MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

 BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir.

Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.[1]

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen?

2.      Bagaiman Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen?

3.      Bagaimana Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ?

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Penjelasan Umum Perlindungan Konsumen

Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[2]

Didalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen dan konsumen antara. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hokum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.[3]

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan /atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.[4]

Konsumen membutuhkan produksi barang atau jasa sesuai dengan keperluan sehari-hari. Masyarakat yang memproduksi barang dan jasa perlu memerhatikan kebutuhan-kebutuhan konsumen yang mengonsumsi. Sehubungan dengan konsumsi John M Keynes berpendapat, “ He argued that proper role of a national government is to make up for private undercomsumption by undertaking its own spending on final goods and services and by reducing taxes to stimulate increased private spending.”[5]

Jumlah penduduk yang semakin meningkat memberikan dorongan pada peningkatan konsusmsi. Kebutuhan konsumsi masyarakat berpenduduk banyak, membutuhkan pelayanan yang bervariasi. Konsumsi yang bervariasi memudahkan produsen dalam memenuhi salah satu jenis konsumsi yang dibutuhkan masyarakat. Anggota masyarakat pedesaan maupun perkotaan mempunyai kekhusussan prosuksi yang dibutuhkan untuk konsumsi dirinya dan konsumen. Masyarakat yang memiliki pengetahuan ilmu konsumsi diharapkan mampu memproduksi barang atau jasa untuk di konsumsi sendiri maupun konsumen.[6]

Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.[7]

Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.[8]

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindunga Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.[9]

Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. [10]

Konsumen menurut Undang-Undang adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. Dalam hal ini, Undang-Undang hanya menekankan pada sifat penggunaan dan pemakaian barang atau jasa tersebut, dengan tidak membedakan untuk kepentingan siapa barang atau jasa tersebut dipakai atau dipergunakan.[11]

Di samping itu, undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaanya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.[12]

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan  Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti :[13]

1.         Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang barang, menjadi undang-undang ;

2.         Undang-undang Nomor 2 tahun 1966 tentang Hygiene

3.         Undang-undang Nomor 5 tahun 1975 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah

4.         Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

5.         Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan

6.         Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian

7.         Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

8.         Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri

9.         Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tenatang Kesehatan

10.     Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Aggrement Establishing The World Trade Organizatioan ( Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia )

11.     Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

12.     Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

13.     Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

14.     Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987

15.     Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan AtasUndang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten

16.     Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek

17.     Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

18.     Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran

19.     Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan

20.     Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan[14]

Perlindungan Konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang  tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.[15]

 

 

 

B.     Asas dan Tujuan

Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.[16]

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu :

1.         Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2.         Asas keadilan, dimaksukan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3.         Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.

4.         Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5.         Asas kepastian hukum, dimasudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. [17]

 

Perlindungan konsumen bertujuan:[18]

1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan.atau jasa

3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

4.      Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi

5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentinganya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha

6.      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.[19]

 

C.    Hak dan Kewajiban

Berdasarkan Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, hak dan kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut:[20]

1.      Hak Konsumen

a.       Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

c.       Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

d.      Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunkan

e.       Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsmen secara patut

f.       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g.      Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

h.      Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak semana mestinya

i.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.[21]

2.      Kewajiban Konsumen

a.       Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

b.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa

c.       Membayar seusai dengan nilai tukar yang disepakati

d.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. [22]

 

D.    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut:[23]

1.      Hak Pelaku Usaha

a.       Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

b.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik

c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

d.      Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.[24]

2.      Kewajiban Pelaku Usaha

a.       Baritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

c.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

d.      Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang dan.atau jasa yang berlaku

e.       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat atau diperdagangkan

f.       Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g.      Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.[25]

 

 

 

 

E.     Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan / mempromosikan / mengiklankan, larangan penjualan secara obral/lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan.[26]

1.      Larangan dalam Memproduksi/Memperdagangkan

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan dan/atau jasa yang :

a.       Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di persyaratkan dan ketentuan perundang-undangan

b.      Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam lebel atau etiket barang tersebut.

c.       Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan dalam menurut ukuran yang sebenarnya.

d.      Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

e.       Tidak seusai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan jasa tersebut.

f.       Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut.

g.      Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

h.      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana dinyatakan “Halal” yang dicantumkan dalam label

i.        Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan menurut ketentuan harus dipasang/dibuat

j.        Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan prundang-undangan yang berlaku.[27]

Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa informasi secara lengkap dan benar atasa barang yang dimaksud.[28]

Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan diatas, dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.[29]

2.      Larangan dalam Menawarkan / Mempromosikan / Mengiklankan.

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatau barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:[30]

a.       Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standart mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karajteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu

b.      Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru

c.       Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.

d.      Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi

e.       Barang atau jasa tersebut tersedia

f.       Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi

g.      Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu

h.      Barang tersebut berasal dari daerah tertentu

i.        Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan jasa lain

j.        Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap

k.      Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan, misalnya:[31]

a.       Harga atau tarif suatau barang atau jasa

b.      Kegunaan suatu barang atau jasa

c.       Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa

d.      Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan

e.       Bahaya penggunaan barang atau jasa

Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang daoat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. [32]

Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang, misalnya :

a.       Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan

b.      Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi[33]

 

 

3.      Larangan dalam Penjualan Secara Obral/Lelang

Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen, antara lain:[34]

a.       Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standart mutu tertentu

b.      Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi

c.       Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain

d.      Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang lain

e.       Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup ddengan maksud menjual jasa yang lain

f.       Menaikan harga atau tarif barang dan jasa sebelum melakukan obral.

 

4.      Larangan dalam Periklanan

Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, misalnya :

a.       Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa.

b.      Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang atau jasa tersebut

c.       Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa

d.      Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan atau jasa

e.       Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan

f.       Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan[35]

F.     Klausula Baku dalam Perjanjian

Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian antara lain:[36]

1.      Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

2.      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen

3.      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen

4.      Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindak sepihak yang berkaitan dengan barang yang diberi konsumen secara angsuran

5.      Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

6.      Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa

7.      Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

8.      Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen seara anggsuran.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klasula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memeuhi ketentuan sebagaimana telah dinayatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan undang-undang.

 

G.    Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan / jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.[37]

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi kerugian atau kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.[38]

Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang, penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[39]

Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan Pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19.[40]

Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan dan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.[41]

 

Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:[42]

1.      Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang atau jasa tersebut.

2.      Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.

Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang atau jasa tersebut.[43]

Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang di derita konsumen, apabila:[44]

1.      Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan.

2.      Cacat barang timbul pada kemudian hari.

Cacat timbul di kemudian hari adalah seduah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.

3.       Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.

Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdassrkan kesepakatan semua pihak.

4.      Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.

5.      Lewatnya jangka waktu penentuan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah garansi.[45]

H.    Sanksi

Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, yang tertulis dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.[46]

1.      Sanksi Administratif

a.       Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, pasal 25, dan Pasal 26.

b.      Sankso administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2.      Sanksi Pidana

a.       Pelaku usaha yang menlanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 18 di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimkasud dalam Pasal 11, pasal 12, Pasal 13 yat (1), pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) di pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana dena paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[47]

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:[48]

1.      Perampasan barang tertentu

2.      Pengumuman keputusan hakim

3.      Pembayaran ganti rugi

4.      Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbilnya kerugian konsumen

5.      Kewajiban penarikan barang dari peredaran

6.      Pencabutan izin usaha.

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

1.      Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

2.      Asas Manfaat, memberikan kesempatan kepada konsumen dalam memperoleh hakya. Asas  Keseimbangan,  memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen. Asas Keamanan Dan Keselamatan Konsumen, untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, Asas Kepastian Hukum, yaknik pelaku dan maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan.

3.      Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999, yang tertulis dalam pasal  60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Kansil, Christine S. T. 2001.  Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Keynes, John. 1936. The General Theory of Employment, Interest, and Money. New York: Harcourt, Brace, and Co

Mulyono. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Sari, Elsi Kartika. 2008.  Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT Grasindo.

Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 1999. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta: PT Grafindo  Persada.

 

 

 

 



[1] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 159

[2] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 159

[3] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 159

[4] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2,    

  (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), hlm. 229

[5] John M Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money, (New York: Harcourt,

  Brace, and Co, 1936), hlm. 87

[6] Mulyono, Konsep Pembiayaan Pendidikan, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010),  hlm. 45

[7] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian , hlm.

 229

[8] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian , hlm.

229

[9] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

  229

[10] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

  229

[11] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta: PT Grafindo

    Persada, 1999 ), hlm. 12

[12] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    230

[13] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

  230

[14] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    231

[15] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

  231

[16] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    233

[17] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    234

[18] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    234

[19] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    234

[20] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 161

 

[21] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 161

 

[22] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162

 

[23] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162

 

[24] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162

 

[25] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 163

 

[26] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 163

 

[27] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164

 

[28] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164

 

[29] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164

 

[30] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 165

 

[31] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 165

 

[32] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166

 

[33] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166

 

[34] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166

 

[35] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 167

 

[36] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 167

 

[37] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168

 

[38] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168

 

[39] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168

 

[40] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168

 

[41] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169

 

[42] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    243

[43] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

   243

[44] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169

[45] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

   244

[46] Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169

[47] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    244

[48] Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.

    244

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.