MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.


RESUME BUKU
ETOS DAGANG ORANG JAWA
PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV
KARYA : DRS. DARYONO, MSI.


TUGAS MATA KULIAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN PENGAMPU : DRS. DARYONO, MSI.

DISUSUN OLEH :
NAMA                  : ANISATUL MUAWANAH
NIM                      : B.231.16.0486
HARI/ JAM           : SELASA / 20.00 WIB

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEMARANG
2016
1.  Uraikan dan jelaskan pengertian etos dan bagaimana contoh prakteknya dalam kehidupan?
Jawaban
Secara etimologis, etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan, kebiasaan atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nila-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Sebagai suatu subjek dari arti etos tersebut adalah etika yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu maupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakan itu salah atau benar, buruk atau baik.
Franz Magnis Suseno (ditulis F.M. Suseno) menjelaskan, antara sikap moral dengan etos ada kesamaan, namun tidak identik. Kesamaannya terletak pada kemutlakan sikap itu, sedang perbedaannya terletak pada tekanannya. Sikap moral, menegaskan orientasi pada norma-norma sebagai suatu standard yang harus diikuti, sementra etos menegaskan bahwa sikap itu merupakan sikap yang sudah mantap dan atau sudah menjadi kebiasaan, suatu yang nyatanyata mempengaruhi, dan menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang mendekati (melakukan sesuatu). Karenanya, istilah “etos” diungkapkan sebagai semangat dan sikap batin yang tetap pada seseorang atau sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu.
Mencermati penjelasan makna etos tersebut berarti, dalam kata “etos” mengandung dua nilai yang merupakan satu kesatuan. Pertama, nilai-nilai moral sebagai orientasi dalam bersikap atau bertingkahlaku, dan penghayatan atau pelaksanaan sikapnya itu dalam kehidupan. Eksistensi nilai-nilai moral tersebut berarti, di satu pihak berada dalam pikiran atau konsep serta dihayati pelaksanaannya atau dipraktekkan dalam kehidupannya, di pihak lainnya.

Contoh Prakteknya Dalam Kehidupan, yaitu:
G  Dalam bekerja tidak meninggalkan shalat
G  Mau mendengarkan saran atau masukan dari orang lain saat rapat
G  Memberikan pelayanan yang baik pada pelanggan
G  Bertanggung jawab dengan pekerjaannya
G  Bersaing dalam bekerja dengan sehat
G  Tidak berkorupsi
G  Tidak melakukan kolusi pada saat bekerja
G  Tidak suka menipu dalam bekerja
G  Dalam bekerja tidak menjual makanan/minuman basi
G  Tidak melakukan nepotisme dalam bekerja
G  Tidak sombong dengan pekerjaanya
G  Tidak iri hati dengan pekerjaan orang lain
G  Mencintai pekerjaannya sendiri
G  Melakukan pekerjaan dengan niat yang penuh
G  Teliti dalam setiap melakukan pekerjaan
G  Bekerja dengan efektif
G  Bersyukur dengan apa yang telah dimiliki
G  Tidak sewenang-wenang pada bawahan.
G  Tidak malas dalam mengerjakan tugas

2.  Menurut tradisi jawa untuk meraih prestasi hidup atau agar cita-cita cepat berhasil salah satu caranya adalah dengan memperbanyak puasa atau bertapa yang teknis pelaksanaannya telah diperbaharui oleh Raja Mangkunegara IV. Uraikan dan jelaskan berbagai macam cara berpuasa atau bertapa dan bagaimana pembaharuannya dari Raja Mangkunegara IV?
Jawaban
Macam-Macam Puasa Kejawen :
1.        MUTIH
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : “niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahir dipun ijabahi gustiallah.”
2.        NGERUH
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran dan buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur, dsb.
3.        NGEBLENG
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.
4.        PATIGENI
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah mantra puasa pati geni: “niat ingsun pati geni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka karena Allah taala”.
5.        NGLOWONG
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.
6.        NGROWOT
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.
7.        NGANYEP
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.
8.        NGIDANG
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.
9.        NGEPEL
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
10.    NGASREP
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.
11.    SENIN-KAMIS
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.
12.    WUNGON
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.
13.    TAPAJEJEG
Tidak duduk selama 12 jam
14.    LELONO
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 5 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
15.    TAPA KUNGKUM
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan tapa ini. Tatacara tapa kungkum adalah sebagai berikut :
a)         Masuk kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk) didalam air dengan kedalaman air se tinggi leher.
b)        Biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai
c)         Menghadap melawan arus air
d)        Memilih tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur didasar.
e)         Lingkungan harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana
f)          Dilaksanakan mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15 menit).
g)         Tidak boleh tertidur selama Kungkum
h)         Tidak boleh banyak bergerak
i)           Sebelum masuk ke sungai disarankan untuk melakukan ritual pembersihan (mandi dulu)
j)          Pada saat akan masuk air baca mantra ini :“ Putih-putih mripatku Sayidina Kilir, Ireng-ireng mripatku Sunan Kali Jaga, Telenging mripatku Kanjeng Nabi Muhammad.”
k)        Pada saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dadal) Nafas teraturm) Kungkum dilakukan selama 7 malam biasanya
16.    TAPANGALONG
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.
17.    TAPANGELUWENG
Tapa Ngeluweng adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluweng disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluweng adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan, jin dlsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan baca mantra ini: “Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu maang jiwa insun, lebur kaya dene banyu krana Allah Ta’ala.”
Dalam melakoni puasa-puasa diatas, bagi pemula sangatlah berat jika belum terbiasa. Oleh karena itu disini akan dibekali dengan ilmu lambung karang. Ilmu ini berfungsi untuk menahan lapar dan dahaga. Dengan kata lain ilmu ini dapat sangat membantu bagi oarang-orang yang masih ragu-ragu dalam melakoni puasa-puasa diatas. Selain praktis dan mudah dipelajari, sebenarnya ilmu lambung karang ini berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang kebanykan harus ditebus/dimahari dengan puasa. Selain itu syarat atau cara mengamalkannyapun sangat mudah, yaitu :
1.) Mandi keramas/jinabat untuk membersihkan diri dari segala macam kekotor
2.) Menjaga hawa nafsu.
3.) Baca mantra lambung karang ini sebanyak 7 kali setelah shalat wajib 5 waktu, yaitu :
Bismillahirrahamanirrahim Cempla cempli gedhene Wetengku saciplukan bajang Gorokanku sak damiak ing Kapan ing sun nuruti budine Aluamah kudu amangan wareg Ngungakna mekkah madinah Wareg tanpa mangan apa ning sun nuruti budine Aluamah kudu angombe Ngungakna segara kidul Wareg tanpa angombe Laailahaillallah Muhammad Rasulullah.
Selain melakoni puasa-puasa diatas masyarakat kejawen juga melaksanakan ibadah puasa-puasa sesuai tuntunan lslam, seperti Puasa Ramadhan, Senin Kamis, Puasa Syawal, Puasa Tasri’ 11-12-13 Dzulhijah, Puasa Nabi Daud AS dll. Inti dari semua ibadah puasa tujuannya hanya satu yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT agar diterima iman serta lslamnya.
3.  Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik nilai-nilai moral budaya jawa dan bagaimana contoh prakteknya masing-masing dalam kehidupan ?
Jawaban
Karakteristik nilai-nilai moral budaya jawa, yaitu :
A.  Harmonis
Karakteristik inti dari pandangan harmonis adalah menciptakan dan menjaga kesesuaian dan keselarasan hubungan antar sesame manusia, masyarakat dan dengan alam.Ketiganya merupakan satu system yang bisa disebut sebagai “pandangan dunia jawa”. Talok ukur arti pandangan dunia bagi orang jawa adalah nilai pragmatisnya agar tercapai keadaan psikis tertentu: ketenangan. Ketentraman dan keseimbangan batin. Karenanya, maksut pandangan dunia jawa ini tidak hanya terbatas bagi agama-agama formal dan mitos, melainkan juga seperti maksut istilah kejawen.
Cara hidup dan sikap sikap yang diperlihatkan oleh para tokoh wayang, menurut F.M Suseno merupakan acuan identifikasi pemikiran orang jawa sejak kecil. Dia memiliki sejumlah besar kemungkinan identifikasi moral dari padanya. Ia bisa memilih suatu model yang cocok, yang di harapkan akan dapat diterima dalam masyarakatnya. Berbagai penjelasan tentang wayang tersebut, disatu pihak sebagai acuan analisis untuk mengkaji sikap hormat Sri Mangkunegara IV terhadap apa saja dan siapa saja sesuai dengan tradisi ritual jawa yang diungkapkan dalam pertunjukan wayang.
Berikut ini analisis dan pemahaman pemikiran Sri Mangkunegara IV tentang objektivikasi tindakan moral dan transformasi sosial nilai-nilai moral budaya jawa dalam tradisi pertunjukan wayang yang sesuai pada zamannya. Pertama, di ambil dari kisah perjuangan Sumantri, ketika nyuwita atau ngenger kepada Prabu Arjuna Sasrabahu yang menjadi Raja kerajaan Mahespati. Kisah tersebut merupakan pendahuluan dari kisah kepahlawana dalam Ramayana. Berkat keluhuran budi atau keuatamaan dan keberhasilannya dalam menjalankan berbagai tugas dari rajanya, dia diangkat sebagai pejabat tertinggi setelah raja, yaitu Patih dan bernama Patih Suwanda. Kedua, tentang kepahlawanan Kumbakarno adalah seorang kesatria raksasa dari kerajaan Alengka, sebagai kisah dalam Ramayana. Inti motivasi kepahlawannya bukan membela Raja Rahwana yang terkenal berwatak angkara murka, melainkan berdasarkan kesadaran budi luhurnya atau sifat keutamaannya sebagai kesatria yang berkewajiban menjaga dan membela Negara Alengka. Ketiga, kisah dalam Mahabarata  tentang kepahlawanan Adipati Karno dari pihak Kurawa yang gugur melawan Arjuna (Sanjaya) dari pandawa. Adipati karno sebenarnya adalah kakak seibu lain ayah dengan Arjuna. Adipati karno ketika  nyuwita pada Prabu Suyudana diberi kerajaan Ngawangga, sehingga ia merasaa berhutang budi padanya. Motivasi kepahlawanannya di pihak kurawa berarti bahwa membalas budi itulah yang memberikan nilai dirinya sebagai orang utama atau berbudi luhur.
Objektivikasi pemikiran Sri Mangkunegara IV dengan menampilkan perlambang raksasa Kumbakarno sebagai martabat manusia tersebut, di satu sisi sebagai objektivikasi teori kritis terhadap budaya jawa tentang eksistensi manusia. Maksutnya adalah secara radikal memiliki pandangan tentang kajian antara teori dan praktik.Dengan demikian teori kritis sesungguhnya justru merupakan teori perubahan sosial atau transformasi sosial. Akantetapi, pemikirannya tersebut juga menjadi kongkretisasi transformasi sosial tentang keutamaan jawa atau nilai-nilai moral budaya jawa dalam pandangan hidup yang di cita-citakan priyayi.
Pembaruan pola etos Sri Mangkunegara IV menunjukkan suatu pola strateginya pada perjuangan tanpa kekerasan. Menurut Soejatmoko, pola strategi itu merupakan modal dan dasar ketangguhan utama ketangguhan social, baik dalam satu tatanan etiket (tata karma jawa: sikap hormat dan rukun) maupun bagi identitas budaya masyarakat jawa sesuai pada masanya dalam kondisi pascakolonial.
Pola etos pemikiran dan transformasi tindakan moral Sri Mangkunegara IV yang sesuai pada masanya khusus dalam pergaulan sosial dibidang sastra dan pengalaman keagamaan jawa. Sikap demikian itulah etos tindakan moral Sri Mangkunegara IV berkarakteristik perjuangan tanpa kekerasan dan ketahanan sosial. Nilai-nilai moral budaya jawa, di satu sisi, difungsikan sebagai tata krama jawa dalam pergaulan sosial, juga menyatu sebagai suatu “proses belajar” besama anggota masyarakat jawa dengan berbagai pihak yang berkepentingan dalam kondisi pascakolonial pada sisi lain.
Mencermati penjelasan di atas maka prinsip-prinsip moral pada etos tindakan Sri Mangkunegara IV sebagaimana telah diuraikan pada karakteristik harmonis, akan dijadikan sebagai acuan pendekatan kritik negative terhadap beberapa kepustakaan jawa sebagai sumber ajaran moral jawa. Pendekaran kritik negative ini merupakan kelanjutan tiga system nilai-nilai moral budaya jawa yang kedua, yaitu structural fungsional.Uraian pemahaman mengenai hal ini kurang lebih sebagai berikut.
Contoh prakteknya dalam kehidupan yaitu bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja. Sesungguhnya bahwa segala hal bentuk hubungan dalam masyarakat Jawa bersifat teratur secara hierarkis. Keteraturan tersebut bernilai pada dirinya sendiri sehingga semua orang harus mempertahankannya dan membawa diri sesuai dengan hal itu.
B.   Struktural fungsional
Maksut dua kata ini terkait dengan adanya asumsi pemahaman bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempatnya masing-masing sehingga ia harus berprilaku atau bekerja sesuai tempat keberadaanya. Struktural fungsional tidak dimaksutkan sebagai struktur dalam arti sebagai stratifikasi sosial masyarakat jawa seperti menurut Clifford Gertz yang membagi stratifikasi tersebut menjadi priyayi, santri dan abangan.Alasan pertama karena, menurut Zaini Muchtarom, pembagian orang jawa (priyayi, santri dan abangan) dari penafsiran Gertz telah mengacaukan atau menyesatkan. Kedua, menurut Harsja W Bachtiar, Priyayi merupakan status atau golongan sosial dalam komunitas jawa, sehingga tidak menunjukkan salah satu tradisi keagamaan khusus. Seorang priyayi bisa seorang muslim saleh dan muslim statistik sekaligus, mereka juga dapat termasuk orang hindu, budha dan kristen.
Oleh karna itu yang di maksut dengan istilah struktural fungsional  di sini adalah struktur sosial nilai-nilai moral budaya jawa. Maksutnya struktur di sini adalah bangunan ide para pujangga tentang nilai-nilai moral, dan cara-cara mengfungsikan atau teknis pemberdayaannya bagi konsep antar individu dalam dunia atau realitas sosial jawa. Penjelasan tersebut, secara implisit searah dengan yang dimaksutkan Fachry Ali tentang ajaran moral dan budaya jawa yang difungsikan sebagai ideologi, terutama sebagai corak hidup, seluruh kalangan bangsawan (priyayi) juga dapat memberi arah cara bersikap bagi seluruh rakyat jawa.
Mencermati penjelasan tersebut, maka berbagai kepustakaan jawa baik karya Sri Mangkunegara IV dan para pujangga lain, dari Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, dipahami ajaran-ajaran moralnya dan ungkapan sikapnya lebih cenderung dan tidaknya pada guilt societes (individualisme) atau shamesocietes (kolektivisme) atau campuran keduanya. Yang dimaksut dengan kecenderungan atau tidaknya itu, baik kaitanya dengan tiga kebijakan politiknya Pemerintah Belanda atau dalam pandangan dunia dan hidup jawa serta bagi pengalaman keagamaan pada masanya yang berada dalam kondisi pascakolonial.
Misalnya dalam suatu karya Sunan Paku Buwana IV Serat Wulangreh memuat bait-bait yang menguraikan berbagai ajaran moral bagi priyayi yang baru ngenger kepada raja. Dia harus dengan ikhlas lahir batin mengikuti segala perintah raja. Ia tidak boleh ragu, dan harus mengumpamakan dirinya seperti “sarah mungeng jalandri, darma lumaaku sapakon”, artinya sebagai sampah dilaut wajib berjalan menurut perintahnya. Dia harus madep dan mantep, artinya mantap dan tidak gentar menghadapi kesukaran. Dia harus memelihara milik raja dengan gemi (tidak boros), terhadap perintahnya ia harus nastiti (memperhatikan dengan cermat) dan ngati-ati artinya hati-hati dalam menjaga tuanya atau rajanya siang dan malam. Ketika di pasebon, ia harus datang lebih dahulu sebelum rajanya dan wajib secara tertib menghadap di paseban pada hari-hari tertentu, sekalipun raja tidak keluar dari kedhaton.
Etos kerja priyayi yang demikian itu berdasarkan keyakinan. Seperti dijelaskan Soemarsaid Moertono, bahwa perhatian raja terhadap seluruh abdi (rakyat) bagaikan seorang tuan atau ayah yang mengasuh anak-anaknya dalam pola kekeluargaan, merupakan model baku dalam komunikasi sosial jawa. Karakteristik etosnya bersifat feodalistik. Sartono Kartodirjo menjelaskan ciri etos feodalistik seperti orientasi kepada atasan, dalam melaksanakan tugas hanya menunggu perintah. G Moedrjanto selanjutnya menjelaskan konsep kekuasaan jawa bagi raja tersebut searah atau sesuai dengan maksut kekuasaan sebagaimana dalam paham absolutisme.
Berkaitan dengan berbagai penjelasan di atas, Soemarsaid Moertono memaparakan bahwa dari contoh para dewa, orang jawa mengidentifikasikan dirinya kepada orang-orang besar di masa lalu. Ini merupakan ungkapan sikap-sikap tradisionalismenya. Para raja kasunanan surakarta dan Kasultanan Yogjakarta mencontoh kepada para leluhurnya, nenek moyang raja, terutama Panembahan Senopati atau sultan agung. Menurut D Jong meniru laku panembahan senopati merupakan salah satu hidup orang jawa khususnya bagi kaum priyayi.
Identifikasi terhadap dua pola etos atas sikap tersebut mungkin dapat di kaji pada Serat Tri Pama karya Sri Mangkunegara IV yang di simbolkan pada dua tokoh raja dalam tokoh pewayangan. Pola etos pertama seperti sikapnya Raja Suyudana yang di arahkan kepada Adipati Karno dan Raja Rahwana kepada Kumbakarno. Bukti adanya sikap-sikap tersebut antara lain di tunjukkan dalam tindakan strategis Sunan Paku Buwana IV atas pengaruh pengetahuan esoteriknya para kiyai-priyayi yang secara ideologis menganggap Pemerintah Belanda sebagai kafir ketika peristiwa Pakepung. Etos yang dikembangakan oleh pihak Kasunanan Surakarta lebih cenderung ke dalam legalisme etik dan etika deontologi sebagaimana teori tradisional.
Objektivikasi etos Sri Mangkunegara IV pada berbagai ungkapan tersebut secara implisit searah maksutnya dengan bersikap kritis terhadap masalah kelebihan dan kelemahan seseorang yang tidak terbatas terhadap para raja semata melainkan meliputi berbagai pihak yang bisa disebut sebagai leluhur, termasuk para elit kerajaan yaitu: raja, priyayi dan atau kiyai-priyayi dahulu. Mencermati penjelasan di atas, maka pola etos Sri Mangkunegara IV pada satu sisi bersikap kritis dan kreatif yang di dalamnya terkandung sikap mawas diri dan tahu diri (eling) atau ngemong sebagai satu tatanan sikap hormat dan rukun (tata krama jawa).
Pola etos Sri Mangkunegara IV itu sebagai perbedaan mendasar dengan pola etos Kasunanan Surakarta. Pihak Kasunanan Surakarta cenderung termasuk kedalam legalisme etik dan lebih mengedepankan pola etos revivalisme, perang suci dan magicio-religiouse poractice. Mencermati tiga pola dengan dasar kecenderungannya itu, maka jika dikaitkan dengan realitas sosial jawa dalamkondisi pascakolonial dapat berpotensi sebagai spiral kekerasan. Acuan dasar objektivikasi pola etos tindakan moral Sri Mangkunegara itu yaitu pada tata krama jawa : sikap hormat dan rukun demi kekeluargaan dan kegotong royongan.
Penjelasan tersebut mengimplikasikan objektivikasi pola etos yang baru (modern) sebagai wujud transformasi kesadaran bagi tindakan moral pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV dan terciptanya keadilan sosial tersebut.
Mencermati penjelasan terakhir tersebut maka objektivikasi pola etos yang baru (modern) Sri Mangkunegara IV bagi pengalaman keagamaan (islam) jawa dapat di tunjukkan pada dua hal. Pertama, disimbolkan pada eksistensi semar, sebagai adikodrati, yang Ilahi, numinus, transendental, dan sebagainya seperti diuraikan di muka. Kedua, proses pembaruan dan transformasi sosialnya (transformasi kesadaran) melalui transendensi dalam besikap hormat dan rukun demi kekeluargaan dan gotong royong disesuaikan bagi dunia kehidupan atau realitas sosial pada masanya dalam kondisi pascakolonial.
Berbagai penjelasan tentang tiga sistem nilai-nilai moral budaya jawa dalam kegiatan bermakana spiritual atau makna internalnya acuan objektivikasi transformasi sosial melalui transendensi tersebut, erat kaitannya dengan hal-hal yang transendental, karakteristik nilai moral budaya jawa yang ketiga.
Contoh prakteknya dalam kehidupan yaitu bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli terhadap sesama manusia.

C.  Transendental
Beberapa makna yang berkaitan dengan kata “transendental” adalah sesuatu yang secara kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh pengalaman manusia. Kehidupan mengarah kepada yang transendental, berarti sebagai yang mampu mengungkapkan seluruh realitas objektif yang sedang di kerjakan dan mengungkapakan secara total sampai pada makna-makna hidup yang paling final. Penjelasan makna kata “tansendental”  itu secara implisit maksutnya searah dengan objektivikasi pemikiran atau kongkretisasti tindakan moral Sri Mangkunegara IV tentang Panembahan Senopati bagi identifikasi tokoh yang di idealkan (dicita-citakan).
Penjelasan tersebut bukan dimaksutkan objektivikasi dan tindakan moral Sri Mangkunegara IV dalam rasa sejati sebagai pengalaman keagamaan hanya bagi kalangan priyayi (elit kerajaan), melainkan merupakan dasar kehendak dengan eksistensi nilai-nilainya yang harus di kembangkan atau diberdayakan oleh setiap manusia. Karakteristik budaa jawa sebagai paham tradisionalisme tentang laku dan arti tapabrata ini identifikasi sembernya dijelaskan C.C.Berg. menurutnya, tidak terbilang banyaknya cerita-cerita jawa yang mengisahkan tentang makhluk-makhluk (tidak hanya manusia) karna bertapa (laku) mereka memperoleh kekuatan sedemikian rupa, sehingga mampu menaklukkan seluruh dunia , bahkan para dewapun takut kepada mereka. Identifikasi teoritis tentang laku pada pemikiran Sri Mangkunegara IV bagi proses belajar mengontrol eksistensi sendiri, mengacu pada Panembahan Senopati raja Mataram, telah dijelaskan di muka.
Etos dagang jawa modern dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV tersebut dapat diperjelas maksutnya  melalui sikap-sikap etis dalam tokoh ideal yang berbeda secara mendasar dengan tokoh ideal dalam kisah Dewaruci. Seandainya Bima atau Dewaruci bisa sebagai identifikasi manusia, barangkali sejenis manusia metafisik, tetapi belum dengan dasar-dasar sikap rasionalnya. Sikap-sikap tradisional tersebut secara mendasar telah dijelaskan perbedaannya dengan sikap dalam tradisionalisme. Objektivikasi perbedaannya terletak dalam adanya semacam proses rasionalisasi dunia kehidupan jawa.
Objektivikasi dan konkretisasi transformasi sosial tindakan moralnya adalah bersama-sama berjuang  tanpa kekerasan yang merupakan modal utama bagi ketangguhan sosial. Objektivikasi dan konkretisasi transformasi sosial tindakan Sri Mangkunegara IV terkait dengan maksutnya terhadap masalah tersebut di atas tidak hanya sebagai perasaan melainkan suatu pernyataan perbuatan nyata dan meluas bagi kegiatan-kegiatanya yang bermakna internal, baik dalam nilai-nilai spiritual (nilai manusiawi) dan bagi eksistensi manusiawi.
Mengacu pejelasan tersebut maka sebagai tambahan dan rangkuman karakteristik etos tindakan moral pada dataran pemikiran Sri Mangkunegara IV bagi identifikasi tiga karakteristik sistem nilai-nilai moral budaya jawa tradisional dimuka dalam tiga arti. Pertama, karakteristik etos tindakan moralnya sebagai objektifikasi teosentris-humanistik yang maksutnya searah dalam kalimat mamayu ayuning bawana. Kerdua, etos tindakan moralnya berkarakteristik sebagai objektivikasi sikap transendensi yang maksutnya searah dengan kalimat tut wuri handayani. ketiga, etosnya juga berkarakteristik pasca-rasional sebagai objektivikasi islam yang maksutnya searah dengan kalimat mamangun karyenak tyasing sasami.
Contoh prakteknya dalam kehidupan yaitu Selaras dengan identitas budaya atau pengalaman keagamaam (Islam) Jawa.

4.  Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik etos dagang jawa menurut Raja Mangkunegara IV dan bagaimana contoh prakteknya dalam bidang perkebunan ?
 Jawaban
Identifikasi karakteristik pembaharuannya itu, terkait pada makna etos di muka (yang terpuji) mungkin seperti, terciptanya keadaan modern (sesuai) dengan artiya kemajuan yang manusiawi sebagai kesatuannya pemikiran dan tindakan-tindakan dalam pemahaman tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa acuan pemikiran etos dagang pada masanya di bidang perkebunan.
Identifikasi awal sebagai gambaran tentang pembaharuannya tersebut misalnya, mengutip dari S. Margana, Sri Mangkunegara IV sejak kecil akrab dengan para inteletual (Pujangga) Jawa dan dari Eropa (Barat) terutama orangorang Belanda di Surakarta mewakili pemerintah dan administrasinya. Mereka yang dari Jawa: Raden Ngabehi Rangga Warsita (R.Ng. Rangga Warsita), Joyo Saroso, Wiryo Kusumo, Sunan Paku Buwana IX, Raden Ngabehi Yasa Dipura II.
Mereka dari Eropa atau Belanda seperti, Tuan Fredick Winter (C.F. Winter), Dr. J.F.C. Gericke, penerjemah Injil dari Perhimpunan Injil Belanda, J.A Wilkens, A.E. Cohen Stuart, Dr. D.L. Mounier, dan lainnya. C.F. Winter berteman akrab dengan Sri Mangkunegara IV sejak masih bernama Raden Mas Gondokusumo, maka dia tahu benar bakatnya di bidang sastra. Menurut S. Margana, Sri Mangkunegara IV adalah saksi dari kegiatan para pujangga Jawa dan sarjana Barat atau Belanda pada masanya memiliki pengaruh besar bagi perkembangan pergaulan sosial masyarakat Jawa melalui bidang seni wayang, karawitan (gamelan: musik Jawa), sastra, dan sebagainya. Sri Mangkunegara IV dengan segala daya upayanya itu berperanan besar bagi kemajuan dan perkembangan budaya Jawa maka tidak berlebihan jika Pegeaud menyebutnya sebagai seorang maecenas.
Bukan dimaksud pada kajian ini untuk memahamkan tentang corak pembaharuan pemikiran Sri Mangkunegara IV pada karya-karya sastranya para ahli tersebut. Melainkan, cara-caranya bersikap dalam pergaulan terhadap salah satu atau berbagai pihak yang berkepentingan pada masanya dimungkinkan tercipta keadaan yang sesuai (modern) dengan kemajuan yang manusiawi menurut bidang dan peritiwanya masing-masing.
Identifikasi karakteristiknya kemajuan yang manusiawi ini ditunjukkan dalam pemahamannya tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa sebagai karakteristik pemikiran etos dagang pada masanya terutama di bidang perkebunan. Mencermati makna etos tersebut di muka dan kaitannya dengan caracaranya bersikap dalam pergaulan itu, maka acuan teoritisnya adalah melalui prinsip hormat dan kerukunan. Sebab dua prinsip itu, menurut F.M. Suseno, di satu sisi kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masayarakat Jawa dan sebagai dinamikanya cara bersikap toleransi di sisi lainnya.
Karakteristik etos dan struktur pemikiran stakeholders-approach demi efisiensi tujuan etos dagangnya yang baru (modern) di bidang perkebunan, justru identifikasi kualitas moralnya bertambah. Maksutnya karakteristik etos pemikiran Sri Mangkunegara IV yang pasca-Konvensional ciri kedalamnya bertambah dua, yaitu orientasi kontrak-sosial legalistis dan orientasi etika yang universal. Identifikasi konkretisasinya yang pertama ditunjukkan dalam caranya bersikap tanggung jawab selalu berdasar pada nilai-nilai moral budaya Jawa yang bersikap baik atau hormat dengan taat terhadap legalitas kekuasaan Pemerintah Belanda.
Identifikasi konkretisasinya yang kedua, dalam bersikap baik tersebut mengimplementasikan motivasi dan maksutnya dalam ketaatan bersifat  prima facie, demi memperjuangkan atau membela martabat manusianya wong cilik. Bukan pekerjaanya yang di bela, tetapi pada caranya memperlakukan wong cilik yang hanya dieksploitasi tenaganya ssebagai sarana oleh berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) demi dirinya sendiri melalui perannya, baik dari pihak priyayi maupun para penyewa tanah dan Pemerintah Belanda.
Identifikasi kongkretisasinya dua karakteristik pasca konvensional itu sebagai kesatuannya yang lain (pasca rasional, super-erogatoris berkemampuan inventivitas yang pragmatis) menunjukkan strategi Sri Mangkunegara IV itu sebatas pada wilayah kekuasaan kerajaan Mangkunegaran. Contohnya antara lain, pada tahun 1861 di bangun pabrik gula Calamadu di bawah pimpinan R.Kamp dari Eropa dengan sistem penggilingan mesin uap yang mesinya harus di pesan dari Eropa.
Empat tahun kemudian (1871) di bangun pabrik gula di Tasik Madu, dengan R.Kamp yang di tunjuk sebagai Pimpinannya. De Locomotief, seorang ahli dari Jerman dal;am kunjungannya tanggal 2 september 1881 mengatakan “kedua pabrik gula itu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menjadi model bagi yang lain. Mangkunegara IV tidak segan segan mengeluarkan biaya demi pembangunan dan perlengkapan yang modern.”
Sekitar 1874 dia mencoba membudidayakan tanaman kina di Kabupaten Karanganyar seluas 100 hektar, namun penghasilan laba yang diperoleh tidak seberapa. Penanaman teh di Kawedanan Tawangmangu seluas sekitar 30 hektar di bawah pengawasan J.B Vogel. Percobaanya ini tidak bisa dilanjutkan sehingga pada tahun 1874 Sri Mangkunegara IV menghentikan penanaman teh karena hasilnya kirang memuaskan.
Dia mendirikan pabrik Indigo pada tahun 1880, yang dahulu pernah di budidayakan Mangkunegara I bekerja sama Residen Van Overstraten umtuk kepentingan kompeni dalam Tanam Paksa (Cultur stelsel). Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV dicabut peraturan penanaman itu sebagai Tanam Paksa. Rencana pendirian pabrik indigo tidak kesampaian, dia mementingkan pabrik bngkil yang mesinya dari Eropa. Indigo adalah tumbunhan tropis yang menghasilkan zat warna biru tua berasal dari tumbuhan nila atau tarum, pemasarannya paling banyak mendatangkan laba di pasar negeri Belanda.
Daerah-daerah tepian hutan ditanami kopi, lereng gunung Lawu ditanami kinine dan pala. Demikian maju serta banyaknya uang masuk dalam kas kerajaan, sehingga dia pernah mengirim misi untuk mengikuti pameran di Negeri Belanda, berupa alat-alat kesenian (pakaian wayang orang, wayang kulit dengan seperangkat musikanya (gamelan), srenjata asli Jawa, dan lain-lain. Tahun 1863, tahun dimulainya ada kantor Pos, di wilayah Mangkunegaran dibangun beberapa gardu sebagai kantor Pos, mulai tahun 1876 dibuka juga kantor tilgram.
Berdasarkan uraian tersebut, kiranya wajar Ong Hok Ham mengatakan, Mangkunegaran dilihat oleh banyak sejarawan sebagai yang paling modern di berbagai Negara waktu itu. Dinasti ini tradisionalismenya sangat berorientasi keluar (kemajuan) atau “outward looking”, berlawanan dengan sikap inward looking (berorientasi kedalam).
Cukup kiranya sekadar contoh bukti keberhasilan Sri Mangkuinegara IV dengan etos dagangnya yang baru (modern) dalam bidang tanah (lungguh) perkebunan. Strateginya terkait baik pada caranya bersikap baik dan etis sesuai tata krama Jawa modern dengan kedalaman sikap sepi ing pamrih: sembah catur, catur upaya, tri-pakara artinya nilai-nilai yang manusiawi (nilai-nilai dasar manusiawi) acuan dasar sikap eling  kepada yang Ilahi (Transendental) . Sikap-sikap etisnya itu sebagai objektivikasi (kongkretisasi) dimaksutkan prima facie seperti etika keadilan dan kepedulian demi perhatian semestinya dengan makna etisnya, yaitu jangan merugikan orang lain (ojo mituni wong liya). 


Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA