RESUME
BUKU
ETOS
DAGANG ORANG JAWA
PENGALAMAN
RAJA MANGKUNEGARA IV
KARYA
: DRS. DARYONO, MSI.
TUGAS MATA KULIAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN
PENGAMPU : DRS. DARYONO, MSI.
DISUSUN
OLEH :
NAMA : ANISATUL MUAWANAH
NIM : B.231.16.0486
HARI/
JAM :
SELASA / 20.00 WIB
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
SEMARANG
2016
1.
Uraikan dan jelaskan pengertian etos dan bagaimana
contoh prakteknya dalam kehidupan?
Jawaban
Secara etimologis, etos berasal dari
bahasa Yunani “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan, kebiasaan atau
tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni gambaran, cara
bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Dari kata
etos ini dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian
akhlak atau nila-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam
etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan
sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerja yang sesempurna mungkin. Sebagai suatu subjek dari arti etos tersebut
adalah etika yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu maupun
kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakan itu salah
atau benar, buruk atau baik.
Franz Magnis Suseno (ditulis F.M.
Suseno) menjelaskan, antara sikap moral dengan etos ada kesamaan, namun tidak
identik. Kesamaannya terletak pada kemutlakan sikap itu, sedang perbedaannya
terletak pada tekanannya. Sikap moral, menegaskan orientasi pada norma-norma
sebagai suatu standard yang harus diikuti, sementra etos menegaskan bahwa sikap
itu merupakan sikap yang sudah mantap dan atau sudah menjadi kebiasaan, suatu
yang nyatanyata mempengaruhi, dan menentukan bagaimana seseorang atau
sekelompok orang mendekati (melakukan sesuatu). Karenanya, istilah “etos”
diungkapkan sebagai semangat dan sikap batin yang tetap pada seseorang atau
sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan
nilai-nilai moral tertentu.
Mencermati penjelasan makna etos
tersebut berarti, dalam kata “etos” mengandung dua nilai yang
merupakan satu kesatuan. Pertama, nilai-nilai moral sebagai orientasi dalam
bersikap atau bertingkahlaku, dan penghayatan atau pelaksanaan sikapnya itu
dalam kehidupan. Eksistensi nilai-nilai moral tersebut berarti, di satu pihak
berada dalam pikiran atau konsep serta dihayati pelaksanaannya atau
dipraktekkan dalam kehidupannya, di pihak lainnya.
Contoh
Prakteknya Dalam Kehidupan, yaitu:
G Dalam bekerja tidak meninggalkan shalat
G Mau mendengarkan saran atau masukan dari
orang lain saat rapat
G Memberikan pelayanan yang baik pada
pelanggan
G Bertanggung jawab dengan pekerjaannya
G Bersaing dalam bekerja dengan sehat
G Tidak berkorupsi
G Tidak melakukan kolusi pada saat bekerja
G Tidak suka menipu dalam bekerja
G Dalam bekerja tidak menjual
makanan/minuman basi
G Tidak melakukan nepotisme dalam bekerja
G Tidak sombong dengan pekerjaanya
G Tidak iri hati dengan pekerjaan orang
lain
G Mencintai pekerjaannya sendiri
G Melakukan pekerjaan dengan niat yang
penuh
G Teliti dalam setiap melakukan pekerjaan
G Bekerja dengan efektif
G Bersyukur dengan apa yang telah dimiliki
G Tidak sewenang-wenang pada bawahan.
G Tidak malas dalam mengerjakan tugas
2.
Menurut tradisi jawa untuk meraih prestasi hidup
atau agar cita-cita cepat berhasil salah satu caranya adalah dengan
memperbanyak puasa atau bertapa yang teknis pelaksanaannya telah diperbaharui
oleh Raja Mangkunegara IV. Uraikan dan jelaskan berbagai macam cara berpuasa
atau bertapa dan bagaimana pembaharuannya dari Raja Mangkunegara IV?
Jawaban
Macam-Macam
Puasa Kejawen :
1.
MUTIH
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi
putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi
(seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja.
Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi
keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : “niat ingsun mutih, mutihaken
awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahir dipun ijabahi gustiallah.”
2.
NGERUH
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran dan buah-buahan
saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur, dsb.
3.
NGEBLENG
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari.
Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari
rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi.
Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari
kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak
boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya
harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini
diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.
4.
PATIGENI
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh
keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya
puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari
dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus
dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah
mantra puasa pati geni: “niat ingsun pati geni, amateni hawa panas ing badan
ingsun, amateni genine napsu angkara murka karena Allah taala”.
5.
NGLOWONG
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni
puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya
diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.
6.
NGROWOT
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat
sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan
itu saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh
satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini
diperbolehkan untuk tidur.
7.
NGANYEP
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada
rasanya. Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal
dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.
8.
NGIDANG
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada
itu tidak diperbolehkan.
9.
NGEPEL
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan
dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga
kepal nasi sehari.
10. NGASREP
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya
diperbolehkan 3 kali saja sehari.
11. SENIN-KAMIS
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa
ini identik dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.
12. WUNGON
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24
jam.
13. TAPAJEJEG
Tidak duduk selama 12 jam
14. LELONO
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 5 subuh (waktu
ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
15. TAPA KUNGKUM
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik.
Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan
tapa ini. Tatacara tapa kungkum adalah sebagai berikut :
a)
Masuk
kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk) didalam
air dengan kedalaman air se tinggi leher.
b)
Biasanya
dilakukan dipertemuan dua buah sungai
c)
Menghadap
melawan arus air
d)
Memilih
tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur
didasar.
e)
Lingkungan
harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana
f)
Dilaksanakan
mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih
dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15
menit).
g)
Tidak
boleh tertidur selama Kungkum
h)
Tidak
boleh banyak bergerak
i)
Sebelum
masuk ke sungai disarankan untuk melakukan ritual pembersihan (mandi dulu)
j)
Pada
saat akan masuk air baca mantra ini :“ Putih-putih mripatku Sayidina Kilir, Ireng-ireng
mripatku Sunan Kali Jaga, Telenging mripatku Kanjeng Nabi Muhammad.”
k)
Pada
saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dadal) Nafas
teraturm) Kungkum dilakukan selama 7 malam biasanya
16. TAPANGALONG
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala
dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan
dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti
kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik
bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini
dibarengi dengan puasa Ngrowot.
17. TAPANGELUWENG
Tapa Ngeluweng adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan
membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluweng disebut-sebut sebagai
cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa
Ngeluweng adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat
sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka
akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan, jin dlsb).
Sebelum masuk kekubur, disarankan baca mantra ini: “Niat ingsun Ngelowong,
anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu maang jiwa insun,
lebur kaya dene banyu krana Allah Ta’ala.”
Dalam melakoni puasa-puasa diatas, bagi pemula sangatlah berat jika belum
terbiasa. Oleh karena itu disini akan dibekali dengan ilmu lambung karang. Ilmu
ini berfungsi untuk menahan lapar dan dahaga. Dengan kata lain ilmu ini dapat
sangat membantu bagi oarang-orang yang masih ragu-ragu dalam melakoni
puasa-puasa diatas. Selain praktis dan mudah dipelajari, sebenarnya ilmu
lambung karang ini berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang kebanykan harus
ditebus/dimahari dengan puasa. Selain itu syarat atau cara mengamalkannyapun
sangat mudah, yaitu :
1.) Mandi keramas/jinabat untuk membersihkan
diri dari segala macam kekotor
2.) Menjaga hawa nafsu.
3.) Baca mantra lambung karang ini sebanyak
7 kali setelah shalat wajib 5 waktu, yaitu :
Bismillahirrahamanirrahim Cempla cempli gedhene Wetengku saciplukan bajang
Gorokanku sak damiak ing Kapan ing sun nuruti budine Aluamah kudu amangan wareg
Ngungakna mekkah madinah Wareg tanpa mangan apa ning sun nuruti budine Aluamah
kudu angombe Ngungakna segara kidul Wareg tanpa angombe Laailahaillallah
Muhammad Rasulullah.
Selain melakoni
puasa-puasa diatas masyarakat kejawen juga melaksanakan ibadah puasa-puasa
sesuai tuntunan lslam, seperti Puasa Ramadhan, Senin Kamis, Puasa Syawal, Puasa
Tasri’ 11-12-13 Dzulhijah, Puasa Nabi Daud AS dll. Inti dari semua ibadah puasa
tujuannya hanya satu yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT agar diterima iman
serta lslamnya.
3.
Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik nilai-nilai
moral budaya jawa dan bagaimana contoh prakteknya masing-masing dalam kehidupan
?
Jawaban
Karakteristik
nilai-nilai moral budaya jawa, yaitu :
A. Harmonis
Karakteristik inti dari pandangan harmonis
adalah menciptakan dan menjaga kesesuaian dan keselarasan hubungan antar sesame
manusia, masyarakat dan dengan alam.Ketiganya merupakan satu system yang bisa
disebut sebagai “pandangan dunia jawa”. Talok ukur arti pandangan dunia bagi orang jawa
adalah nilai pragmatisnya agar tercapai keadaan psikis tertentu: ketenangan.
Ketentraman dan keseimbangan batin. Karenanya, maksut pandangan dunia jawa ini
tidak hanya terbatas bagi agama-agama formal dan mitos, melainkan juga seperti
maksut istilah kejawen.
Cara hidup dan sikap sikap yang diperlihatkan
oleh para tokoh wayang, menurut F.M Suseno merupakan acuan identifikasi pemikiran orang jawa sejak kecil.
Dia memiliki
sejumlah besar kemungkinan identifikasi moral dari padanya.
Ia bisa memilih
suatu model yang cocok, yang di harapkan akan dapat diterima dalam
masyarakatnya. Berbagai penjelasan tentang wayang
tersebut, disatu
pihak sebagai acuan analisis untuk mengkaji sikap hormat Sri Mangkunegara IV
terhadap apa saja dan siapa saja sesuai dengan tradisi ritual jawa yang
diungkapkan dalam pertunjukan wayang.
Berikut ini analisis dan pemahaman pemikiran
Sri Mangkunegara IV tentang objektivikasi tindakan moral dan transformasi
sosial nilai-nilai moral budaya jawa dalam tradisi pertunjukan wayang yang
sesuai pada zamannya. Pertama, di ambil dari kisah perjuangan Sumantri, ketika nyuwita atau ngenger
kepada Prabu Arjuna Sasrabahu yang menjadi Raja kerajaan Mahespati.
Kisah tersebut
merupakan pendahuluan dari kisah kepahlawana dalam Ramayana. Berkat keluhuran budi atau keuatamaan dan
keberhasilannya dalam menjalankan berbagai tugas dari rajanya, dia diangkat
sebagai pejabat tertinggi setelah raja, yaitu Patih dan bernama Patih Suwanda.
Kedua, tentang
kepahlawanan Kumbakarno adalah seorang kesatria raksasa dari kerajaan Alengka,
sebagai kisah dalam Ramayana. Inti motivasi kepahlawannya bukan membela Raja
Rahwana yang terkenal berwatak angkara murka, melainkan berdasarkan kesadaran
budi luhurnya atau sifat keutamaannya sebagai kesatria yang berkewajiban
menjaga dan membela Negara Alengka. Ketiga, kisah dalam Mahabarata tentang kepahlawanan Adipati Karno dari pihak
Kurawa yang gugur melawan Arjuna (Sanjaya) dari pandawa. Adipati karno
sebenarnya adalah kakak seibu lain ayah dengan Arjuna. Adipati karno ketika nyuwita pada Prabu Suyudana diberi
kerajaan Ngawangga, sehingga ia merasaa berhutang budi padanya. Motivasi
kepahlawanannya di pihak kurawa berarti bahwa membalas budi itulah yang
memberikan nilai dirinya sebagai orang utama
atau berbudi luhur.
Objektivikasi pemikiran Sri Mangkunegara IV
dengan menampilkan perlambang raksasa Kumbakarno sebagai martabat
manusia tersebut, di satu sisi sebagai objektivikasi teori
kritis terhadap budaya jawa tentang eksistensi manusia.
Maksutnya adalah
secara radikal memiliki pandangan tentang kajian antara teori dan
praktik.Dengan demikian teori kritis sesungguhnya justru merupakan teori
perubahan sosial atau transformasi sosial.
Akantetapi,
pemikirannya tersebut juga menjadi kongkretisasi transformasi sosial tentang keutamaan jawa atau nilai-nilai moral
budaya jawa dalam pandangan hidup yang di cita-citakan priyayi.
Pembaruan pola etos Sri Mangkunegara IV
menunjukkan suatu pola strateginya pada perjuangan
tanpa kekerasan. Menurut Soejatmoko, pola strategi itu merupakan modal dan
dasar ketangguhan utama ketangguhan
social, baik dalam satu tatanan etiket (tata karma jawa: sikap hormat dan
rukun) maupun bagi identitas budaya masyarakat jawa sesuai pada masanya dalam
kondisi pascakolonial.
Pola etos pemikiran dan transformasi tindakan
moral Sri Mangkunegara IV yang sesuai pada masanya khusus dalam pergaulan
sosial dibidang sastra dan pengalaman keagamaan jawa.
Sikap demikian
itulah etos tindakan moral Sri Mangkunegara IV berkarakteristik perjuangan
tanpa kekerasan dan ketahanan sosial. Nilai-nilai moral budaya jawa, di satu
sisi, difungsikan sebagai tata krama jawa dalam pergaulan sosial, juga menyatu
sebagai suatu “proses belajar” besama anggota masyarakat jawa dengan berbagai
pihak yang berkepentingan dalam kondisi pascakolonial pada sisi lain.
Mencermati penjelasan di atas maka
prinsip-prinsip moral pada etos tindakan Sri Mangkunegara IV sebagaimana telah
diuraikan pada karakteristik harmonis, akan dijadikan sebagai acuan pendekatan kritik negative terhadap beberapa
kepustakaan jawa sebagai sumber ajaran moral jawa. Pendekaran kritik negative ini merupakan kelanjutan
tiga system nilai-nilai moral budaya jawa yang kedua, yaitu structural
fungsional.Uraian pemahaman mengenai hal ini kurang lebih sebagai berikut.
Contoh
prakteknya dalam kehidupan yaitu bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa
saja. Sesungguhnya bahwa segala hal bentuk hubungan dalam masyarakat Jawa bersifat
teratur secara hierarkis. Keteraturan tersebut bernilai pada dirinya sendiri
sehingga semua orang harus mempertahankannya dan membawa diri sesuai dengan hal
itu.
B. Struktural
fungsional
Maksut dua kata ini terkait dengan adanya
asumsi pemahaman bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempatnya
masing-masing sehingga ia harus berprilaku atau bekerja sesuai tempat
keberadaanya. Struktural fungsional tidak dimaksutkan sebagai struktur dalam
arti sebagai stratifikasi sosial masyarakat jawa seperti menurut Clifford Gertz
yang membagi stratifikasi tersebut menjadi priyayi,
santri dan abangan.Alasan pertama karena,
menurut Zaini Muchtarom, pembagian orang jawa (priyayi, santri dan abangan)
dari penafsiran Gertz telah mengacaukan atau menyesatkan.
Kedua,
menurut Harsja W Bachtiar, Priyayi merupakan status atau golongan sosial dalam
komunitas jawa, sehingga tidak menunjukkan salah satu tradisi keagamaan khusus.
Seorang priyayi bisa seorang muslim saleh dan muslim statistik sekaligus,
mereka juga dapat termasuk orang hindu, budha dan kristen.
Oleh karna itu yang di maksut dengan istilah
struktural fungsional di sini adalah
struktur sosial nilai-nilai moral budaya jawa. Maksutnya struktur di sini
adalah bangunan ide para pujangga tentang nilai-nilai moral, dan cara-cara
mengfungsikan atau teknis pemberdayaannya bagi konsep antar individu dalam
dunia atau realitas sosial jawa. Penjelasan tersebut, secara implisit searah
dengan yang dimaksutkan Fachry Ali tentang ajaran moral dan budaya jawa yang
difungsikan sebagai ideologi, terutama sebagai corak hidup, seluruh kalangan
bangsawan (priyayi) juga dapat memberi arah cara bersikap bagi seluruh rakyat
jawa.
Mencermati penjelasan tersebut, maka berbagai kepustakaan jawa baik karya Sri Mangkunegara
IV dan para pujangga lain, dari Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, dipahami
ajaran-ajaran moralnya dan ungkapan sikapnya lebih cenderung dan tidaknya pada guilt societes (individualisme) atau shamesocietes (kolektivisme) atau
campuran keduanya. Yang dimaksut dengan kecenderungan atau tidaknya itu, baik
kaitanya dengan tiga kebijakan politiknya Pemerintah Belanda atau dalam
pandangan dunia dan hidup jawa serta bagi pengalaman keagamaan pada masanya
yang berada dalam kondisi pascakolonial.
Misalnya dalam suatu karya Sunan Paku Buwana IV Serat Wulangreh memuat bait-bait yang
menguraikan berbagai ajaran moral bagi priyayi yang baru ngenger kepada raja. Dia harus dengan ikhlas lahir batin mengikuti
segala perintah raja. Ia tidak boleh ragu, dan harus mengumpamakan dirinya
seperti “sarah mungeng jalandri, darma lumaaku
sapakon”, artinya sebagai sampah dilaut wajib berjalan menurut perintahnya.
Dia harus madep dan mantep, artinya mantap dan tidak gentar menghadapi
kesukaran. Dia harus memelihara milik raja dengan gemi (tidak boros), terhadap perintahnya ia harus nastiti (memperhatikan dengan cermat) dan ngati-ati artinya hati-hati dalam menjaga tuanya atau rajanya siang
dan malam. Ketika di pasebon, ia
harus datang lebih dahulu sebelum rajanya dan wajib secara tertib menghadap di paseban pada hari-hari tertentu, sekalipun
raja tidak keluar dari kedhaton.
Etos kerja priyayi yang
demikian itu berdasarkan keyakinan. Seperti dijelaskan Soemarsaid Moertono,
bahwa perhatian raja terhadap seluruh abdi
(rakyat) bagaikan seorang tuan atau ayah yang mengasuh anak-anaknya dalam pola
kekeluargaan, merupakan model baku dalam komunikasi sosial jawa. Karakteristik
etosnya bersifat feodalistik. Sartono Kartodirjo menjelaskan ciri etos
feodalistik seperti orientasi kepada atasan, dalam melaksanakan tugas hanya
menunggu perintah. G Moedrjanto selanjutnya menjelaskan konsep kekuasaan jawa
bagi raja tersebut searah atau sesuai dengan maksut kekuasaan sebagaimana dalam
paham absolutisme.
Berkaitan dengan berbagai penjelasan di atas,
Soemarsaid Moertono memaparakan bahwa dari contoh para dewa, orang jawa
mengidentifikasikan dirinya kepada orang-orang besar di masa lalu. Ini
merupakan ungkapan sikap-sikap tradisionalismenya. Para raja kasunanan
surakarta dan Kasultanan Yogjakarta mencontoh kepada para leluhurnya, nenek
moyang raja, terutama Panembahan Senopati atau sultan agung. Menurut D Jong
meniru laku panembahan senopati merupakan salah satu hidup orang jawa khususnya
bagi kaum priyayi.
Identifikasi terhadap dua pola etos atas sikap
tersebut mungkin dapat di kaji pada Serat
Tri Pama karya Sri Mangkunegara IV yang di simbolkan pada dua tokoh raja
dalam tokoh pewayangan. Pola etos pertama seperti sikapnya Raja Suyudana yang
di arahkan kepada Adipati Karno dan Raja Rahwana kepada Kumbakarno. Bukti
adanya sikap-sikap tersebut antara lain di tunjukkan dalam tindakan strategis Sunan Paku Buwana IV atas pengaruh pengetahuan
esoteriknya para kiyai-priyayi yang secara ideologis menganggap Pemerintah
Belanda sebagai kafir ketika peristiwa Pakepung. Etos yang dikembangakan oleh
pihak Kasunanan Surakarta lebih cenderung ke dalam legalisme etik dan etika deontologi sebagaimana teori tradisional.
Objektivikasi etos Sri Mangkunegara IV pada
berbagai ungkapan tersebut secara implisit searah maksutnya dengan bersikap
kritis terhadap masalah kelebihan dan kelemahan seseorang yang tidak terbatas
terhadap para raja semata melainkan meliputi berbagai pihak yang bisa disebut
sebagai leluhur, termasuk para elit
kerajaan yaitu: raja, priyayi dan atau kiyai-priyayi dahulu. Mencermati
penjelasan di atas, maka pola etos Sri Mangkunegara IV pada satu sisi bersikap
kritis dan kreatif yang di dalamnya terkandung sikap mawas diri dan tahu diri (eling) atau ngemong sebagai satu tatanan
sikap hormat dan rukun (tata krama jawa).
Pola etos Sri Mangkunegara IV itu sebagai
perbedaan mendasar dengan pola etos Kasunanan Surakarta. Pihak Kasunanan Surakarta cenderung termasuk kedalam legalisme etik dan
lebih mengedepankan pola etos revivalisme,
perang suci dan magicio-religiouse poractice. Mencermati tiga pola dengan
dasar kecenderungannya itu, maka jika dikaitkan dengan realitas sosial jawa
dalamkondisi pascakolonial dapat berpotensi sebagai spiral kekerasan. Acuan dasar objektivikasi pola etos tindakan
moral Sri Mangkunegara itu yaitu pada tata krama jawa : sikap hormat dan rukun
demi kekeluargaan dan kegotong royongan.
Penjelasan tersebut mengimplikasikan
objektivikasi pola etos yang baru (modern) sebagai wujud transformasi kesadaran
bagi tindakan moral pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV dan terciptanya
keadilan sosial tersebut.
Mencermati penjelasan terakhir tersebut maka
objektivikasi pola etos yang baru (modern) Sri Mangkunegara IV bagi pengalaman
keagamaan (islam) jawa dapat di tunjukkan pada dua hal. Pertama, disimbolkan pada eksistensi semar, sebagai adikodrati,
yang Ilahi, numinus, transendental, dan sebagainya seperti diuraikan di muka. Kedua, proses pembaruan dan transformasi
sosialnya (transformasi kesadaran) melalui transendensi
dalam besikap hormat dan rukun demi kekeluargaan dan gotong royong
disesuaikan bagi dunia kehidupan atau realitas sosial pada masanya dalam
kondisi pascakolonial.
Berbagai penjelasan tentang tiga sistem
nilai-nilai moral budaya jawa dalam kegiatan bermakana spiritual atau makna
internalnya acuan objektivikasi transformasi sosial melalui transendensi
tersebut, erat kaitannya dengan hal-hal yang transendental, karakteristik nilai
moral budaya jawa yang ketiga.
Contoh
prakteknya dalam kehidupan yaitu bersikap baik atau hormat dan rukun serta
peduli terhadap sesama manusia.
C. Transendental
Beberapa makna yang berkaitan dengan kata
“transendental” adalah sesuatu yang secara kualitas teratas, atau di luar apa
yang diberikan oleh pengalaman manusia. Kehidupan mengarah kepada yang
transendental, berarti sebagai yang mampu mengungkapkan seluruh realitas
objektif yang sedang di kerjakan dan mengungkapakan secara total sampai pada
makna-makna hidup yang paling final. Penjelasan makna kata “tansendental” itu secara implisit maksutnya searah dengan
objektivikasi pemikiran atau kongkretisasti tindakan moral Sri Mangkunegara IV
tentang Panembahan Senopati bagi identifikasi tokoh yang di idealkan
(dicita-citakan).
Penjelasan tersebut bukan dimaksutkan
objektivikasi dan tindakan moral Sri Mangkunegara IV dalam rasa sejati sebagai pengalaman keagamaan hanya bagi kalangan
priyayi (elit kerajaan), melainkan merupakan dasar kehendak dengan eksistensi nilai-nilainya yang harus di
kembangkan atau diberdayakan oleh setiap manusia. Karakteristik budaa jawa
sebagai paham tradisionalisme tentang laku dan arti tapabrata ini identifikasi
sembernya dijelaskan C.C.Berg. menurutnya, tidak terbilang banyaknya
cerita-cerita jawa yang mengisahkan tentang makhluk-makhluk (tidak hanya
manusia) karna bertapa (laku) mereka memperoleh kekuatan sedemikian rupa,
sehingga mampu menaklukkan seluruh dunia , bahkan para dewapun takut kepada
mereka. Identifikasi teoritis tentang laku pada pemikiran Sri Mangkunegara IV
bagi proses belajar mengontrol eksistensi sendiri, mengacu pada Panembahan
Senopati raja Mataram, telah dijelaskan di muka.
Etos dagang jawa modern dalam pemikiran Sri
Mangkunegara IV tersebut dapat diperjelas maksutnya melalui sikap-sikap etis dalam tokoh ideal
yang berbeda secara mendasar dengan tokoh ideal dalam kisah Dewaruci. Seandainya
Bima atau Dewaruci bisa sebagai identifikasi manusia, barangkali sejenis manusia metafisik, tetapi belum dengan
dasar-dasar sikap rasionalnya. Sikap-sikap tradisional tersebut secara mendasar
telah dijelaskan perbedaannya dengan sikap dalam tradisionalisme. Objektivikasi
perbedaannya terletak dalam adanya semacam proses rasionalisasi dunia kehidupan jawa.
Objektivikasi dan konkretisasi transformasi
sosial tindakan moralnya adalah bersama-sama berjuang tanpa kekerasan yang merupakan modal utama
bagi ketangguhan sosial. Objektivikasi dan konkretisasi transformasi sosial
tindakan Sri Mangkunegara IV terkait dengan maksutnya terhadap masalah tersebut
di atas tidak hanya sebagai perasaan melainkan suatu pernyataan perbuatan nyata
dan meluas bagi kegiatan-kegiatanya yang bermakna internal, baik dalam
nilai-nilai spiritual (nilai manusiawi) dan bagi eksistensi manusiawi.
Mengacu pejelasan tersebut maka sebagai tambahan
dan rangkuman karakteristik etos tindakan moral pada dataran pemikiran Sri
Mangkunegara IV bagi identifikasi tiga karakteristik sistem nilai-nilai moral
budaya jawa tradisional dimuka dalam tiga arti. Pertama, karakteristik etos tindakan moralnya sebagai objektifikasi
teosentris-humanistik yang maksutnya searah dalam kalimat mamayu ayuning bawana. Kerdua, etos tindakan moralnya
berkarakteristik sebagai objektivikasi sikap transendensi yang maksutnya searah
dengan kalimat tut wuri handayani. ketiga,
etosnya juga berkarakteristik pasca-rasional
sebagai objektivikasi islam yang maksutnya searah dengan kalimat mamangun karyenak tyasing sasami.
Contoh
prakteknya dalam kehidupan yaitu Selaras dengan identitas budaya atau
pengalaman keagamaam (Islam) Jawa.
4.
Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik etos dagang
jawa menurut Raja Mangkunegara IV dan bagaimana contoh prakteknya dalam bidang
perkebunan ?
Jawaban
Identifikasi karakteristik
pembaharuannya itu, terkait pada makna etos di muka (yang terpuji) mungkin
seperti, terciptanya keadaan modern (sesuai) dengan artiya kemajuan yang
manusiawi sebagai kesatuannya pemikiran dan tindakan-tindakan dalam pemahaman
tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa acuan pemikiran etos dagang pada
masanya di bidang perkebunan.
Identifikasi awal sebagai gambaran
tentang pembaharuannya tersebut misalnya, mengutip dari S. Margana, Sri Mangkunegara
IV sejak kecil akrab dengan para inteletual (Pujangga) Jawa dan dari Eropa
(Barat) terutama orangorang Belanda di Surakarta mewakili pemerintah dan
administrasinya. Mereka yang dari Jawa: Raden Ngabehi Rangga Warsita (R.Ng.
Rangga Warsita), Joyo Saroso, Wiryo Kusumo, Sunan Paku Buwana IX, Raden Ngabehi
Yasa Dipura II.
Mereka dari Eropa atau Belanda seperti,
Tuan Fredick Winter (C.F. Winter), Dr. J.F.C. Gericke, penerjemah Injil dari
Perhimpunan Injil Belanda, J.A Wilkens, A.E. Cohen Stuart, Dr. D.L. Mounier,
dan lainnya. C.F. Winter berteman akrab dengan Sri Mangkunegara IV sejak masih
bernama Raden Mas Gondokusumo, maka dia tahu benar bakatnya di bidang sastra.
Menurut S. Margana, Sri Mangkunegara IV adalah saksi dari kegiatan para
pujangga Jawa dan sarjana Barat atau Belanda pada masanya memiliki pengaruh
besar bagi perkembangan pergaulan sosial masyarakat Jawa melalui bidang seni
wayang, karawitan (gamelan: musik Jawa), sastra, dan sebagainya. Sri
Mangkunegara IV dengan segala daya upayanya itu berperanan besar bagi kemajuan
dan perkembangan budaya Jawa maka tidak berlebihan jika Pegeaud menyebutnya
sebagai seorang maecenas.
Bukan dimaksud pada kajian ini untuk
memahamkan tentang corak pembaharuan pemikiran Sri Mangkunegara IV pada
karya-karya sastranya para ahli tersebut. Melainkan, cara-caranya bersikap
dalam pergaulan terhadap salah satu atau berbagai pihak yang berkepentingan
pada masanya dimungkinkan tercipta keadaan yang sesuai (modern) dengan kemajuan
yang manusiawi menurut bidang dan peritiwanya masing-masing.
Identifikasi karakteristiknya kemajuan
yang manusiawi ini ditunjukkan dalam pemahamannya tiga sistem nilai-nilai moral
budaya Jawa sebagai karakteristik pemikiran etos dagang pada masanya terutama
di bidang perkebunan. Mencermati makna etos tersebut di muka dan kaitannya
dengan caracaranya bersikap dalam pergaulan itu, maka acuan teoritisnya adalah
melalui prinsip hormat dan kerukunan. Sebab dua prinsip itu, menurut F.M.
Suseno, di satu sisi kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam
masayarakat Jawa dan sebagai dinamikanya cara bersikap toleransi di sisi
lainnya.
Karakteristik etos dan struktur pemikiran stakeholders-approach demi efisiensi
tujuan etos dagangnya yang baru (modern) di bidang perkebunan, justru identifikasi kualitas moralnya bertambah. Maksutnya karakteristik etos pemikiran Sri
Mangkunegara IV yang pasca-Konvensional ciri kedalamnya bertambah dua, yaitu orientasi kontrak-sosial legalistis dan orientasi etika yang universal. Identifikasi konkretisasinya yang pertama ditunjukkan dalam caranya bersikap tanggung jawab selalu berdasar pada nilai-nilai
moral budaya Jawa yang bersikap baik atau hormat dengan taat terhadap legalitas
kekuasaan Pemerintah Belanda.
Identifikasi konkretisasinya yang kedua, dalam bersikap baik tersebut
mengimplementasikan motivasi dan maksutnya dalam ketaatan bersifat prima
facie, demi memperjuangkan atau membela martabat manusianya wong cilik. Bukan pekerjaanya yang di
bela, tetapi pada caranya memperlakukan wong
cilik yang hanya dieksploitasi tenaganya ssebagai sarana oleh berbagai
pihak yang berkepentingan (stakeholders)
demi dirinya sendiri melalui perannya, baik dari pihak priyayi maupun para penyewa tanah dan Pemerintah Belanda.
Identifikasi kongkretisasinya dua karakteristik pasca konvensional itu sebagai
kesatuannya yang lain (pasca rasional, super-erogatoris berkemampuan
inventivitas yang pragmatis) menunjukkan strategi Sri Mangkunegara IV itu
sebatas pada wilayah kekuasaan kerajaan Mangkunegaran. Contohnya antara lain,
pada tahun 1861 di bangun pabrik gula Calamadu di bawah pimpinan R.Kamp dari
Eropa dengan sistem penggilingan mesin uap yang mesinya harus di pesan dari
Eropa.
Empat tahun kemudian (1871) di bangun pabrik gula
di Tasik Madu, dengan R.Kamp yang di tunjuk sebagai
Pimpinannya. De Locomotief, seorang ahli dari Jerman dal;am kunjungannya
tanggal 2 september 1881 mengatakan “kedua pabrik gula itu dibuat sedemikian
rupa sehingga bisa menjadi model bagi yang lain. Mangkunegara IV tidak segan
segan mengeluarkan biaya demi pembangunan dan perlengkapan yang modern.”
Sekitar 1874 dia mencoba membudidayakan tanaman
kina di Kabupaten Karanganyar seluas 100 hektar, namun penghasilan laba yang
diperoleh tidak seberapa. Penanaman teh di Kawedanan Tawangmangu seluas sekitar
30 hektar di bawah pengawasan J.B Vogel. Percobaanya ini tidak bisa dilanjutkan
sehingga pada tahun 1874 Sri Mangkunegara IV menghentikan penanaman teh karena
hasilnya kirang memuaskan.
Dia mendirikan pabrik Indigo pada tahun 1880, yang dahulu pernah di budidayakan
Mangkunegara I bekerja sama Residen Van Overstraten umtuk kepentingan kompeni
dalam Tanam Paksa (Cultur stelsel).
Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV dicabut peraturan penanaman itu
sebagai Tanam Paksa. Rencana pendirian pabrik indigo tidak kesampaian, dia mementingkan pabrik bngkil yang
mesinya dari Eropa. Indigo adalah
tumbunhan tropis yang menghasilkan zat warna biru tua berasal dari tumbuhan
nila atau tarum, pemasarannya paling banyak mendatangkan laba di pasar negeri
Belanda.
Daerah-daerah tepian hutan ditanami kopi, lereng
gunung Lawu ditanami kinine dan pala. Demikian maju serta banyaknya uang masuk
dalam kas kerajaan, sehingga dia pernah mengirim misi untuk mengikuti pameran
di Negeri Belanda, berupa alat-alat kesenian (pakaian wayang orang, wayang kulit
dengan seperangkat musikanya (gamelan), srenjata asli Jawa, dan lain-lain.
Tahun 1863, tahun dimulainya ada kantor Pos, di wilayah Mangkunegaran dibangun
beberapa gardu sebagai kantor Pos, mulai tahun 1876 dibuka juga kantor tilgram.
Berdasarkan uraian tersebut, kiranya wajar Ong
Hok Ham mengatakan, Mangkunegaran dilihat oleh banyak sejarawan sebagai yang
paling modern di berbagai Negara waktu itu. Dinasti ini tradisionalismenya
sangat berorientasi keluar (kemajuan) atau “outward
looking”, berlawanan dengan sikap inward
looking (berorientasi kedalam).
Cukup kiranya sekadar contoh bukti keberhasilan
Sri Mangkuinegara IV dengan etos dagangnya yang baru (modern) dalam bidang
tanah (lungguh) perkebunan.
Strateginya terkait baik pada caranya bersikap baik dan etis sesuai tata krama
Jawa modern dengan kedalaman sikap sepi
ing pamrih: sembah catur, catur upaya, tri-pakara artinya nilai-nilai yang
manusiawi (nilai-nilai dasar manusiawi) acuan dasar sikap eling kepada yang Ilahi
(Transendental) . Sikap-sikap etisnya itu sebagai objektivikasi (kongkretisasi)
dimaksutkan prima facie seperti etika
keadilan dan kepedulian demi perhatian semestinya dengan makna etisnya, yaitu
jangan merugikan orang lain (ojo mituni
wong liya).
Komentar
Posting Komentar