MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk  sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara  Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. [1]   B.      Rumusan Masalah 1.       Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen

PENGARUH IMPOR TEMBAKAU TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA


PENGARUH IMPOR TEMBAKAU
TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA


KELOMPOK II
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kepabean
Dosen Pengampu : Rudi Handoyono, SE, M.Si



Disusun Oleh :
1.      Christine Permatasari I                  B.231.16.0388
2.      Anisatul Muawanah                      B.231.16.0486
3.      M. Riza Fahlefi                             B.231.16.0487





FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS SEMARANG
2018

KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan kesehatan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Pengaruh Impor Tembakau terhadap perekonomian Di Indonesia dengan baik. 
Adapun makalah tentang Pengaruh Impor Tembakau terhadap perekonomian Di Indonesia ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini. 
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini, dan demi perbaikan tugas yang akan datang.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga makalah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.


Semarang, 17 Mei 2018
Penulis



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i

 

DAFTAR TABEL


 

DAFTAR GAMBAR





BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang Masalah

Setiap negara memiliki sumber daya alam yang berbeda-beda antara satu sama lain yang tidak terdapat di negara lain. Suatu negara akan membutuhkan komoditi yang tidak tersedia di negaranya, tetapi tersedia di negara lain. Maka, negara tersebut akan melakukan perdagangan atau pertukaran komoditi dengan negara lain. Terjadilah kegiatan yang disebut dengan perdagangan internasional di setiap negara.
Saat ini, setiap negara memang tidak bisa lepas dari perdagangan internasional. Perdagangan internasional adalah kegiatan pertukaran barang dan jasa yang melintasi batas-batas negara dan berhubungan dengan pemerintah serta penduduk negara lain. Perdagangan internasional bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik barang maupun jasa yang ada di dalam negeri, mendorong terciptanya kemajuan teknologi, memperluas pasar, meningkatkan penerimaan negara melalui bea masuk maupun bea keluar, serta mempererat hubungan dengan negara lain.
Tembakau adalah produk pertanian yang diproses dari daun tanaman genus nicotiana. Tembakau merupakan salah satu bahan baku pembuatan rokok kretek yang sangat digemari orang Indonesia. Di Indonesia, tembakau yang baik(Komersial) hanya dihasilkan di daerah-daerah tertentu. Kualitas tembakau ditentukan oleh lokasi penanaman dan pengolahannya. Akibatnya hanya beberapa tempat yang memiliki kesesuaian dengan kualitas tembakau terbaik.
Melimpahnya kekayaan alam di negeri ini menyambut peluang bisnis berskala internasional. Dengan segudang hasil panen, Indonesia mampu mengekspor beberapa bahan pangan, bahan produksi maupun bahan perkebunan/pertanian. Dalam konteks pertanian umum, Indonesia juga memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, coklat, dan tembakau produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, meski menduduki posisi sebagai negara penghasil pertanian di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pertanian, terutama tembakau. Akibatnya, Indonesia masih harus mengimpor tembakau dari negara penghasil pangan lain, seperti Cina dan negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari data sebagai berikut :

Gambar 1.1 Diagram Negara Pemasok Tembakau Terbesar ke Indonesia


Tingginya permintaan rokok dalam negeri membuat para produsen rokok harus mengimpor tembakau dari luar negeri. Cina merupakan negara terbesar pemasok tembakau ke Indonesia dengan volume mencapai 38,6 juta kilogram (Kg) pada 2015. Posisi kedua ditempati Amerika serikat dengan berat 549 juta Kg, dan posisi ketiga, yaitu Turki dengan volume 5,36 juta Kg.
Permintaan tembakau domestik dalam beberapa tahun terakhir rata-rata sekitar 300 ton per tahun, sementara pasokan domestik hanya 200 juta per tahun. Sehingga masih ada kekurangan sekitar 100 ton per tahun dan harus diimpor dari luar negeri. Total impor tembakau pada 2015 mencapai 75,3 juta Kg turun 21,3 persen dari posisi tahun sebelumnya, yaitu 95,7 juta Kg.
Kegiatan impor ini tidak lain bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba dengan memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri. Negara importer biasanya melakukan kegiatan impor dengan tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri, menambah pendapatan negara karena adanya devisa dari pajak barang impor. Impor juga dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya kegiatan industri dalam negeri.
Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 (Permendag 84) Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau membuat resah para petani tembakau di Indonesia. Beleid yang mulai diberlakukan pada 8 Januari 2018 tersebut justru berpotensi meredupkan mata pencaharian mereka.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menyatakan dirinya tidak paham dengan tujuan pemerintah. Musababnya, jenis-jenis tembakau yang masuk dalam daftar pengetatan impor justru yang paling dibutuhkan dalam komposisi rokok. Jenis-jenis tembakau itu adalah virginia, burley, dan oriental.
Sebagai  negara agraris, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menguasai pasar produk-produk pertanian. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya produksi pertanian setiap tahunnya yang terdiri dari subsektor perkebunan, perternakan, holtikultura, dan tanaman pangan.  Pertanian merupakan salah satu sektor yang dapat berorientasi impor terutama subsektor perkebunan.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis mengambil judul Pengaruh Impor tembakau terhadap Perekonomian Indonesia sebagai bentuk makalah yang memaparkan khususnya kegiatan impor di Indonesia.

1.2         Tujuan Penelitian Masalah

1.        Memenuhi tugas kelompok tentang kepabean pada permasalah impor tembakau di Indonesia
2.        Mengetahui mekanisme impor tembakau  di Indonesia
3.        Mengetahui cara pergitungan bea masuk impor tembakau di Indonesia
4.        Mengetahui kondisi impor tembakau di Indonesia saat ini

1.3         Pembatasan Masalah

1.        Bagaimana mekanisme impor tembakau di Indonesia ?
2.        Bagaimana kebijakan cukai impor tembakau di indonesia ?
3.        Bagaimana perhitungan bea masuk impor tembakau di Indonesia ?
4.        Seperti apa kondisi impor tembakau di Indonesia saat ini ?




BAB II
LANDASAN TEORI


2.1         Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. 
Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan dan hukum dalam perdagangan.
Walaupun perdagangan internasional rumit dan kompleks, Namun menurut Sadono Sukirno perdagangan internasional memiliki banyak manfaat diantaranya:
1)        Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain.
2)        Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi.



3)        Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
4)        Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.
Transaksi ekspor-impor adalah transaksi perdagangan internasional (international trade) yang sederhana dan tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang bertempat di negara yang berbeda (Roselyne Hutabarat 1991: 1).
Menurut Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian ekspor juga dijumpai dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 146/MPP/IV/99 tanggal 22 April 1999 tentang Ketentuan Umum di bidang Ekspor. Sedangkan pengertian impor menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. 
      Kegiatan ekspor impor merupakan jual beli yang dilakukan secara internasional, artinya dilakukan antar negara. Menurut Gunawan Widjaja & Ahmad Yani (2015:9), jual beli merupakan suatu perbuatan hukum antara pihak penjual di satu pihak dengan pihak pembeli di lain pihak mengenai suatu barang. 
Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks.
Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan ini disebabkan oleh faktor-faktor antara lain : 
1)        Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan.
2)        Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara ke negara lainnya melalui bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.
3)        Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam perdagangan dan sebagainya.

2.2         Permintaan

Permintaan adalah berbagai jumlah barang dan jasa yang diminta pada berbagai tingkat harga pada suatu waktu tertentu dengan asumsi (cateris paribus) komponen komponen lain yang mempengaruhi permintaan dianggap tetap contoh : pendapatan, selera, harga barang lain dll.
Penjelasan mengenai perilaku konsumen paling sederhana terdapat dalam hukum permintaan. Dalam hukum permintaan dikatakan bahwa, bila harga suatu barang naik, maka  jumlah yang diminta konsumen akan barang tersebut akan menurun (cateris paribus). Kondisi sebaliknya, bila harga barang tersebut mengalami penurunan, Cateris paribus berarti semua faktor-faktor lain yang mempengaruhi jumlah yang diminta dianggap tidak berubah.
Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan konsumen berperilaku seperti yang dinyatakan oleh hukum permintaan (Boediono, 2008:17)
1.        Pendekatan marginal utility: Pendekatan ini bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasan setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain (bersifat cardinal).
2.        Pendekatan indefferencce curve : Pendekatan ini tidak memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa diukur. Pendekatan indefferencce curve menganggap bahwa tingkat kepuasan bisa dikatakan lebih rendah atau tinggi tanpa mengatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah (bersifat ordinal).

2.3         Penawaran

Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan yang positif yaitu jika harga naik maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Adapun sumber penawaran meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok) pada waktu sebelumnya ( Lipsey, 1995:47).
Kurva Permintaan dapat didefinisikan sebagai suatu kurva yang dapat menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta oleh para pembeli (Sadono Sukirno, 2005:17)
Kurva Permintaan adalah kurva yang dapat menggambarkan bagaimana atau berapa jumlah barang yang diminta selama satu periode waktu tertentu akan mengalami perubahan sebagai akibat adanya perubahan harga barang tersebut, apabila faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan (Nopirin, 1991:77)

2.4         Pengertian Impor

Menurut  Susilo  (2008:  101)  impor  bisa  diartikan  sebagai  kegiatan memasukkan barang dari suatu negara (luar negeri) ke dalam wilayah pabean negara  lain.  Pengertian  ini  memiliki  arti  bahwa  kegiatan  impor  berarti melibatkan  dua  negara.  Dalam  hal  ini  bisa  diwakili  oleh  kepentingan  dua perusahaan  antar  dua  negara  tersebut,  yang  berbeda  dan  pastinya  juga peraturan  serta  bertindak  sebagai  supplier  dan  satunya  bertindak  sebagai negara penerima.
Dasar  hukum  peraturan  mengenai  Tatalaksana  Impor  diatur  dalam Keputusan  Direktur  Jendral  Bea  dan  Cukai  Nomor  KEP-07/BC/2003. Tentang petunjuk pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di bidang impor dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 453/KMK.04/2002. Komoditi yang dimasukkan ke dalam peredaran bebas di dalam wilayah pabean (dalam negeri), yang dibawa dari luar wilayah pabean (luar negeri) dikenakan bea masuk kecuali dibebaskan atau diberikan pembebasan.  Dengan  kata  lain  seseorang  atau  badan  usaha  yang  ditetapkan sebagai  importir  wajib  membayar  bea  masuk  dan  pajak  sebagaimana  yang telah ditetapkan pemerintah (Purba,1983: 51).

2.5         Harga

Harga dan kuantitas permintaan suatu komoditi berhubungan secara negatif. Artinya semakin tinggi harga suatu komoditi maka jumlah permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang, cateris paribus. Untuk harga impor, menyatakan bahwa suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga yang ditawarkan berhubungan secara negatif dengan jumlah yang diminta, atau dengan kata lain semakin besar harga komoditi maka akan sedikit kuantitas komoditi tersebut yang diminta.
Sebaliknya, harga berhubungan secara positif dengan penawaran. Semakin tinggi harga maka akan semakin banyak kuantitas komoditi tersebut yang ditawarkan ( Lipsey, 1995:47).

2.6         GDP (Gross Domestic Product)

Gross Domestic Product (GDP) merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional pada output barang dan jasa. GDP merupakan nilai dari total produksi barang dan jasa suatu negara yang dinyatakan sebagai produksi nasional dan nilai total produksi tersebut juga menjadi pendapatan total negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, produk nasional sama dengan pendapatan nasional. Produk nasional atau pendapatan nasional dapat diukur dalam bentuk pendapatan nasional bruto (PNB) atau pendapatan domestik bruto (PDB). GDP sering dianggap sebagai cerminan kinerja ekonomi. GDP diartikan sebagai perekonomian total dari setiap orang di dalam perekonomian (Mankiw, 2000:89).
GDP menunjukkan besarnya kemampuan perekonomian suatu negara, dimana semakin besar GDP yang dihasilkan suatu negara semakin besar pula kemampuan negara tersebut untuk melakukan perdagangan. Bagi negara importir, semakin besar GDP maka akan meningkatkan impor komoditi negara tersebut.
Peningkatan GDP merupakan peningkatan pendapatan masyarakatnya. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan terhadap suatu komoditi, pada akhirnya meningkatkan impor komoditi tersebut. Sehingga besarnya GDP yang dimiliki negara importer akan mempengaruhi besarnya volume perdagangan.



BAB III
PEMBAHASAN


3.1         Mekanisme Impor

Dalam proses memasukan barang ke daerah pabean akan melalui  langkah-langkah sebagai berikut :

Gambar 3.1 Prosedur Impor

3.1.1        Kedatangan Sarana Pengangkut

Sarana pengangkut akan datang dari Luar Daerah Pabean dan atau dari Dalam Daerah Pabean yang mengangkut meliputi barang impor, barang ekspor, barang asal Daerah Pabean ke tempat lain dalam daerah Pabean melalui luar Daerah pabean.
Pengangkut  yang menggunakan sarana Kapal Laut dan Pesawat wajib memberitahukan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut (RKSP) ke kantor pabean tujuan sebelum kedatangan sarana pengangkut yaitu untuk Kapal laut pada saat lego jangkar dan bagi pesawat saat mendarat di landasan bandar udara.
Kapal A dari Singapura baik yang memuat /atau tidak memuat barang impor (International Liner, datang dari Singapore memuat maupun tidak memuat barang2 impor/ekspor/barang BC 1.3). Kapal B memuat BI eks A/L dari tanjung priok  tujuan ke tanjung Emas (National Liner, memuat brg impor eks A/L dari Tg Priok ke Tg Emas). Kapal C memat BE  dari tanjung emas tujuan ke Australia, bongkar di Tanjung Perak untuk dimuat ke kapal D (National Liner, memuat brg ekspor tujuan Australia dari Tg Emas dibongkar di Tg Perak untuk di A/L ke Australia dengan Kapal D).
Pengangkut  yang menggunakan sarana Kapal Laut wajib menyerahkan Pemberitahuan Pabean/manifest sebelum pembongkaran (Manifes adalah daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut). Dalam hal ini pengangkut juga menyerahkan hal-hal sebagai berikut :
a.       Daftar penumpang dan/atau awak sarana pengangkut;
b.      Daftar bekal sarana pengangkut;
c.       Daftar perlengkapan/ inventaris sarana pengangkut;
d.      Stowage Plan atau Bay Plan untuk SP melalui laut;
e.       Daftar senjata api dan amunisi; dan
f.       Daftar obat, termasuk narkotika untuk pengobatan.
g.      Hal ini harus sudah diserahkan paling lambat pada saat kedatangan sarana pengangkut, dalam bahasa Indonesia atau Inggris  secara elektronik atau manual kepada Pejabat di Kantor Pabean.

3.1.2        Sarana Pengangkut saat Pembongkaran

Pembongkaran barang impor dilaksanakan di  kawasan pabean atau tempat lain  (ijin kepala kantor pabean) yang dilakukan paling lama 12 jam setelah selesai pembongkaran, Pengangkut wajib menyampaikan daftar kemasan atau peti kemas atau jumlah barang curah yang telah dibongkar kepada Pejabat di Kantor Pabean  dan penyerahan pemberitahuan dapat dilakukan secara manual atau melalui media elektronik.

3.1.3        Sarana Pengangkut saat Penimbunan

Penimbunan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dilakukan di tempat penimbunan yaitu tempat penimbunan sementara (TPS); atau Gudang atau lapangan penimbunan milik importir setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor  Pabean.
Pengusaha TPS yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di TPS wajib melunasi BM, Cukai, dan PDRI yang seharusnya dibayar berikut SA berupa denda (ps 43 UU 10 1995).
Jangka waktu penimbunan berbeda di tiap area penimbunan, masing-masing jangka waktu tersebut adalah :
1.      Max 30 hari di TPS yg berada di area pelabuhan (Lini I)
2.      Max 60 hari di TPS yg berada di luar area pelabuhan (Lini II)
3.      Max 60 hari di tempat lain

3.1.4        Pengeluaran Barang Impor

Syarat impor adalah melakukan registrasi importir, melakukan pemberitahuan pabean serta pembayaran BM dan PDRI serta pemenuhan Lartas. Pengeluaran barang impor dari kawasan pabean pada umumnya dikeluarkan untuk hal-hal sebagai berikut :
·         Pengeluaran barang impor untuk dipakai, untuk kondisi ini menggunakan : a). Pemberitahuan Impor Barang (BC 2.0), b). Pemberitahuan Impor Barang Khusus (BC 2.1), c). Customs Declaration (BC 2.2) untuk barang penumpang dan pengangkut, d). Pencacahan dan Pembeaan Kiriman Pos (PPKP) dan e). Pemberitahuan Lintas Batas (PPLB).
·         Diimpor sementara
·         Ditimbun di TPB
·         ke TPS  di kawasan pabean lain
·         diangkut terus
·         diangkut lanjut
·         di re-ekspor
Cara penyampaian Pemberitahuan Impor (PIB) Barang dilakukan pada setiap pengimporan, maupun secara berkala dilakukan setelah BC 1.1, kecuali prenotification.  Bentuk PIB  berupa data elektronik atau tulisan di atas formulir. Adapun penyampaian data elektronik melalui sistem  PDE Kepabeanan atau melalui media penyimpanan data elektronik, namun apabila Di Kantor Pabean yang menerapkan PDE  maka PIB wajib melalui PDE. Adapun lampiran PIB terdiri atas dokumen pelengkap pabean (Invoice, Packing List, Bill of Lading / Airway Bill, etc), bukti pembayaran bea masuk, cukai dan PDRI (SPTNP). Terhadap Lampiran PIB atas BKC impor yang pelunasan cukainya dengan pelekatan pita cukai terdiri atas dokumen pelengkap pabean, bukti pembayaran bea masuk, PPnBM dan PPh, dan dokumen pemesanan pita cukai.
Bagi  Non Mitra Utama (Non Mita), Mita Prioritas maupun Mita Non Prioritas penyerahan hardcopy PIB dan Dok Pelengkap dilakukan maximal 3 (tiga) hari setelah Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB/SPJM/SPJK), dan apabila melampaui waktu yang ditentukan  akan dilakukan pemblokiran sampai dengan diserahkannya hardcopy dimaksud.

3.1.5        Pembayaran BM, Cukai dan PDRI

Cara pengenaan Bea Masuk dilakukan berdasarkan satuan / takaran tertentu dari barang impor (tarif spesifik) dan berdasarkan prosentase tertentu dari harga barang (tarif advalorum).
Jika saat pengeluaran dari kawasan pabean ada selisih kurang dari jumlah dalam PIB (eksep) maka hal-hal yang dilakukan adalah : penyelesaiannya dengan PIB semula dan waktu penyelesaian paling lama 60 hari sejak tgl SPPB.
PIB  melalui PDE dapat dibatalkan jika salah kirim yaitu data PIB dikirim ke Kantor Pabean lain dari Kantor Pabean tempat pengeluaran barang dan penyampaian data PIB dari importasi yang sama dilakukan lebih dari satu kali. Pembatalan PIB dilakukan dengan persetujuan Ka KPU BC/Ka KPPBC/Pejabat yang ditunjuk berdasarkan permohonan Importir

3.1.6        Penjaluran 

MITA Prioritas yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor oleh Importir Jalur Prioritas dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen; MITA Non Prioritas yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor oleh importir dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal: impor sementara, re-impor, random, diterbitkan SPPF, SPPB diterbitkan setelah selesainya penelitian dokumen.
Jalur Hijau adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).  Jalur Merah adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan  Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jalur Kuning adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB.
Tembakau termasuk dalam jalur hijau, yaitu pemeriksaan yang hanya dilakukan secara penelitian dokumen tanpa pemeriksaan fisik setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

3.1.7        Pemeriksaan Fisik

Bagi yang menggunakan Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM) dalam waktu 3 hari menyerahkan hardcopy PIB, dokumen pelengkap pabean, dan SSPCP, dalam hal PIB disampaikan dengan menggunakan sistem PDE Kepabeanan dan menyiapkan barang untuk diperiksa serta hadir dalam pemeriksaan fisik dan apabila hal ini tidak dilakukan maka akan diblokir sampai dengan diserahkan hardcopy PIB, Pejabat pabean dapat memerintahkan dilakukan pemeriksaan fisik dan TPS wajib membantu proses tersebut.

Tabel 3.1 Pemeriksaan Fisik Barang Impor

Diperiksa
Tidak Diperiksa
1.       Barang yg ditetapkan jalur hijau “pemindai peti kemas“
2.       Barang “satu jenis/ satu pos tarif” yg ditetapkan jalur merah
3.       Barang impor dalam refrigerated container
4.       Barang yang berisiko tinggi berdasarkan hasil analisis intelijen
5.       Barang peka udara
6.       Barang lainnya atas pertimbangan Ka KPPBC/Ka KPU/Pejabat yang ditunjuk
1.      Barang impor peka cahaya
2.      Barang impor yang mengandung zat radioaktif
3.      Barang impor lainnya yg menjadi rusak jika dipindai
4.      Penelitian Tarif dan Nilai Pabean diselesaikan max 30 hari sejak tanggal pendaftaran PIB, dan jika terdapat kekurangan BM, cukai & PDRI diterbitkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP). Importir dapat mengajukan keberatan ke Dirjen Bea dan Cukai hingga Banding ke Pengadilan Pajak.

3.2         Cukai Impor Tembakau

Upaya intensif yang dilakukan Bea Cukai dalam pengawasan dan penegakan hukum di bidang cukai, baik melalui pengawasan administrasi maupun fisik, berpengaruh terhadap menurunnya jumlah pabrik rokok.
Tak hanya itu, ditinjau dari aspek ekonomi perkembangan industri hasil tembakau, terlihat secara linier tren pertumbuhan produksi rokok mulai menurun selama 10 tahun terakhir dengan nilai tren sebesar -0,28 persen. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menyampaikan selama tiga tahun terakhir produksi rokok berdasarkan pemesanan pita cukai mulai stagnan dengan rata-rata pertumbuhan 0,2 persen.
Selain itu, Bea Cukai juga gencar melakukan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal. Ismanu dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI), pada Rabu (28/9) mengatakan bahwa dalam rangka menjaga persaingan yang sehat, GAPPRI mendukung law enforcement berupa upaya pemberantasan peredaran rokok ilegal.  “Kami berharap dengan terciptanya fair treatment bagi industri rokok yang telah mematuhi segala ketentuan dan membayar cukai sesuai kewajibannya, tidak akan ada lagi rokok ilegal, kemudian diharapkan pasar akan diisi oleh industri rokok yang taat aturan,” ungkap Ismanu.
Seperti diketahui, sebagai instansi vertikal Kementerian Keuangan, Bea Cukai memiliki empat tugas dan fungsi sebagaimana diamanatkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, di mana salah satunya sebagai community protector di bidang cukai, yaitu membatasi konsumsi termasuk di antaranya hasil tembakau.
Pasal 5
(1)     Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
a.    untuk yang dibuat di Indonesia:
1.        275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2.        57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
b.    untuk yang diimpor :
1.        275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
2.        57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
(2)     Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
a.    untuk yang dibuat di Indonesia:
1.        1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2.        80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran
b.    untuk yang diimpor:
1.        1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
2.        80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual ecera


3.3         Perhitungan Bea Masuk Pada Impor Tembakau

3.3.1        Cara menentukan Nilai Pabean

Nilai Pabean diperoleh dari tiga unsur yaitu :
1.        Harga barang/FOB (Free On Board) : Harga barang berdasarkan nilai transaksi dalam kondisi persaingan bebas, nilai tersebut bisa dilihat pada Invoice, Bukti Transaksi, Listing pada website penjualan dan lain-lain. Apabila bukan dari transaksi jual beli maka nilai barang akan ditetapkan oleh petugas bea dan cukai sesuai ketentuan yang berlaku.
2.        Ongkos Kirim : ongkos kirim yang dibayar untuk pengiriman paket tersebut apabila harga barang adalah “free Shipping” maka harga barang tersebut sudah termasuk ongkos kirim.
3.        Asuransi : 0,5% x (harga barang + ongkos kirim)
Apabila FOB ≤ USD 100 maka bebas bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Apabila FOB>USD 100 maka dikenakan pungutan impor dengan nilai pabean penuh (CIF) sebagai dasar perhitungan.

3.3.2        Cara menghitung Bea Masuk

Konversikan terlebih dahulu Nilai Pabean yang digunakan untuk penghitungan pungutan impor kedalam rupiah, kurs resmi dapat diperoleh melalui www.beacukai.go.id atau www.kemenkeu.go.id. Bea Masuk = tarif BM 7,5% x Nilai Pabean



3.3.3        Cara menghitung Pajak Dalam Rangka Impor

Pajak                  =    Tarif Pajak x Nilai Impor
Nilai Impor        =    Nilai Pabean + Bea Masuk
Pada umumnya tarif pajak adalah: PPN  10% dan PPh 10% (pemilik NPWP) dan 20% (tidak memiliki NPWP)

3.4         Kondisi Impor Tembakau di Indonesia

Bahan baku pembuatan rokok seperti tembakau di Indonesia, saat ini masih banyak yang menggunakan tembakau yang dimpor dari beberapa negara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester I-2017 impor tembakau mencapai US$ 252,6 juta dengan volume 50,7 ribu ton. Angka ini naik jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang hanya US$ 241,6 juta dengan volume 37,6 ribu ton. Khusus di Juni 2017, total volume 8,1 ribu ton dengan nilai US$ 44,6 juta atau turun jika dibandingkan dengan Mei 2017 yang sebesar US$ 66,3 juta dengan volume 12,1 ribu ton. Bahkan, jika dibandingkan Juni 2016 juga naik hampir 3 kali lipat, sebab di bulan keenam tahun lalu impor tembakau hanya US$ 27,4 juta dengan volume 4,5 ribu ton. Impor tembakau Indonesia berasal dari 5 negara, China yang merupakan paling banyak volume impornya, hingga semester I-2017 mencapai 24,3 ribu atau US$ 101,8 juta. Keduaadalah dari Brasil dengan volume mencapai 4,3 ribu ton dengan nilai US$ 30,9 juta. Ketiga adalah Amerika Serikat dengan volume 4,0 ribu ton atau setara US$ 30,8 juta. Selanjutnya dari Turki, dengan volume sebesar 1,7 ribu ton nilainya US$ 12,0 juta, dan yang kelima adalah berasal dari India dengan volume 2,7 ribu ton atau setara US$ 10,5 juta.
Indonesia masih mengimpor 40% dari total kebutuhan tembakau domestik. Oleh karena itu, rencana pengenaan cukai tiga kali lipat untuk tembakau impor dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan dinilai tidak realistis dan kontra produktif. Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Faiz Achmad menjelaskan, hasil produksi tembakau di Indonesia baru mencapai kisaran 180-190 ribu ton per tahun. Jumlah ini belum mencukupi kebutuhan nasional yang mencapai 330 ribu ton per tahun.
Menurut Faiz Bila nantinya dikenakan cukai hingga tiga kali lipat tentu akan memberatkan industri. Nantinya akan terjadi kelangkaan tembakau dan membuat industri rokok tidak kondusif, belum lagi kondisi ini akan membuat rokok ilegal marak, tentu akan meresahkan.” Menurut Faiz, rancangan aturan ini akan kontra produktif bagi industri karena akan menambah beban biaya produksi. Target penerimaan cukai rokok yang sudah ditetapkan dinilai tak mungkin tercapai, jika perusahaan mengurangi produksinya.
Description: tembakau

Gambar 3.2 Perawatan Tembakau


Faiz menilai,  pengenaan cukai dan pajak untuk industri rokok saat ini sudah besar. "Sehingga tak perlu lagi ditambah. Ini terkesan ada pajak berganda," tutur dia. Sebelumnya, dalam pembahasan RUU Pertembakauan oleh DPR terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang impor tembakau. Di pasal tersebut dijelaskan bahwa tembakau impor akan dikenakan cukai sebesar 60% dari harga pasar, sedangkan rokok yang mengandung tembakau impor akan dikenakan biaya cukai tiga kali lipat.
Bila semua dibatasi tentu industri tak bisa produksi dan akan kekurangan bahan baku," jelasnya. Selain itu, menurut Suharjo, fungsi impor tak hanya menambah kekosongan bahan baku tapi juga untuk memperkaya varian yang ada, seperti varian oriental dari Turki dan bibit tembakau hurley dari Amerika, dua jenis tembakau tersebut belum bisa ditanam di Indonesia, "Sehingga kami masih harus mengambil dari luar negeri," tuturnya. Varian itu berhubungan dengan cita rasa rokok dan selera.
Formasi juga menolak pasal yang mengatur soal beban cukai tiga kali lipat untuk rokok yang mengandung tembakau impor dan tambahan cukai untuk daun tembakau impor. Hal ini karena akan mengikis produksi rokok karena kebutuhan industri akan pasokan tembakau tidak terpenuhi. Dia mengusulkan peraturan cukai tidak masuk dalam ranah RUU Pertembakauan karena sangat teknis.

Tabel 3.2 Impor Bahan Baku dan Barang Penolong, 1997-2016

Impor Bahan Baku dan Barang Penolong, 1997-2016
Tahun
Jumlah
Makanan dan Minuman untuk Industri
Bahan Baku untuk Industri
Bahan Bakar dan Pelumas
Suku Cadang dan Perlengkapan
Utama
Olahan
Utama
Olahan
Utama
Olahan
Untuk Barang Modal
Untuk Alat Angkutan

Berat Bersih: 000 ton
1997
 55 410.50
 4 750.70
 1 059.40
 9 243.40
 18 854.20
 9 513.80
 10 932.20
  657.00
  399.80
1998
 46 455.70
 3 909.40
 1 176.60
 8 001.10
 11 919.30
 10 533.70
 10 416.30
  355.00
  144.30
1999
 54 175.40
 4 973.60
 1 958.70
 10 593.20
 13 906.00
 11 695.80
 10 606.10
  280.00
  162.00
2000
 61 076.80
 5 310.40
 1 954.80
 11 608.80
 18 028.90
 11 614.30
 11 772.00
  390.50
  397.10
2001
 60 245.10
 4 139.40
 1 747.70
 12 220.50
 17 319.20
 14 206.00
 9 843.90
  388.50
  379.90
2002
 65 989.30
 5 953.20
 1 416.20
 11 469.20
 17 548.00
 15 900.80
 12 939.40
  389.60
  372.90
2003
 63 952.70
 5 080.10
 1 724.70
 10 865.50
 16 691.50
 20 240.50
 8 637.70
  333.30
  379.40
2004
 75 357.50
 5 921.40
 1 322.30
 13 360.30
 20 742.60
 19 028.40
 14 025.00
  447.70
  509.80
2005
 76 582.90
 5 780.00
 2 105.40
 10 588.20
 22 548.80
 15 748.50
 18 665.00
  531.90
  615.10
2006
 77 353.70
 5 946.40
 1 948.60
 12 953.30
 23 520.80
 14 754.80
 17 121.50
  482.20
  626.10
2007
 81 741.00
 6 467.20
 3 113.00
 12 363.90
 26 016.60
 15 222.20
 17 495.90
  585.80
  476.40
20081
 90 686.20
 6 133.60
 1 675.20
 13 929.70
 33 451.10
 12 868.10
 20 695.30
 1 080.30
  852.90
20091
 84 720.00
 6 413.10
 2 950.10
 11 915.90
 27 571.80
 15 381.70
 19 182.80
  829.60
  475.00
20101
 101 817.60
 7 067.30
 3 208.90
 16 062.30
 35 061.10
 14 346.10
 24 390.70
  991.60
  689.60
20111
 116 101.80
 8 207.20
 4 282.50
 18 811.00
 41 188.50
 13 316.20
 28 313.50
 1 148.50
  834.40
20121
 124 955.50
 8 565.50
 4 558.30
 16 528.30
 50 329.60
 12 656.70
 29 445.60
 1 912.40
  959.10
20131
 132 395.70
 9 026.40
 4 935.20
 20 431.00
 48 510.50
 16 534.60
 30 741.00
 1 223.80
  993.20
20141
 138 827.90
 10 067.20
 4 502.70
 23 163.10
 49 892.10
 18 458.80
 30 588.30
 1 201.30
  954.40
20151
 139 139.60
 10 183.60
 4 818.60
 22 644.00
 50 431.70
 21 540.80
 27 564.70
 1 150.40
  805.80
20161
 142 568.10
 13 338.00
 6 468.90
 20 463.70
 50 249.20
 23 497.80
 26 499.40
 1 143.30
  925.80

Nilai CIF: 000 000 US $
1997
 30 229.50
 1 387.70
  472.30
 2 012.70
 14 141.90
 1 487.20
 2 339.60
 5 172.30
 3 215.80
1998
 19 611.80
  820.90
  474.00
 1 545.70
 9 697.40
 1 061.00
 1 542.20
 3 241.00
 1 229.60
1999
 18 475.00
 1 113.20
  525.30
 1 597.20
 8 910.10
 1 596.40
 1 816.00
 1 899.10
 1 017.70
2000
 26 018.70
 1 009.80
  507.60
 2 020.30
 12 421.40
 2 531.30
 2 960.90
 2 223.40
 2 344.00
2001
 23 879.40
  797.10
  503.60
 2 228.90
 10 970.20
 2 890.00
 2 214.00
 2 147.60
 2 128.00
2002
 24 227.50
 1 096.50
  441.20
 1 758.60
 10 541.70
 3 218.90
 2 917.10
 2 205.20
 2 048.30
2003
 25 496.30
 1 127.30
  531.60
 1 697.90
 10 570.80
 5 056.40
 2 244.20
 2 089.20
 2 178.90
2004
 36 204.20
 1 456.70
  568.60
 2 236.30
 15 357.80
 5 847.00
 5 284.20
 2 815.20
 2 638.40
2005
 44 792.00
 1 325.30
  830.40
 2 064.40
 17 407.00
 6 810.70
 9 494.60
 3 653.00
 3 206.60
2006
 47 171.40
 1 352.20
  909.10
 2 438.70
 18 050.70
 7 866.90
 10 304.20
 3 507.60
 2 742.00
2007
 56 484.70
 2 079.10
 1 537.10
 2 827.40
 21 759.10
 9 067.80
 11 666.50
 4 623.70
 2 924.00
20081
 99 492.70
 3 244.40
 1 271.60
 4 722.30
 40 312.90
 10 086.60
 18 825.20
 14 542.60
 6 487.10
20091
 69 638.10
 2 640.90
 1 582.00
 2 901.70
 29 248.70
 7 387.30
 10 885.60
 11 000.00
 3 991.90
20101
 98 755.10
 3 074.80
 2 165.90
 4 539.50
 41 714.30
 8 553.50
 17 734.50
 14 815.60
 6 157.00
20111
 130 934.30
 4 186.70
 3 330.20
 6 813.20
 53 409.60
 11 173.50
 27 733.50
 16 937.90
 7 349.70
20121
 140 126.60
 4 101.00
 3 349.30
 5 639.70
 59 437.10
 10 853.30
 29 897.80
 18 126.10
 8 722.30
20131
 141 957.90
 4 354.40
 3 685.20
 6 299.20
 58 353.30
 13 673.10
 29 816.40
 16 803.40
 8 972.90
20141
 136 208.60
 4 935.40
 3 247.10
 6 001.70
 57 171.70
 13 369.40
 28 739.50
 15 679.30
 7 064.50
20151
 107 081.00
 4 100.20
 2 730.40
 4 672.70
 50 845.90
 8 350.00
 15 615.50
 14 598.90
 6 167.40
20161
 100 945.80
 4 426.40
 3 460.20
 4 017.80
 48 612.20
 7 054.90
 11 384.80
 15 590.50
 6 390.00
Catatan:
1 Termasuk Kawasan Berikat
r Angka diperbaiki
[Diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB dan PIB)]
Data dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia

Secara historis, komoditi tembakau sudah memperoleh perhatian besar sebagai komoditi ekspor sejak pemerintah Hindia Belanda. Sejarah mencatat, meski pada praktiknya banyak merugikan petani, periode tanam paksa menandai semakin meluasnya persebaran tembakau sebagai tanaman perkebunan rakyat.
Hingga kini, kebijakan penanaman tembakau tersebut terus dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melaui perusahaan negara perkebunan. Dalam perkembangannya, perkebunan tembakau di Indonesia dimiliki dan dikelola oleh banyak petani kecil. Rata-rata mereka hanya memiiki dua hingga tiga hektar lahan tembakau. Di tengah konsumsi rokok nasional yang meningkat dari waktu ke waktu, tidak diikuti dengan berkembangnya industri rokok yang merata. Hanya pabrik-pabrik besar yang menikmati peningkatan permintaan rokok.


Gambar 3.3 Tanaman Tembakau


Pabrik-pabrik besar, tidak terkecuali pabrik rokok asing, lebih senang menggunakan tembakau impor daripada tembakau lokal. Tembakau impor dinilai lebih bisa memenuhi standarisasi ketimbang tembakau lokal. Imbasnya, harga tembakau semakin anjlok dan petani terancam tidak bisa menanam tembakau kembali. Hal ini semakin diperparah oleh menyusutnya jumlah industri rokok skala kecil dan menengah yang merupakan tempat terakhir petani untuk menjual tembakaunya. Dengan semakin bertambahnya impor tembakau, dipastikan akan memukul harga tembakau di kalangan petani lokal. Misal pada 2012 lalu, ketika impor tembakau cenderung meningkat, harga tembakau terkoreksi 20-35% dibandingkan 2011. Jika ingin melindungi petani tembakau, pemerintah mesti membatasi dan melarang impor tembakau.

Gambar 3.4 Produksi Pabrik Rokok di Kudus


Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie menyatakan, pelaku industri rokok dalam negeri masih harus mengimpor tembakau dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan produksi rokok. Muhaimin mengatakan, dalam satu tahun produksi rokok nasional mencapai 340 miliar batang dengan kebutuhan tembakau mencapai 340.000 ton. "Satu batang rokok, butuh satu gram tembakau. Jika 340 miliar batang perlu 340.000 ton. Sedangkan produksi tembakau Indonesia 200.000 ton. Mau ga mau impor," ujar Muhaimin.
Menurutnya, importasi tembakau diambil oleh pelaku industri, agar lini produksi rokok dalam negeri dapat terus berjalan walaupun bahan baku tembakau dalam negeri masih kekurangan. "Kalau enggak (impor) produksi enggak jalan. Belum hitung yang ekspor. Itu juga butuh tembakau. Jadi besar kekurangan," jelasnya. Kendati demikian, Muhaimin menegaskan, pihaknya bukan tidak ingin menggunakan bahan baku tembakau dari dalam negeri, hanya saja ada beberapa varietas tembakau yang memang tidak bisa dihasilkan di Indonesia. "Yang kami usulkan adalah bahwa melakukan semacam kemitraan. Ini sudah dilakukan di Lombok. Tembakau bagus. Dengan cara itu, produktivitas naik. Bisa 1,5 ton per hektar," jelasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester I  2017 impor tembakau mencapai 252,6 juta dollar AS dengan volume 50.700 ton. Mengalami kenaikan jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya hanya 241,6 juta dollar AS dengan volume 37.600 ton. Impor tembakau Indonesia berasal dari lima negara, China yang merupakan paling banyak volume impornya, hingga semester I 2017 mencapai 24.300 ton atau 101,8 juta dollar AS. Di posisi kedua dari Brasil dengan volume mencapai 43.000 ton dengan nilai 30,9 juta dollar AS. Kemudian ketiga adalah Amerika Serikat dengan volume 4.000 ton atau setara 30,8 juta dollar AS Selanjutnya, Turki, dengan volume sebesar 1.700 ton nilainya 12,0 juta dollar AS dan yang kelima adalah berasal dari India dengan volume 2.700 ton atau setara 10,5 juta dollar AS.



BAB IV
PENUTUP


4.1         Konklusi

1.        Dalam proses memasukan barang ke daerah pabean akan melalui  langkah-langkah sebagai berikut :
1)        Kedatangan Sarana Pengangkut
Dalam hal ini pengangkut juga menyerahkan hal-hal sebagai berikut :
a.         Daftar penumpang dan/atau awak sarana pengangkut;
b.        Daftar bekal sarana pengangkut;
c.         Daftar perlengkapan/ inventaris sarana pengangkut;
d.        Stowage Plan atau Bay Plan untuk SP melalui laut;
e.         Daftar senjata api dan amunisi; dan
f.         Daftar obat, termasuk narkotika untuk pengobatan.
2)        Sarana Pengangkut saat Pembongkaran
Pembongkaran barang impor dilaksanakan di  kawasan pabean atau tempat lain  (ijin kepala kantor pabean) yang dilakukan paling lama 12 jam setelah selesai pembongkaran, Pengangkut wajib menyampaikan daftar kemasan atau peti kemas atau jumlah barang curah yang telah dibongkar kepada Pejabat di Kantor Pabean  dan penyerahan pemberitahuan dapat dilakukan secara manual atau melalui media elektronik.
3)        Sarana Pengangkut saat Penimbunan
Jangka waktu penimbunan berbeda di tiap area penimbunan, masing-masing jangka waktu tersebut adalah :
1.      Max 30 hari di TPS yg berada di area pelabuhan (Lini I)
2.      Max 60 hari di TPS yg berada di luar area pelabuhan (Lini II)
3.      Max 60 hari di tempat lain
4)        Pengeluaran Barang Impor
·           Pengeluaran barang impor untuk dipakai, untuk kondisi ini menggunakan : a). Pemberitahuan Impor Barang (BC 2.0), b). Pemberitahuan Impor Barang Khusus (BC 2.1), c). Customs Declaration (BC 2.2) untuk barang penumpang dan pengangkut, d). Pencacahan dan Pembeaan Kiriman Pos (PPKP) dan e). Pemberitahuan Lintas Batas (PPLB).
·           Diimpor sementara
·           Ditimbun di TPB
·           ke TPS  di kawasan pabean lain
·           diangkut terus
·           diangkut lanjut
·           di re-ekspor
5)        Pembayaran BM, Cukai dan PDRI
Pembayaran Bea Masuk, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) dilakukan secara tunai  sebelum PIB disampaikan ke kantor Pabean. Dan dapat dilakukan secara berkala bagi Mita Prioritas .
6)        Penjaluran 
Tembakau termasuk dalam jalur hijau, yaitu pemeriksaan yang hanya dilakukan secara penelitian dokumen tanpa pemeriksaan fisik setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
7)        Pemeriksaan Fisik
2.        Tarif cukai tembakau menurut  peraturan kementerian negara indonesia sesuai dengan Undang-undang republik indonesia nomor 39 tahun 2007 tentang perubahan atas undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai Pasal 5 yaitu :
(1)      Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
a.    untuk yang dibuat di Indonesia:
1.         275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2.         57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
b.   untuk yang diimpor :
1.         275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
2.         57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
(2)      Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
a.    untuk yang dibuat di Indonesia:
1.         1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2.         80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran
b.   untuk yang diimpor:
1.          1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
2.         80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual ecera
3.        Kondisi impor tembakau di Indonesia saat ini
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester I-2017 impor tembakau mencapai US$ 252,6 juta dengan volume 50,7 ribu ton. Angka ini naik jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang hanya US$ 241,6 juta dengan volume 37,6 ribu ton. Khusus di Juni 2017, total volume 8,1 ribu ton dengan nilai US$ 44,6 juta atau turun jika dibandingkan dengan Mei 2017 yang sebesar US$ 66,3 juta dengan volume 12,1 ribu ton. Bahkan, jika dibandingkan Juni 2016 juga naik hampir 3 kali lipat, sebab di bulan keenam tahun lalu impor tembakau hanya US$ 27,4 juta dengan volume 4,5 ribu ton. Impor tembakau Indonesia berasal dari 5 negara, China yang merupakan paling banyak volume impornya, hingga semester I-2017 mencapai 24,3 ribu atau US$ 101,8 juta. Kedua adalah dari Brasil dengan volume mencapai 4,3 ribu ton dengan nilai US$ 30,9 juta. Ketiga adalah Amerika Serikat dengan volume 4,0 ribu ton atau setara US$ 30,8 juta. Selanjutnya dari Turki, dengan volume sebesar 1,7 ribu ton nilainya US$ 12,0 juta, dan yang kelima adalah berasal dari India dengan volume 2,7 ribu ton atau setara US$ 10,5 juta.

4.2         Rekomendasi

Pengembangan dan penerapan standar mutu tembakau diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan negara melalui cukai dan pajak, menjamin kelangsungan usaha budidaya tembakau, menumbuhkan industri terkait dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan.
Indonesia harus menerapkan standar mutu adalah adanya tekanan global, regional dan domestik sendiri yang menghendaki adanya penerapan standar mutu terhadap hasil pertaniannya. Karena itu, selain bertujuan agar masyarakat kita sendiri mengkonsumsi produk pertanian yang bermutu dan berkualitas, penerapan standar mutu ini juga bertujuan untuk meningkatan pendapatan Negara dan kesejahteraan petani tembakau itu sendiri. Tantangan pemerintah dan badan-badan standar mutu dalam pelaksanaanya ialah rendahnya penerapan standar mutu tembakau di Indonesia sehingga perlu gerak cepat dan tegas dalam pelaksanaannya tersebut terutama bagi industry dan petani tembaku.
Standarisasi dan Pengawasan mutu merupakan sarana untuk meningkatkan daya saing produk baik. Pengawasan mutu ini juga bertujuan untuk mencegah produk-produk dalam negeri maupun impor berada dibawah mutu standar. Sehingga nantinya atau kedepannya tetap terjalin kerjasamanya yang baik, dengan kualitas mutu yang baik, dan menguntungkan kedua belah pihak.

REFERENSI


A.           Buku :
Aba Firdaus al-Halwani, 2002, Manajemen Terapi Qalbu, Yogyakarta

Adrian, Sutedi, 2012, Aspek Hukum Kapabean, Sinar Grafika, Jakarta

Amir, 1986, Eksport Import, PT. Pustaka Binamana Pressindo, Jakarta

Boediono. 2008. Ekonomi Moneter Edisi 3. Yogyakarta: BPFE.

Dirdjosisworo, Soedjono, 2006, Pengantar Hukum Dagang Internasional,  PT Refika Aditama, Bandung

Gunawan Widjaya, Ahmad Yani, 2015. Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Lipsey, R.G. et al. 1995. Pengantar Mikro ekonomi. Jilid kesatu. Edisi Kesepuluh. Binarupa Aksara. Jakarta.

Nopirin, 1992, Ekonomi Moneter, Buku II, Edisi I, BPFE, Yogyakarta.

Roselyne Hutabarat, 1991. Transaksi Ekspor Impor, Erlangga, Jakarta

Sukirno, Sadono, 2005. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Edisi Ketiga, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Tandjung, Marolop. 2011. Aspek dan Prosedur Ekspor – Impor. Jakarta : Salemba Empat.

B.            Perundang-undangan
KEP-07/BC/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor jo P-06/BC/2007.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 KMK 05 Tahun 2000 Tentang Peraturan Bea Cukai

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia  Nomor 89/Kmk.05/2000 Tentang Penetapan Tarif Cukai Dan Harga Dasar Hasil Tembakau

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 62/Kmk.03/2002 Tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan, Dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau

KMK-453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor jo KMK No 112/KMK.04/2003.
P-42/Bc/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang  Impor Untuk Dipakai.

Pmk-144/PMK.04/2007 Tentang Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai.

Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan  Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 17  Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10  Tahn 1995 Tentang Kapabeanan, Yang Salah Satunya Mengatur  Tentang Bea Masuk Tindakan Pengamanan

Undang-Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo Undang-Undang No 17 Tahun 2006.

Undang-undang republik indonesia nomor 39 tahun 2007

C.           Internet/Lain-lain
Badan Pusat Statistik, 2016. Impor Bahan Baku 1997-2016. https://www.bps.go.id.html, diakses pada Selasa, 15 Mei 2018.

Galih Gumelar, CNN Indonesia, 2018. https://www.cnnindonesia.com, diakses pada Rabu, 18 April 2018 Pukul 11: 08.

Hendra Gunawan Tribunnews.com dengan judul Ancam Pasokan Bahan Baku, Pembatasan Impor Tembakau Belum Diterapkan, http://www.tribunnews.com  diakses pada Rabu, 18 April 2018 Pukul 11:19.

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2016. RI Masih Impor Tembakau. http://www.kemenperin.go.id diakses pada Rabu, 18 April 2018 Pukul 11: 08.

Oke zone. 2018. Pengetatan Impor Tembakau Dinilai Tidak Tepat. https://economy.okezone.com, diakses pada Senin, 14 Mei 2018 pukul 13:25.

Pramdia Arhando Julianto. 2017. "Pelaku Industri: Impor Tembakau Untuk Penuhi Kebutuhan Produksi Rokok". https://ekonomi.kompas.com, diakses pada Rabu, 18 April 2018 Pukul 11: 08.

Pramdia Arhando Julianto. 2017. Pelaku industri impor tembakau untuk penuhi-kebutuhan produksi rokok. https://ekonomi.kompas.com, diakses pada Selasa, 8 Mei 2018 pukul 09:45.

Sanusi. 2016. Bea Cukai Jumlah Produksi Rokok Semakin Turun. http://www.tribunnews.com, diakses pada Selasa, 8 Mei 2018 pukul 10:25.

Komentar

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH KUTIPAN, CATATAN KAKI DAN DAFTAR PUSTAKA

RESUME BUKU ETOS DAGANG ORANG JAWA PENGALAMAN RAJA MANGKUNEGARA IV KARYA : DRS. DARYONO, MSI.