cita luhur dibentuknya Negara Republik Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada hukum, sebagaimana yang ditetapkan dalan ketentuan Pasal 1 Ayat 3 UUD RI Tahun 1945. Negara hukum sebagai Nachtwaker staat atau Nachtwachter staat (“Negara Jaga Malam”) yang tugasnya menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep negara hukum Kant dinamakan negara hukum liberal.[6] F.J. Stachl menandai konsep negara hukum dengan empat unsure pokok yaitu : (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia; (2) negara didasarkan kepada teori trias politika; (3) pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestur); dan (4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

Sebagai kelanjutan dari ketentuan Pasal 1 ayat 3 tentang Negara Hukum (Rechtstaat) sudah tentu merupakan cita-cita yang luhur sebagaimana yang sebutkan dalam Sila Pancasila yang ke 5 (lima) yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu sebagai bentuk cita-cita Negara Kesejahteraan. Welfare state, adalah suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada Negara (pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan. Welfare state meyakini bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediaakan warga negaranya akan standar hidup yang layak. Karena setiap negara memiliki standar yang berbeda-beda, berhubungan langsung dengan batas kemampuan negara.[7] Padmo Wahyono menelaah konsep negara hukum Pancasila dengan bertitik pangkal kepada azas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam azas kekeluargaan yang diutamakan adalah rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Bahwa yang penting adalah kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang seorang, namun orang seorang berusaha sejauh tidak mengenai hajat hidup orang banyak.[8]

Selanjutnya berkaitan dengan cita-cita dari Sila ke 5 (lima) dari Pancasila. Hans Kelsen menjelaskan bahwa “adil” adalah tatanan yang memberikan kebahagiaan kepada setiap orang. Sementara menurut pengertian aslinya yang sempit “kebahagiaan perorangan” diartikan sebagai apa yang menurutnya memang demikian.[9] Walaupun pada suatu saat tidak dapat dipungkiri bahwa kebahagiaan seseorang, akan bertentangan secara langsung dengan kebahagiaan orang lain. Jadi, tidak mungkin ada suatu tatanan yang adil meskipun atas dasar anggapan bahwa tatanan ini berusaha menciptakan bukan kebahagiaan setiap orang perorang, melainkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu.[10] Keadilan di dalam referensi hukum pada umumnya dibagi ke dalam dua bagian pengertian yaitu : (1) keadilan hukum (legal justice) yaitu keadilan yang ukuran serta batasannya telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang; dan (2) keadilan masyarakat (social justice) yaitu keadilan yang ukuran serta batasannya diputuskan oleh masyarakat.

Implementasi negara hukum yang berkeadilan hanya akan dicapai jika hukum yang berlaku di Indonesia dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Secara etimologi (tata bahasa) kepastian berasal dari bahasa Inggris “certain” yang berarti pasti, atau “certainty” yang berarti kepastian.[11] Dalam referensi  hukum  berkaitan  derngan  istilah  kepastian  hukum  sering  digunakan dengan istilah “certainty law”. Certainty is something that certain : a fact about there is no doubt.[12] Kepastian adalah suatu hal yang sangat dinantikan oleh semua orang entah itu kepastian apa yang orang-orang maksud, tetapi tidak dipungkiri oleh semua orang kepastian sangat ditunggu-tunggu untuk menentukan suatu hal akan dilakukan atau hanya sekedar omongan belaka.[13] Kepastian hukum adalah merupakan salah satu tujuan utama di dalam konsep negara hukum selain adanya tujuan lain yaitu untuk terciptanya ketertiban hukum maupun ketertiban masyarakat.[14] Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia harus didasarkan kepada hukum, bukan kepada kekuasaan.

Untuk terciptanya dimaksud kepastian hukum sebagai bagian dari negara hukum, pemerintah telah merumuskan suatu tatanan hukum dan perundang-undangan sebagai bagian dari tertib hukum dan perundang-undangan, yang dituangkan ke dalam hirarki perundang-undangan sebagai berikut :

Tap MPRS No. XX/MPRS/1966

Tap   MPR   No. III/MPR/2000

UU No. 10 Tahun 2004

UU No. 12 Tahun 2011

a.

UUD 1945

a.

UUD 1945

a. UUD 1945

a.

UUD 1945

b.

TAP MPR

b.

TAP MPR

b. UU/PERPPU

b.

TAP MPR

c.

UU/PERPPU

c.

UU/PERPPU

c. PP

c.

UU/PERPPU

d.

PP

d.

PP

d. PERPRES

d.

PP

e.

KEPRES

e.

KEPPRES

e. PERDA

e.

PERPRES

f.

KEPMEN

f.

PERDA

 

f.

PERDA

g.

Peraturan

 

 

 

 

PROVINSI

 

Pelaksanaannya

 

 

 

g.

PERDA

 

Jabatan seorang notaries memiliki tugas untuk memberikan pelayanan kepastian hukum dalam bentuk pembuatan akta otentik maupun pembuatan akta tanah di dalam tugasnya 2(dua) fungsi pokok yaitu yang pertama notaries memiliki tanggung kepastian hukum kepada masyarakat atas setiap pengesahan atas pengikatan-pengikatan hukum, dan yang kedua notaries memiki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang sebagai pejabat negara untuk memberikan penguatan hukum atas pengikatan-pengikatan hukum. Yang pada akhirnya memberikan ketentraman dan rasa aman kepada masyarakat.

Karena itu, berkaitan dengan tanggung jawab seorang notaries dapat digambarkan secara teoritis yaitu : secara etimologi (tata bahasa) tanggung jawab berasal dari bahasa Inggris yaitu “Responsibility” yang artinya tanggung jawab, bertanggung jawab atau yang memiliki tanggung jawab.[15] Responsibility is a duty or obligation to satisfactorily perform or complete a task (assigned by someone, or created by one’s own promise or circumstances) that one must full fill, and which has a consequent penalty for failure.[16] Pertanggungan jawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.[17] Tanggung jawab dalam kamus bahasa Indonesia adalah keadaan di mana wajib menanggung segala sesuatu, sehingga berkewajiban menanggung, ,memikul jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. sedangkan secara definisi tanggung jawab merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.[18]

Sementara itu, berkaitan dengan kewenangan seorang notaries digambarkan secara teoritis yaitu : secara etimologi (tata bahasa) kewenangan berasal dari bahasa Inggris yaitu “Authority” yang artinya kewenangan, yang berwenang atau yang memiliki kewenangan.[19] Authority is the power or right to give orders, make decisions, and enforce obedience.[20] Kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kekuasaan untuk membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Pengertian secara umum kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas waktu tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu.[21]

Bagir Manan menjelaskan bahwa : wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).[22] Dalam pemikiran hukum Barat yang mengandung makna bahwa bahwa kewenangan adalah kemampuan dari seseorang atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Dalam konsep hukum Islam, manusia adalah mandataris (khalifah) yang ada di muka bumi sehingga wewenang mutlak ada pada Allah.[23]

 

B.            Notaris Sebagai Pejabat Negara

Notaris adalah masyarakat/perseorangan yang diangkat oleh pemerintah selaku pejabat umum yang memiliki tugas melakukan tugas pengesahan/legalisasi atas pengikatan-pengikatan yang dilakukan oleh masyarakat. Notaris juga terikat oleh ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tatalaksana kenotariatan. Ketentuan yang mengatur tentang pejabat negara dapat dikemukakan dalam penjelasan ketantuan Pasal 11 UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang berbunyi bahwa yang dimaksud sebagai pejabat negara ialah : (a) Presiden, Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, (b) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, (c) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung, (d) Anggota Dewan Pertimbangan Agung, (e) Menteri, (d) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, (e) Gubernur kepala daerah, (f) Bupati kepala daerah/walikotamadya kepala daerah, (g) Pejabat lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.[24]

 

C.           Notaris Sebagai Pembuat Akta Otentik

Notaris sebagai pejabat negara yang menjalankan profesi pelayanan hukum kepada masyarakat, yang dalam melaksanakan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum,[25] selain itu notaris sebagai pejabat negara mampu memberi jaminan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu.[26]

Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, yaitu kedudukan yang berkenaan dengan pengangkatan sebagai notaries oleh Kantor kementerian Hukum dan HAM RI, Namun demikian dalam cakupan wilayah kerja, notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. Notaris tidak berwewenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya.[27]

Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akte otentik disebutkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan : “Notaris adalah pejabat umum yang berwewenang untuk membuat akte otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Selanjutnya notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik memiliki wilayah kerja diatur dalam Pasal 18 ayat 1 dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan : (a) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota; (b) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Notaris juga wajib memiliki kedudukan kantor yang diatur dalam dalam Pasal 19 ayat 1 dan 2 menyebutkan : (a)Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu tempat kedudukannya, (b)Notaris tidak berwewenang secara teratur menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya.

Tugas-tugas yang dilakukan oleh notaries diantaranya membuat akta otentik. Akta dimaksud, Adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaries menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.[28] Selain itu bentuk-bentuk akta yang bersifat administrative diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI yang menjelaskan tata laksana teknis di lapangan.

Berkenaan dengan bentuk-bentuk akta otentik yang dibuat dan merupakan kewenangan notaries dapat dilihat dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa: (a) Notaris berwewenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepantingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang, (b) Notaris juga berwewenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus serta membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

Notaris sebagai seorang pejabat umum, memiliki syarat-syarat yang dapat dijadikan dasar untuk dapat diangkat sebagai notaries, yaitu diatur dalam Pasal 3 No. 2 Tahun 2014, yaitu :

a.         warga negara Indonesia;

b.        bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c.         berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;

d.        sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater;

e.         berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f.         telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;

g.        tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advocate, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris; dan

h.        tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

 

Berkenaan dengan kewenangan notaries secara khusus diatur dalam Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2014 :

Ayat 1 “Notaris berwewenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Ayat 2 “Notaris berwewenang : (a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; (b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c) membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; (d) melakukan pengesahan kecocokan photo copi dengan surat aslinya; (e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; (f) membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) membuat Akta risalah lelang.

Ayat 3 “Notaris mempunyai wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kewajiban notaries dalam melakukan tugasnya diatur dalam Pasal 16 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2014, yang berbunyi :

Dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib :

a.         bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b.        membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c.         melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

d.        mengeluarkan grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

e.         memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f.         merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g.        menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1(satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima) puluh Akta dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;\

h.        membuat daftar Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

i.          membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan

j.          mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf I atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan beikutnya;

k.        mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l.          mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan kedudukan yang bersangkutan;

m.      membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2(dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; dan

n.        menerima magang calon Notaris.

 

Sedangkan larangan-larangan bagi notaries dalam melakukan tugasnya diatur Pasal 17 Ayat 1 UU No. 2 Tahun 2014, yang berbunyi :

“Notaris dilarang :

a.         menjalankan jabatannya di luar wilayah jabatannya;

b.        meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c.         merangkap sebagai pegawai negeri;

d.        merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e.         merangkap jabatan sebagai advocate;

f.         merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g.        merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;

h.        menjadi Notaris Pengganti; atau melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris

i.          tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

 

D.           Notaris Sebagai Pembuat Akta Tanah

Notaris sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan      untuk melakukan tugas-tugas sebagai pejabat pembuat akta tanah adalah merupakan tambahan  kewenangan  yang  diberikan  oleh  undang-undang  untuk  melakukan pengesahan/legalisasi  atas  pengikatan-pengikatan  hukum  yang  dilakukan  oleh masyarakat, khususnya di bidang pertanahan. Kedudukan notaries sebagai pejabat pembuat akte tanah disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah Republik Indonesia, yang menyebutkan : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

Prasyarat  yang  ditetaspkan  oleh  Peraturan  Perundang-undangan  diatur dalam ketentuan Pasal PP No. 37 Tahun 1998, yang berbunyi :

Bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :

a.         berkewarganegaraan Indonesia;

b.        berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

c.         berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;

d.        belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

e.         sehat jasmani dan rohani;

f.         lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;

g.        lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.

 

Pejabat pembuat akta tanah (PPAT) memiliki tugas pokokmelaksanakan kegiatan sebagian kegiatan penfaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.[29] Dengan memiliki fungsi dalam membuat akta otentik yang berhubungan dengan perbuatan hukum sbb:[30]

a.       jual beli;

b.      tukar menukar;

c.       hibah;

d.      pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e.       pembagian hak bersama;

f.       pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

g.      pemberian Hak Tanggungan;

h.      pemberian kuasa memberikan hak tanggungan.

 

Berkenaan dengan wilayah kerjanya, Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 1 ayat 8 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang menyebutkan : Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.[31] Akta PPAT akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.[32]

Sementara itu, dalam hal kewenangan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, menyebutkan : (a) PPAT hanya berwewenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya; (b) Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta. Untuk melaksanakan tugas pokoknya seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akte otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. dan PPAT khusus hanya berwewenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.[33]

Dalam ketentuan lain PPAT hanya berwewenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di daerah kerjanya, dan berwewenang membuat akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satua rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta.[34]

Sama halnya dengan notaries sebagai pejabat pembuat akta otentik, notaries sebagai pejabat pembuat akta tanah (PPAT), juga memiliki kewajiban yang diatur dalam perundang-undangan, yaitu Bahwa dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan (PPAT) wajib :[35]

a.         menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh faraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan;

b.        melaksanakan jabatannya secara nyata.

c.         harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya.

d.        wajib memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Menteri.

 

Dalam ketentuan lain Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2(dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak,[36] saksi-saksi dan PPAT[37] Sebagai  bagian  dari  pengawasan  pelaksanaan  sebagai  pejabat  pembuat akta tanah (PPAT) peraturan perundang-undangan memberikan batasan-batasan yaitu : PPAT atau PPAT Sementara yang belum mengucapkan sumpah jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilarang menjalankan jabatannya sebagai PPAT. Apabila larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanggar, maka akta yang dibuat tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.[38] Adapun larangan-larangan dalam rangka permbuatan akta bagi seorang PPAT, sebagaimana yang diatur dalam pasal 15.

Dilarang membuat akta apabila :

a.         PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis kesamping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.[39]

b.        Di daerah Kecamatan yang hanya terdapat seorang PPAT yaitu PPAT sementara dan di wilayah desa yang Kepala Desanya ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Wakil Camat atau Sekretaris Desa dapat membuat akta untuk keperluan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 setelah mengucapkan sumpah jabatan PPAT di depan PPAT Sementara yang bersangkutan.[40]

 


BAB III
PENUTUP

 

A.           Kesimpulan

Dari pembahasan tentang kedudukan jabatan notaries, maka dapat ambil kesimpulan bahwa :

1.      Kedudukan jabatan notaris adalah sebagai pejabat umum/pejabat negara, hal ini dikarenakan kedudukan jabatan notaris dalam kapasitas sebagai pembuat akta otentik maupun sebagai pembuat akta tanah, diangkat (disumpah) dan diberhentikan oleh Pemerintah dalam hal ini kementerian terkait.

2.      Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akte otentik disebutkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan : “Notaris adalah pejabat umum yang berwewenang untuk membuat akte otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.

3.      Kedudukan jabatan notaris dalam kapasitas sebagai pembuat akta otentik maupun sebagai pembuat akta tanah, adalah memiliki tugas untuk memberikan pelayanan pengesahan/legalisasi atas pengikatan-pengikatan hukum oleh masyarakat, dalam rangka memberikan kepastian hukum.

 

B.            Saran

Adapun rekomendasi yang diberikan berkaitan dengan permasalahan diatas ialah diperlukan  harmonisasi  ketentuan  perundang-undangan  yang  mengatur tentang kedudukan jabatan notaries sebagai pejabat pembuat akta otentik yang bertanggung jawab kepada Kementerian Hukum dan HAM RI, dan kedudukan notaries sebagai pejabat pembuak akta tanah, yang bertanggung jawab kepada Kementerian Pertanahan Nasional.


DAFTAR PUSTAKA

 

A.           Buku

Astrid Arsyana Dewi, Perubahan Paradigma Pengelolaan Negara Dari Konsep Negara Penjaga Malam Menuju Negara Kesejahteraan dan Pengaruhnya Terhadap Eksistensi Pengadilan Tata Usaha di Indonesia, dalam makalah hukum acara tata usaha negara, Fakultas Hukum Undip Semarang. 2015

F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, UAY Press. Jogjakarta 1994

Hans Kelsen. Teori Umum tentang Hukum dan Negara (terjemahan Raisul Muttaqien) Nusa Media Jakarta 2006

Immanuel Kant., Lihat Taher Azhari. Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya. Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2007.

Juniarso Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Nuansa Bandung 2009.

John M. Echols, Hassan Shadily. Kamus Ingris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary) Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005.

Lili      Rasyidi., Lihat dalam Darji Darmodiharjo,. Et.al. Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2000.

Philipus M. Hadjon Et.al Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law). Gadjah Mada University Press. Surabaya 1994

R. Subekti, R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita Jakarta 1992.

R. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Internusa Jakarta 2002.

 

B.            Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.

 

C.           Internet

www.businessdictionary.com.

www.kompasiana.com

www.oxforddictionaries.com

www.negarahukum.com

www.merriam.webster.com

www.puputpurnama11.blogspot.co.id



[1] Immanuel Kant., Lihat dalam Taher Azhari. Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya. Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2007. Hlm 88

[2] Lili Rasyidi., Lihat dalam Darji Darmodiharjo,. Et.al. Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2000., Hlm 184

[3] Sekretaris Jenderal MPR-RI Buku Pedoman Sosialisasi Hasil Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jakarta 2008.

[4] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita Jakarta 1992. Hlm 475

[5] Ibid

[6] Taher Azhari. Op.Cit. Hlm 89.

[7] Astrid Arsyana Dewi, Perubahan Paradigma Pengelolaan Negara Dari Konsep Negara Penjaga Malam Menuju Negara Kesejahteraan dan Pengaruhnya Terhadap Eksistensi Pengadilan Tata Usaha di Indonesia, dalam makalah hukum acara tata usaha negara, Fakultas Hukum Undip Semarang. 2015 Hlm 7

[8] Tahir Azhari. Op.Cit. Hlm 95

[9] Hans Kelsen. Teori Umum tentang Hukum dan Negara (terjemahan Raisul Muttaqien) Nusa Media Jakarta 2006. Hlm 7

[10] Hans Kelsen. Ibid

[11] John M. Echols, Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2005. Hlm 105

[14] Immanuel Kant., Lihat Taher Azhari. Loc.Cit. Hlm 95

[15] John M. Echols, Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2005. Hlm 481

[17] F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, UAY Press. Jogjakarta 1994. Hlm 77

[18] www.kompasiana.com (Nouval Muttaqien).03/09/2016

[19] John M. Echols, Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2005. Hlm 46.

[21] www.negarahukum.com (Damang Averroes – Al-Khawarizni) 03/09/2016

[22] Juniarso Ridwan, Achmad Sodik Sudrajat. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Nuansa Jakarta 2009. Hlm 137

[23] Ibid.

[24] Philipus M. Hadjon Et.al Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law). Gadjah Mada University Press. Surabaya 1994. Hlm 212

[25] Konsideran sub c UU No. 30 Tahun 2004.

[26] Konsideran sub b UU No. 30 Tahun 2004

[27] Pasal 18 Ayat 1 dan 2, Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No. 30 Tahun 2004.

[28] Pasal 1 Ayat 7 UU No. 30 Tahun 2004

[29] Pasal 2 Ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998

[30] Pasal 2 Ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998

[31] Pasal 12 Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998

[32] Pasal 1 Ayat 4 PP No. 37 Tahun 1998

[33] Pasal 3 Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998

[34] Pasal 4 Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998

[35] Pasal 19 Sub a dan b PP No. 37 Tahun 1998

[36] Pasal 20 Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998

[37] Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998

[38] Pasal 18 Ayat 1 dan 2 PP No. 37 Tahun 1998

[39] Pasal 23 Ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998

[40] Pasal 23 Ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.