HUKUM RIBA DALAM ISLAM, ARGUMEN TERHADAP PRAKTEK BUNGA SERTA SOLUSI BERBISNIS TANPA RIBA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia dikaruniai naluri mempertahankan dan
melestarikan diri. Karena naluri itu manusia melakukan interaksi dengan manusia
lainnya. Aristoteles mengatakan manusia merupakan zoon politicon, makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan orang lain dalam menjalani
kehidupannya. Kebutuhan manusia beragam, ada yang bersifat dlaruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat,[1] Pertukaran kebutuhan itu bisa dengan jual beli, sewa menyewa,
gadai, mudharabah, ijaroh, dan bentuk aktivitas ekonomi lainnya.
Aktivitas bisnis sangat kompleks. Dari mulai
permodalan, objek bisnis, akad yang digunakan serta cara dalam bisnis tidak
lepas dari jangkauan syariat. Padahal kemaslahatan yang dimaksud bisa saja
subjektif karena Allah tidak mengharamkan sesuatu kecuali hal itu mengandung
kemudaratan (bahaya). Adanya lembaga keuangan yang memberikan jasa
permodalan dengan sistem riba membuat masyarakat dilema. Pada satu sisi riba
adalah haram, namun pada sisi lain jika tidak ada modal dari lembaga keuangan tersebut
bisnis tidak berdiri atau tidak berkembang
dengan pesat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
di atas, rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud riba dalam islam ?
2.
Apa dampak negatif riba ?
3.
Bagaimana argumen terhadap
kebolehan praktek bunga ?
4.
Bagaimana solusi berbisnis tanpa
riba ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riba dalam Islam
Riba telah dipraktekkan jauh sebelum Islam
datang. Riba secara bahasa berarti ziyadah, tambahan, tumbuh, membesar. Riba bisa terjadi pada jual beli atau
pertukaran, di mana salah satu pihak melebihkan harta (keuntungan) tanpa adanya
imbalan
terhadap kelebihan harta tersebut. Riba juga terjadi pada hutang dengan adanya
tambahan dari pokoknya dikarenakan adanya waktu tenggang.[2]
Larangan riba dalam Islam disyariatkan secara gradual. Ayat yang diturunkan
pertama kali mengenai riba adalah Surat ar-Rum ayat 39, yang menjelaskan
tentang penolakan terhadap anggapan bahwa riba merupakan perbuatan yang bisa
menambah harta dan sebagai bentuk pendekatan kepada Tuhan. Ayat kedua mengenai
riba dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 160-161 yang mendeskripsikan riba
sebagai perbuatan yang buruk dan sanksi diberikan bagi orang yang melakukan
praktek riba.
Ketiga
yaitu pada Surat Ali Imran ayat 130 yang menjelaskan bahwa riba merupakan suatu
tambahan yang berlipat ganda karena pada masa itu pengambilan bunga yang tinggi
merupakan hal yang biasa terjadi. Keempat ayat yang turun berkenaan dengan riba
adalah Surat Al-Baqarah ayat 275-279.[3]
Pembagian
riba menurut mazhab Syâfi‘î dibedakan menjadi tiga macam, yakni riba nasî’ah,
riba fadhl, dan riba yad. Sedangkan mayoritas fukaha, memasukkan
riba yad ini pada riba nasî’ah.[4]
Riba nasi’ah adalah adanya
tambahan pokok pada pinjaman yang disyaratkan dan diambil oleh pemberi pinjaman
dari yang berhutang sebagai kompensasi atas tangguhan pinjaman yang diberikannya
tersebut. Sedangkan riba fadhl, adalah pertukaran yang sejenis yang
disertai dengan tambahan baik berupa uang ataupun berupa makanan. Istilah dari
riba fadhl diambil dari kata al-fadhl, yang berarti tambahan dari
salah satu jenis barang yang dipertukarkan dalam proses transaksi. Syariat
telah menetapkan keharaman riba dalam enam hal terhadap barang ini, yaitu:
emas, perak, gandum putih, gandum merah, kurma, dan garam. Jika dari enam jenis
barang tersebut ditransaksikan seara sejenis disertai tambahan, maka hukumnya
haram.[5]
B.
Dampak Negatif Riba
Pada
Pasal 1 Huruf c, Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967
disebutkan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat
disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antar bank dengan
lain pihak dalam mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah
jangka waktu
tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.[6]
Pasal
1 huruf c undang-undang di atas merupakan legitimasi perbankan konvensional
dalam operasinya menggunakan sistem kredit, dan mustahil penerapan sistem
kredit tanpa mengambil bunga.[7]
Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 membagi pengelolaan bank menjadi dua yaitu
bank yang dikelola secara syari’ah dan bank yang dikelola secara konvensional.
Bank yang merupakan lembaga intermediasi antara nasabah dan pengusaha memiliki
fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit pinjaman atau pembiayaan.[8]
Penyaluran
dana dalam bentuk kredit merupakan akad pinjam meminjam, bank memberikan dana
kepada peminjam yang harus dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian ditambah dengan adanya pembayaran bunga.[9]
Bank sebagai lembaga intermediasi. Dalam kaitan itu masyarakat mau menyimpan
uangnya ke bank adalah karena bank menjanjikan bunga (bunga simpanan) yang
didapat dari
bunga pinjaman.[10]
Ulama
yang terhimpun dalam Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah pada konferensi di
Kairo menyatakan bahwa bunga bank termasuk pada riba yang diharamkan.[11]
Riba tidak hanya haram dari sisi dalil. Riba juga mengandung bahaya, khususnya
merusak tatanan ekonomi suatu negara. Bunga yang bersifat fluktuatif
berpengaruh pada kondisi perekonomian. Pada satu sisi suku bunga yang tinggi
mendorong nasabah untuk menyimpan uangnya di bank namun pengusaha enggan untuk
meminjam modal sehingga dana yang ada tidak banyak terserap di sektor riil.
Sebaliknya pada sisi lain ketika suku bunga rendah para pengusaha berani
meminjam modal kepada perbankan tetapi nasabah enggan menyimpan dananya karena
kecilnya keuntungan yang akan didapatkan.[12]
Penggelembungan
dana pada sektor non riil semakin besar dengan adanya pasar skunder yang
memperjual belikan surat berharga dalam waktu yang singkat demi meraih
keuntungan yang besar.[13]
Riba telah menjadi salah satu penyebab inflasi yang terjadi di Indonesia pada
tahun 1997-1998. Inflasi disebabkan karena cost push inflation (CPI) dan
demand pull inflation (DPI). Inflasi yang disebabkan karena adanya
tekanan biaya (CPI) menyebabkan produksi secara agregat menurun, dampaknya
adalah terjadinya kenaikan harga karena barang-barang sedikit. Pada saat itu
70% bahan baku yang digunakan oleh industri berasal dari impor, padahal harga
barang-barang impor mengalami kenaikan disebabkan mata uang rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.
C.
Argumen Terhadap Kebolehan Praktek Bunga
Adanya
fatwa terkait dengan keharaman bunga yang merupakan riba tidak langsung
menjadikan riba itu hilang dari masyarakat. Dalam kaitan ini beberapa argumen
yang menyatakan bahwa bunga adalah praktek yang boleh dilakukan:
1.
Kemudaratan (Bahaya)
Islam
agama yang tidak kaku. Di balik ketegasannya terdapat keringanan. Keringanan
itu ada dalam bentuk melakukan atau pun meninggalkann suatu tindakan.
Keringanan dalam bentuk melakukan adalah keringanan yang diberikan kepada
seseorang yang awalnya harus ditinggalkan seperti memakan daging babi dalam
keadaan terpaksa sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 173.
Keringanan
yang kedua adalah dalam bentuk meninggalkan yaitu keringanan meninggalkan
sesuatu yang tadinya harus dikerjakan seperti kebolehan meninggalkan puasa
Ramadhan yang tadinya wajib dilakukan dikarenakan adanya keadaan tertentu yang
dibenarkan oleh syariat.[14]
2.
Berlipat Ganda
Ayat-ayat
yang menjelaskan tentang riba diturunkan secara berangsur-angsur. Ada yang
secara eksplisit dalam mengharamkan riba, ada pula yang secara implisit dalam
pengharaman riba. Secara eksplisit pelarangan riba mulai terlihat dalam QS Ali
Imran: 130 yang artinya ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.
Frasa
larangan riba yang berlipat ganda dimaknai berbeda di kalangan ulama. Ada yang
berpendapat bahwa riba dengan tidak berlipat ganda hukumnya adalah halal. Makna
harfiah dari frasa “adl’afan mudla’afah” dalam bahasa Arab merupakan
kata berbentuk jamak yang dimulai dari bilangan 3 kemudian dikalikan dengan 2
maka hasilnya adalah 6. Jadi ketika seseorang harus membayar 300 ribu dikalikan
terlebih dahulu dengan 2 jadi seseorang itu harus membayar hutangnya senilai
600 ribu.[15]
Frasa
“adl’afan mudla’afah” merupakan penjelasan mengenai fakta yang terjadi
kala itu dimasa jahiliah sehingga tidak bisa dipahami dengan pemaknaan terbalik
(mafhum mukhalafah). Pemahaman mengenai riba haruslah komprehensif,
pensyariatan yang berangsur-angsur harus dipahami dari mulai ayat pertama
sampai pada akhir dari pensyariatan riba. Begitu juga QS Al-Baqarah ayat 278
dan 279
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
Ayat
di atas telah menutup kemungkinan adanya makna bahwa riba yang tidak berlipat
ganda adalah boleh. Hal itu menunjukkan bahwa riba tetap haram baik banyak
maupun sedikit. Begitu juga bunga bank. Meskipun sepintas lalu bunga bank
nominalnya kecil namun jika dihitung secara total pembayaran yang disetorkan
kepada banknya jumlah ternyata hampir mendekati jumlah uang yang dikredit.
D.
Solusi Berbisnis Tanpa Riba
Mudlarabah
merupakan akad yang
ditujukan untuk mengembangkan harta jika dilihat dari sisi orang yang memberi
modal usaha (shahib al-mal), dan merupakan sebab kepemilikan harta jika
dilihat dari sisi orang yang mengelola harta (mudharib).[16]
Akad
mudharabah dalam tinjauan filsafat mengandung nilai nilai kerjasama, pertukaran
manfaat bukan hanya bagi para pelaku akad namun untuk masyarakat secara luas,
kemaslahatan, dan distribusi kekayaan. Mudharabah secara bahasa adalah memukul
dan melakukan perjalanan.[17]
Mudharabah dilihat dari pemberi modal (shohibul al-mal) merupakan
ekspresi dari syahwat terhadap harta, pemilik modal ingin hartanya bertambah.[18]
Jika
dilihat dari pengelola harta, mudharabah merupakan pengejawantahan atas naluri
mempertahankan diri, dimana manusia mau tidak mau harus memenuhi kebutuhan
primernya, salah satunya dengan sistem mudharabah yang akan menghasilkan
harta untuk digunakan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.[19]
Jika dilihat dari akad mudharabah itu sendiri, merupakan mekanisme dalam
Islam untuk mendistribusikan harta ditengah-tengah masyarakat agar harta tidak
berkumpul pada orang kaya saja.[20]
Akad
mudharabah mengandung pertukaran manfaat. Hal ini bisa dilihat dalam pembagian
keuntungan harta yang dikelola oleh mudharib yang disepakati kedua belah
pihak (suka sama suka). Mudharib yang tadinya tidak punya sumber untuk mendapatkan
penghasilan, setelah mendapatkan suntikan dana dari shahibul al-mal menjadi
sebab adanya kepemilikan harta, maka jelas hal ini bermanfaat untuk pihak pengelola.
Begitupun dengan pihak pemberi modal, ia akan mendapatkan bagian dari
hasil pengelolaan modalnya, ini pun jelas merupakan manfaat untuk pihak shahibul
almal. Sehingga akad mudharabah merupakan akad yang mengandung
prinsip pertukaran manfaat (tabadul al-manafi).
Manfaat
yang dirasakan dari akad mudlarabah ini, bukan hanya oleh dua pihak saja
(shahibul al-mal dan mudharib) tetapi juga dirasakan oleh banyak pihak,
yaitu dengan adanya pengelola modal berarti adanya pemain baru dalam sektor
real yang bertugas untuk mendistribusikan kebutuhan manusia, artinya adanya
pelaku usaha karena sudah mendapatkan modal yang memproduksi kebutuhan untuk
manusia. Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan
oleh
banyaknya uang di negara tersebut, kekayaan suatu negara ditentukan oleh
tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara
tersebut.[21]
Manfaat
dalam akad mudharabah tidak akan dirasakan oleh kedua belah pihak kecuali
ada kebebasan dalam membuat klausul sebagai representatif dari kepentingan kedua
belah pihak dan juga sebagai pengejawantahan akan kebutuhan yang harus terpenuhi.
Para
pihak dalam melakukan akad harus lepas dari keterpaksaan, sebab jika dalam
suatu akad ada pihak yang dipaksa maka akad tersebut batal demi hukum.[22] Adanya
kebebasan dalam berakad pada mudharabah maka akan menjadikan kepentingan
kepentingan kedua belah pihak sebagai pengejawantahan atas kebutuhan (manfaat
yang diinginkan) terlaksana. Akad mudharabah merupakan distribusi
manfaat melalui distribusi kekayaan.
Kekayaan dalam Islam harus
tersalurkan kepada semua elemen. Itulah keadaan ekonomi yang sehat. Seperti
tubuh manusia yang sehat, jika diidentifikasi tubuh manusia yang sehat adalah
adanya peredaran darah yang mengalir keseluruh tubuh. Sebab jika ada salah satu
organ tubuh yang tidak teraliri darah, maka bagian tubuh itu akan sakit. Adanya
sumbatan yang mengakibatkan tidak mengalirnya darah keberbagai organ tubuh,
merupakan penyebab sakitnya tubuh.[23] Ekonomi
yang sehat pun demikian, barang merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia
harus terdistribusikan ke setiap tempat.
Dengan demikian akad mudharabah merupakan
distribusi manfaat melalui distribusi harta kekayaan. Akad mudharabah yang
merupakan permodalan dengan sistem bagi hasil berbeda dengan modal dengan
sistem bunga.[24]
Dalam sistem bunga, modal (uang) dijadikan sebagai komoditas. Sistem bunga
dimana beban bunga akan dibebankan pada produksi
sehingga harga-harga akan relative naik. Jika harga naik, maka pendapatan negara
turun, berbeda ketika harga turun atau relative murah, maka pendapatan negara akan
naik. Jika
pinjaman sistem riba berdampak pada peningkatan harga, maka pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakannya harus kebijakan yang dapat menciptakan kemaslahatan
untuk masyarakat.[25]
Dalam
sistem bunga, meski usaha merugi namun bunga dan pokoknya harus tetap dibayar. Bagaimana
mungkin akan terjadi pertukaran manfaat jika ada pihak yang terzalimi.[26] Berbeda dengan mudharabah, keuntungan didasarkan pada bagi hasil. Jumlahnya akan
menyesuaikan dengan kondisi usaha yang dijalankan. Apakah perusahaan itu sedang
dalam keadaan rugi atau untung. Apakah keuntungannya itu besar atau kecil.
Dengan sistem bagi hasil, tidak akan ada pihak yang terzalimi. Artinya manfaat
yang menjadi tujuan akad dapat benar benar dirasakan oleh kedua belah pihak.
BAB III
KESIMPULAN
Pengembangan harta yang dimiliki akan terus dilakukan karena
sifatnya
progresif. Namun dalam pengembangan harnya ada aturan-aturannya sehingga orang lain
tidak terzalimi. Pengembangan harta yang ditopang dengan riba adalah perbuatan yang
dilarang oleh Allah SWT. Berbagai ancaman diberikan bukan hanya bagi orang yang
memakan harta riba, namun bagi saksi, yang menuliskannya, dan yang menakarnya.
Riba ada pada jual beli seperti riba fadhal da nada pada hutang seperti riba
nasi’ah.
Keharaman riba sudah sangat jelas karena banyak qarinah yakni
sanksi untuk orang yang terlibat didalamnya. Dari sisi ekonomi riba merupakan
praktek yang merugikan tatanan ekonomi. Adanya perbankan sebagai lembaga
intermediasi yang bergerak dengan suku bunga dan pasar modal baik itu pasar
sekunder atau turunan produk di dalamnya menjadikan para pemilik modal
memainkan modalnya dengan motif keuntungan yang besar dan cepat sehingga uang
terus berputar disektor non riil. Sementara di sektor riil uang yang beredar
hanya sedikit. Selain itu beban bunga pinjaman (riba) dibebankan pada harga
barang sehingga harga menjadi tinggi, secara agregat ini akan memperkecil produksi
dan terjadilah inflasi.
Solusi dari praktek haram tersebut dalam memenuhi gairah naluri
yang
bergejolak adalah dengan akad mudharabah. Akad mudharabah, untung
dan rugi akan sama sama dirasakan, baik oleh pemilik modal maupun pelaku usaha.
Usaha yang tidak selalu untung tidak akan menjadi beban yang bisa menyebabkan
orang miskin terperosok pada jurang kemiskinan yang semakin dalam. Namun dengan
akad mudharabah yang ramah di dunia usaha, orang yang tidak punya modal
akan benar- benar berusaha mengembangkan hartanya tanpa dibayang-bayangi dengan
bunga yang tetap.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdurrahman, Hafidz. 2015. Bisnis
dan Muamalah Kontemporer.
Bogor: Al-Azhar Press,
Ad-Daur, Ahmad. 2014. Riba
dan Bunga Bank Haram,
Bogor: Al-Azhar Press,
Ali, AM Hasan, dkk. 2007. Menjawab
Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syari’ah Jakarta: pkes Publishing,
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank
Syariah; dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Gema Insani,
A.Karim, Adi Warman. 2014. Ekonomi
Mikro Islami, Jakarta: Rajawali Press,
Ibn Mukhtar, Nuruddin. 2001. Ilmu Maqashid
Al-Syari’ah, Riyadh: Maktabah al Ubaikah,
Praja, Juhaya S. 2015. Ekonomi
Syari’ah. Bandung: Pustaka Setia,
Sarwat, Ahmad. 2009. Fiqih
Muamalat, Jakarta: Kampus Syari’ah,
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul
Fiqh. Jakarta: Prenadamedia,
Triono, Dwi Condro. 2017. Ekonomi Pasar Syari’ah.
Yogyakarta: Irtikaz.
Wirdiyaningsih, dkk. 2005. Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana,
Zaidan, Abdul Karim. 2008. Al-Wajiz, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
B.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok Pokok
Perbankan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
C.
Jurnal
Hidayanto, Fajar. 2008 . “Praktek
Riba dan Kesenjangan Sosial,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 02, No. 2,
Kalsum, 2014. “Riba
dan Bunga Bank dalam Islam,” Al-Adl, Vol. 07, No. 2,
Syarif, Mujar Ibnu. 2011. “Konsep Riba dalam Al-Qur’an
dan Literatur Fikih,” Al-Iqtishad, Vol. 03, No. 2,
Tho’in, Muhammad. 2016. ”Larangan
Riba dalam Teks dan Konteks,”.Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam,
Vol. 2, No. 2,
[1] Nuruddin bin Mukhtar, Ilmu Maqashid Al-Syari’ah (Riyadh:
maktabah al Ubaikah, 2001), h. 5
[2] Muhammad Tho’in,”Larangan Riba dalam Teks dan Konteks, Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam. Vol.
02, No. 2, 2016. h. 3.
[3] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah; dari Teori ke
Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 48-50.
[4] Mujar Ibnu Syarif, “Konsep Riba dalam Al-Qur’an dan
Literatur Fikih,” Jurnal Al-Iqtishad, Vol. 03, No. 2, 2011, h. 19.
[5] Muhammad Tho’in, Op.Cit,
h. 4.
[6] Undang Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok Pokok
Perbankan.
[7] Wirdiyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 48.
[8] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
[9] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
[10] Ahmad ad-Daur, Riba dan Bunga Bank Haram (Bogor,
Al-Azhar Press, 2014), h. 96.
[11] Fajar Hidayanto, “Praktek Riba dan Kesenjangan Sosial,” Jurnal
Ekonomi Islam, Vol. 02, No.
2, 2008, h. 18.
[12] Umi Kalsum, “Riba dan Bunga Bank dalam Islam,” Al-Adl,
Vol. 07, No. 2, 2014, h. 10.
[13] Dwi Condro Triono, Ekonomi Pasar Syariah (Yokyakarta:
Irtikaz, 2017), h. 60-65.
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia,
2014), h. 104.
[15] A.M Hasan Ali, dkk., Menjawab Keraguan Umat Islam
Terhadap Bank Syari’ah (Jakarta: Pkes Publishing, 2007), h. 9.
[16] Dwi Condro Triono, Op.Cit, h. 351.
[17] Ahmad Sarwat, Fiqh Muamalat, Fiqih Muamalat,
(Jakarta: Kampus Syari’ah, 2009), h. 102.
[18] Taqiyudin Annabhani, Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam, diterjemahkan
oleh Hafidz, (Jakarta: HTI Press, 2004), h. 103.
[19] Dwi Condro Triono, Op.Cit, h.
328.
[20] Hafidz Abdurrahman, Bisnis dan Muamalah Kontemporer (Bogor:
Al-Azhar Press, 2015), h.19.
[21] Adi Warman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta:
Rajawali Press, 2014), h. 148.
[22] Juhaya S
Praja, Ekonomi Syari’ah (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 125.
[23] Dwi Condro
Triono, Op.Cit, h. 6.
[24] Ahmad ad-Daur,
Op.Cit, h. 94.
[25] Abdul Karim
Zaidan, Al-Wajiz (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), 194.
[26] Dwi Condro Triono, Op.Cit.
h. 254
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar