MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

HUKUM RIBA DALAM ISLAM, ARGUMEN TERHADAP PRAKTEK BUNGA SERTA SOLUSI BERBISNIS TANPA RIBA

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang Masalah

Manusia dikaruniai naluri mempertahankan dan melestarikan diri. Karena naluri itu manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Aristoteles mengatakan manusia merupakan zoon politicon, makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Kebutuhan manusia beragam, ada yang bersifat dlaruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat,[1] Pertukaran kebutuhan itu bisa dengan jual beli, sewa menyewa, gadai, mudharabah, ijaroh, dan bentuk aktivitas ekonomi lainnya.  

Aktivitas bisnis sangat kompleks. Dari mulai permodalan, objek bisnis, akad yang digunakan serta cara dalam bisnis tidak lepas dari jangkauan syariat. Padahal kemaslahatan yang dimaksud bisa saja subjektif karena Allah tidak mengharamkan sesuatu kecuali hal itu mengandung kemudaratan (bahaya). Adanya lembaga keuangan yang memberikan jasa permodalan dengan sistem riba membuat masyarakat dilema. Pada satu sisi riba adalah haram, namun pada sisi lain jika tidak ada modal dari lembaga keuangan tersebut bisnis tidak berdiri atau tidak berkembang
dengan pesat.

 

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah sebagai berikut :

1.        Apa yang dimaksud riba dalam islam ?

2.        Apa dampak negatif riba ?

3.        Bagaimana argumen terhadap kebolehan praktek bunga ?

4.        Bagaimana solusi berbisnis tanpa riba ?

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.           Riba dalam Islam

Riba telah dipraktekkan jauh sebelum Islam datang. Riba secara bahasa berarti ziyadah, tambahan, tumbuh, membesar. Riba bisa terjadi pada jual beli atau pertukaran, di mana salah satu pihak melebihkan harta (keuntungan) tanpa adanya imbalan terhadap kelebihan harta tersebut. Riba juga terjadi pada hutang dengan adanya tambahan dari pokoknya dikarenakan adanya waktu tenggang.[2] Larangan riba dalam Islam disyariatkan secara gradual. Ayat yang diturunkan pertama kali mengenai riba adalah Surat ar-Rum ayat 39, yang menjelaskan tentang penolakan terhadap anggapan bahwa riba merupakan perbuatan yang bisa menambah harta dan sebagai bentuk pendekatan kepada Tuhan. Ayat kedua mengenai riba dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 160-161 yang mendeskripsikan riba sebagai perbuatan yang buruk dan sanksi diberikan bagi orang yang melakukan praktek riba.

Ketiga yaitu pada Surat Ali Imran ayat 130 yang menjelaskan bahwa riba merupakan suatu tambahan yang berlipat ganda karena pada masa itu pengambilan bunga yang tinggi merupakan hal yang biasa terjadi. Keempat ayat yang turun berkenaan dengan riba adalah Surat Al-Baqarah ayat 275-279.[3]

Pembagian riba menurut mazhab Syâfi‘î dibedakan menjadi tiga macam, yakni riba nasî’ah, riba fadhl, dan riba yad. Sedangkan mayoritas fukaha, memasukkan riba yad ini pada riba nasî’ah.[4]  Riba nasi’ah adalah adanya tambahan pokok pada pinjaman yang disyaratkan dan diambil oleh pemberi pinjaman dari yang berhutang sebagai kompensasi atas tangguhan pinjaman yang diberikannya tersebut. Sedangkan riba fadhl, adalah pertukaran yang sejenis yang disertai dengan tambahan baik berupa uang ataupun berupa makanan. Istilah dari riba fadhl diambil dari kata al-fadhl, yang berarti tambahan dari salah satu jenis barang yang dipertukarkan dalam proses transaksi. Syariat telah menetapkan keharaman riba dalam enam hal terhadap barang ini, yaitu: emas, perak, gandum putih, gandum merah, kurma, dan garam. Jika dari enam jenis barang tersebut ditransaksikan seara sejenis disertai tambahan, maka hukumnya haram.[5] 

 

B.            Dampak Negatif Riba

Pada Pasal 1 Huruf c, Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 disebutkan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antar bank dengan lain pihak dalam mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.[6]

Pasal 1 huruf c undang-undang di atas merupakan legitimasi perbankan konvensional dalam operasinya menggunakan sistem kredit, dan mustahil penerapan sistem kredit tanpa mengambil bunga.[7] Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 membagi pengelolaan bank menjadi dua yaitu bank yang dikelola secara syari’ah dan bank yang dikelola secara konvensional. Bank yang merupakan lembaga intermediasi antara nasabah dan pengusaha memiliki fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit pinjaman atau pembiayaan.[8]

Penyaluran dana dalam bentuk kredit merupakan akad pinjam meminjam, bank memberikan dana kepada peminjam yang harus dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian ditambah dengan adanya pembayaran bunga.[9] Bank sebagai lembaga intermediasi. Dalam kaitan itu masyarakat mau menyimpan uangnya ke bank adalah karena bank menjanjikan bunga (bunga simpanan) yang didapat dari
bunga pinjaman.[10]

Ulama yang terhimpun dalam Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah pada konferensi di Kairo menyatakan bahwa bunga bank termasuk pada riba yang diharamkan.[11] Riba tidak hanya haram dari sisi dalil. Riba juga mengandung bahaya, khususnya merusak tatanan ekonomi suatu negara. Bunga yang bersifat fluktuatif berpengaruh pada kondisi perekonomian. Pada satu sisi suku bunga yang tinggi mendorong nasabah untuk menyimpan uangnya di bank namun pengusaha enggan untuk meminjam modal sehingga dana yang ada tidak banyak terserap di sektor riil. Sebaliknya pada sisi lain ketika suku bunga rendah para pengusaha berani meminjam modal kepada perbankan tetapi nasabah enggan menyimpan dananya karena kecilnya keuntungan yang akan didapatkan.[12]

Penggelembungan dana pada sektor non riil semakin besar dengan adanya pasar skunder yang memperjual belikan surat berharga dalam waktu yang singkat demi meraih keuntungan yang besar.[13] Riba telah menjadi salah satu penyebab inflasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Inflasi disebabkan karena cost push inflation (CPI) dan demand pull inflation (DPI). Inflasi yang disebabkan karena adanya tekanan biaya (CPI) menyebabkan produksi secara agregat menurun, dampaknya adalah terjadinya kenaikan harga karena barang-barang sedikit. Pada saat itu 70% bahan baku yang digunakan oleh industri berasal dari impor, padahal harga barang-barang impor mengalami kenaikan disebabkan mata uang rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.

C.           Argumen Terhadap Kebolehan Praktek Bunga

Adanya fatwa terkait dengan keharaman bunga yang merupakan riba tidak langsung menjadikan riba itu hilang dari masyarakat. Dalam kaitan ini beberapa argumen yang menyatakan bahwa bunga adalah praktek yang boleh dilakukan:

1.        Kemudaratan (Bahaya)

Islam agama yang tidak kaku. Di balik ketegasannya terdapat keringanan. Keringanan itu ada dalam bentuk melakukan atau pun meninggalkann suatu tindakan. Keringanan dalam bentuk melakukan adalah keringanan yang diberikan kepada seseorang yang awalnya harus ditinggalkan seperti memakan daging babi dalam keadaan terpaksa sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 173.

Keringanan yang kedua adalah dalam bentuk meninggalkan yaitu keringanan meninggalkan sesuatu yang tadinya harus dikerjakan seperti kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan yang tadinya wajib dilakukan dikarenakan adanya keadaan tertentu yang dibenarkan oleh syariat.[14]

2.        Berlipat Ganda

Ayat-ayat yang menjelaskan tentang riba diturunkan secara berangsur-angsur. Ada yang secara eksplisit dalam mengharamkan riba, ada pula yang secara implisit dalam pengharaman riba. Secara eksplisit pelarangan riba mulai terlihat dalam QS Ali Imran: 130 yang artinya ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Frasa larangan riba yang berlipat ganda dimaknai berbeda di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa riba dengan tidak berlipat ganda hukumnya adalah halal. Makna harfiah dari frasa “adl’afan mudla’afah” dalam bahasa Arab merupakan kata berbentuk jamak yang dimulai dari bilangan 3 kemudian dikalikan dengan 2 maka hasilnya adalah 6. Jadi ketika seseorang harus membayar 300 ribu dikalikan terlebih dahulu dengan 2 jadi seseorang itu harus membayar hutangnya senilai 600 ribu.[15] 

Frasa “adl’afan mudla’afah” merupakan penjelasan mengenai fakta yang terjadi kala itu dimasa jahiliah sehingga tidak bisa dipahami dengan pemaknaan terbalik (mafhum mukhalafah). Pemahaman mengenai riba haruslah komprehensif, pensyariatan yang berangsur-angsur harus dipahami dari mulai ayat pertama sampai pada akhir dari pensyariatan riba. Begitu juga QS Al-Baqarah ayat 278 dan 279


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

 

Ayat di atas telah menutup kemungkinan adanya makna bahwa riba yang tidak berlipat ganda adalah boleh. Hal itu menunjukkan bahwa riba tetap haram baik banyak maupun sedikit. Begitu juga bunga bank. Meskipun sepintas lalu bunga bank nominalnya kecil namun jika dihitung secara total pembayaran yang disetorkan kepada banknya jumlah ternyata hampir mendekati jumlah uang yang dikredit.

 

D.           Solusi Berbisnis Tanpa Riba

Mudlarabah merupakan akad yang ditujukan untuk mengembangkan harta jika dilihat dari sisi orang yang memberi modal usaha (shahib al-mal), dan merupakan sebab kepemilikan harta jika dilihat dari sisi orang yang mengelola harta (mudharib).[16]

Akad mudharabah dalam tinjauan filsafat mengandung nilai nilai kerjasama, pertukaran manfaat bukan hanya bagi para pelaku akad namun untuk masyarakat secara luas, kemaslahatan, dan distribusi kekayaan. Mudharabah secara bahasa adalah memukul dan melakukan perjalanan.[17] Mudharabah dilihat dari pemberi modal (shohibul al-mal) merupakan ekspresi dari syahwat terhadap harta, pemilik modal ingin hartanya bertambah.[18]

Jika dilihat dari pengelola harta, mudharabah merupakan pengejawantahan atas naluri mempertahankan diri, dimana manusia mau tidak mau harus memenuhi kebutuhan primernya, salah satunya dengan sistem mudharabah yang akan menghasilkan harta untuk digunakan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.[19] Jika dilihat dari akad mudharabah itu sendiri, merupakan mekanisme dalam Islam untuk mendistribusikan harta ditengah-tengah masyarakat agar harta tidak berkumpul pada orang kaya saja.[20]

Akad mudharabah mengandung pertukaran manfaat. Hal ini bisa dilihat dalam pembagian keuntungan harta yang dikelola oleh mudharib yang disepakati kedua belah pihak (suka sama suka). Mudharib yang tadinya tidak punya sumber untuk mendapatkan penghasilan, setelah mendapatkan suntikan dana dari shahibul al-mal menjadi sebab adanya kepemilikan harta, maka jelas hal ini bermanfaat untuk pihak pengelola. Begitupun dengan pihak pemberi modal, ia akan mendapatkan bagian dari
hasil pengelolaan modalnya, ini pun jelas merupakan manfaat untuk pihak shahibul almal. Sehingga akad mudharabah merupakan akad yang mengandung prinsip pertukaran manfaat (tabadul al-manafi).

Manfaat yang dirasakan dari akad mudlarabah ini, bukan hanya oleh dua pihak saja (shahibul al-mal dan mudharib) tetapi juga dirasakan oleh banyak pihak, yaitu dengan adanya pengelola modal berarti adanya pemain baru dalam sektor real yang bertugas untuk mendistribusikan kebutuhan manusia, artinya adanya pelaku usaha karena sudah mendapatkan modal yang memproduksi kebutuhan untuk manusia. Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang di negara tersebut, kekayaan suatu negara ditentukan oleh tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut.[21]

Manfaat dalam akad mudharabah tidak akan dirasakan oleh kedua belah pihak kecuali ada kebebasan dalam membuat klausul sebagai representatif dari kepentingan kedua belah pihak dan juga sebagai pengejawantahan akan kebutuhan yang harus terpenuhi. Para pihak dalam melakukan akad harus lepas dari keterpaksaan, sebab jika dalam suatu akad ada pihak yang dipaksa maka akad tersebut batal demi hukum.[22] Adanya kebebasan dalam berakad pada mudharabah maka akan menjadikan kepentingan kepentingan kedua belah pihak sebagai pengejawantahan atas kebutuhan (manfaat yang diinginkan) terlaksana. Akad mudharabah merupakan distribusi manfaat melalui distribusi kekayaan.

Kekayaan dalam Islam harus tersalurkan kepada semua elemen. Itulah keadaan ekonomi yang sehat. Seperti tubuh manusia yang sehat, jika diidentifikasi tubuh manusia yang sehat adalah adanya peredaran darah yang mengalir keseluruh tubuh. Sebab jika ada salah satu organ tubuh yang tidak teraliri darah, maka bagian tubuh itu akan sakit. Adanya sumbatan yang mengakibatkan tidak mengalirnya darah keberbagai organ tubuh, merupakan penyebab sakitnya tubuh.[23] Ekonomi yang sehat pun demikian, barang merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia harus terdistribusikan ke setiap tempat.

Dengan demikian akad mudharabah merupakan distribusi manfaat melalui distribusi harta kekayaan. Akad mudharabah yang merupakan permodalan dengan sistem bagi hasil berbeda dengan modal dengan sistem bunga.[24] Dalam sistem bunga, modal (uang) dijadikan sebagai komoditas. Sistem bunga dimana beban bunga akan dibebankan pada produksi sehingga harga-harga akan relative naik. Jika harga naik, maka pendapatan negara turun, berbeda ketika harga turun atau relative murah, maka pendapatan negara akan naik.  Jika pinjaman sistem riba berdampak pada peningkatan harga, maka pemerintah dalam mengeluarkan kebijakannya harus kebijakan yang dapat menciptakan kemaslahatan untuk masyarakat.[25]

Dalam sistem bunga, meski usaha merugi namun bunga dan pokoknya harus tetap dibayar. Bagaimana mungkin akan terjadi pertukaran manfaat jika ada pihak yang terzalimi.[26]  Berbeda dengan mudharabah, keuntungan didasarkan pada bagi hasil. Jumlahnya akan menyesuaikan dengan kondisi usaha yang dijalankan. Apakah perusahaan itu sedang dalam keadaan rugi atau untung. Apakah keuntungannya itu besar atau kecil. Dengan sistem bagi hasil, tidak akan ada pihak yang terzalimi. Artinya manfaat yang menjadi tujuan akad dapat benar benar dirasakan oleh kedua belah pihak.


 

BAB III
KESIMPULAN

 

Pengembangan harta yang dimiliki akan terus dilakukan karena sifatnya
progresif. Namun dalam pengembangan harnya ada aturan-aturannya sehingga orang lain tidak terzalimi. Pengembangan harta yang ditopang dengan riba adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Berbagai ancaman diberikan bukan hanya bagi orang yang memakan harta riba, namun bagi saksi, yang menuliskannya, dan yang menakarnya. Riba ada pada jual beli seperti riba fadhal da nada pada hutang seperti riba nasi’ah.

Keharaman riba sudah sangat jelas karena banyak qarinah yakni sanksi untuk orang yang terlibat didalamnya. Dari sisi ekonomi riba merupakan praktek yang merugikan tatanan ekonomi. Adanya perbankan sebagai lembaga intermediasi yang bergerak dengan suku bunga dan pasar modal baik itu pasar sekunder atau turunan produk di dalamnya menjadikan para pemilik modal memainkan modalnya dengan motif keuntungan yang besar dan cepat sehingga uang terus berputar disektor non riil. Sementara di sektor riil uang yang beredar hanya sedikit. Selain itu beban bunga pinjaman (riba) dibebankan pada harga barang sehingga harga menjadi tinggi, secara agregat ini akan memperkecil produksi dan terjadilah inflasi.

Solusi dari praktek haram tersebut dalam memenuhi gairah naluri yang
bergejolak adalah dengan akad mudharabah. Akad mudharabah, untung dan rugi akan sama sama dirasakan, baik oleh pemilik modal maupun pelaku usaha. Usaha yang tidak selalu untung tidak akan menjadi beban yang bisa menyebabkan orang miskin terperosok pada jurang kemiskinan yang semakin dalam. Namun dengan akad mudharabah yang ramah di dunia usaha, orang yang tidak punya modal akan benar- benar berusaha mengembangkan hartanya tanpa dibayang-bayangi dengan bunga yang tetap.




 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.           Buku

Abdurrahman, Hafidz. 2015. Bisnis dan Muamalah Kontemporer. Bogor: Al-Azhar Press,

Ad-Daur, Ahmad. 2014. Riba dan Bunga Bank Haram, Bogor: Al-Azhar Press,

Ali, AM Hasan, dkk. 2007. Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syari’ah Jakarta: pkes Publishing,

Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah; dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani,

A.Karim, Adi Warman. 2014. Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Rajawali Press,

Ibn Mukhtar, Nuruddin. 2001. Ilmu Maqashid Al-Syari’ah, Riyadh: Maktabah al Ubaikah,

Praja, Juhaya S. 2015. Ekonomi Syari’ah. Bandung: Pustaka Setia,

Sarwat, Ahmad. 2009. Fiqih Muamalat, Jakarta: Kampus Syari’ah,

Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia,

Triono, Dwi Condro. 2017. Ekonomi Pasar Syari’ah. Yogyakarta: Irtikaz.

Wirdiyaningsih, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,

Zaidan, Abdul Karim. 2008. Al-Wajiz, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

 

B.            Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok Pokok Perbankan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

 

C.           Jurnal

Hidayanto, Fajar. 2008 . “Praktek Riba dan Kesenjangan Sosial,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 02, No. 2,

Kalsum, 2014. “Riba dan Bunga Bank dalam Islam,” Al-Adl, Vol. 07, No. 2,

Syarif, Mujar Ibnu. 2011. “Konsep Riba dalam Al-Qur’an dan Literatur Fikih,” Al-Iqtishad, Vol. 03, No. 2,

Tho’in, Muhammad. 2016. ”Larangan Riba dalam Teks dan Konteks,”.Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 2, No. 2,



[1] Nuruddin bin Mukhtar, Ilmu Maqashid Al-Syari’ah (Riyadh: maktabah al Ubaikah, 2001), h. 5

[2] Muhammad Tho’in,”Larangan Riba dalam Teks dan Konteks, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Vol. 02, No. 2, 2016. h. 3.

[3] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah; dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 48-50.

[4] Mujar Ibnu Syarif, “Konsep Riba dalam Al-Qur’an dan Literatur Fikih,” Jurnal Al-Iqtishad, Vol. 03, No. 2, 2011, h. 19.

[5] Muhammad Tho’in, Op.Cit, h. 4.

[6] Undang Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok Pokok Perbankan.

[7] Wirdiyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 48.

[8] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

[9] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

[10] Ahmad ad-Daur, Riba dan Bunga Bank Haram (Bogor, Al-Azhar Press, 2014), h. 96.

[11] Fajar Hidayanto, “Praktek Riba dan Kesenjangan Sosial,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 02, No. 2, 2008, h. 18.

[12] Umi Kalsum, “Riba dan Bunga Bank dalam Islam,” Al-Adl, Vol. 07, No. 2, 2014, h. 10.

[13] Dwi Condro Triono, Ekonomi Pasar Syariah (Yokyakarta: Irtikaz, 2017), h. 60-65.

[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia, 2014), h. 104.

[15] A.M Hasan Ali, dkk., Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syari’ah (Jakarta: Pkes Publishing, 2007), h. 9.

[16] Dwi Condro Triono, Op.Cit, h. 351.

[17] Ahmad Sarwat, Fiqh Muamalat, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kampus Syari’ah, 2009), h. 102.

[18] Taqiyudin Annabhani, Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam, diterjemahkan oleh Hafidz, (Jakarta: HTI Press, 2004), h. 103.

[19] Dwi Condro Triono, Op.Cit, h. 328.

[20] Hafidz Abdurrahman, Bisnis dan Muamalah Kontemporer (Bogor: Al-Azhar Press, 2015), h.19.

[21] Adi Warman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 148.

[22] Juhaya S Praja, Ekonomi Syari’ah (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 125.

[23] Dwi Condro Triono, Op.Cit, h. 6.

[24] Ahmad ad-Daur, Op.Cit, h. 94.

[25] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), 194.

[26] Dwi Condro Triono, Op.Cit. h. 254

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.